Pejabat Negara Lebay Saat Merespons Fenomena Bendera One Piece, tapi Biasa Saja Ketika Logo HUT RI 80 Bermasalah

Bendera One Piece dilarang berkibar saat HUT RI ke-80. MOJOK.CO

ilustrasi - anime one piece jadi inspirasi selain naruto. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Pejabat kita tampak ketar-ketir saat melihat sejumlah bendera bajak laut dari anime One Piece berkibar, guna “memeriahkan” suasana HUT Republik Indonesia (RI) yang ke-80. Bendera One Piece berwarna hitam itu dikibarkan oleh sejumlah warga tepat di bawah bendera merah putih. 

Tak hanya dipasang di tiang, tapi juga di truk-truk. Bahkan, sejumlah akun di media sosial menggunakan bendera anime One Piece sebagai foto profil mereka. Memang, di mana letak menakutkannya?

***

Saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4, ia pernah menegur Wiranto agar tak cemas melihat bendera Bintang Kejora berkibar di tanah Papua. Gus Dur menilai bendera Bintang Kejora merupakan budaya rakyat.

Saat Wiranto yang masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan melaporkan temuannya, Gus Dur bertanya,

“Apa masih ada bendera Merah Putihnya?” ucapnya dikutip dari buku berjudul Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) oleh mantan Menteri Riset dan Teknologi Muhammad A.S Hikam.

Kemudian Wiranto menjawab jika ada satu bendera Merah Putih yang masih berkibar di sebuah tiang tinggi. Menanggapi itu, Gus Dur malah menyuruh Wiranto biasa saja dan mengubah cara pandangannya.

“Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,” ujarnya.

“Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya!” lanjutnya.

Saran dari Gus Dur di atas sepertinya tidak dipahami oleh politikus kita akhir-akhir ini. Sejumlah pengamat menilai jika politikus terlalu berlebihan dalam menanggapi aksi pengibaran bendera anime One Piece. Apalagi, sampai mengancam akan melakukan tindak pidana.

Bendera One Piece jadi lambang ekspresi kekecewaan

“Ini tidak bisa direspons dengan adanya upaya memecah belah, karena kita tahu ada alasan di belakang itu,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Irfan Wahyudi saat dihubungi Mojok, Sabtu (2/8/2025).

Irfan menilai pemerintah seharusnya tidak berlebihan menanggapi bentuk aktivisme satire dari masyarakat. Bisa jadi satire itu muncul atas keresahan warga yang ingin memprotes kebijakan negara. Dan itu sah-sah saja.

Menurut Irfan, aksi protes ini dilakukan mengingat situasi politik dan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Masyarakat berhak menggunakan simbol atau idiom budaya populer–seperti kasus bendera anime One Piece sebagai ekpresi kekecewaan.

“Tapi ini menjadi memprihatinkan saat pejabat negara merespons dengan tindakan berlebihan, seperti mengerahkan aparat keamanan untuk ‘memberhangus’, menjatuhkan sanksi apalagi menghukum hingga menangkap, memenjara, dan sebagainya,” kata Irfan.

Alih-alih begitu, kata Irfan, pemerintah seharusnya menjawab dengan narasi-narasi tandingan. Misalnya, memberikan penjelasan untuk mengatasi keresahan mereka atau melakukan aksi nyata. Itu saja sudah cukup, tidak perlu melakukan tindakan represif. Atau mengubah cara pandang seperti saran Gus Dur tadi.

“Bisa jadi pemerintah juga perlu melihat bagaimana lambang Indonesia HUT RI ke-80 bisa menjadi masalah,” ucap Irfan.

Hilangnya makna di balik bendera nasional

Di sisi lain, Irfan justru melihat fenomena ini sebagai cara individu di era generasi sekarang dalam menyampaikan idenya. Ia pun ragu jika gerakan memakai bendera One Piece ini akan memicu anarkisme baik di dunia nyata maupun virtual. 

Senada dengan Irfan, Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) M. Febriyanto Firman Wijaya mengatakan kegandrungan terhadap simbol seperti bendera bajak laut One Piece terjadi karena banyak faktor. 

Tak hanya efek dari globalisasi atau pengaruh media Jepang, tapi juga karena rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dirasakan oleh anak muda. Generasi sekarang punya habit melek informasi tapi merasa tidak didengar.

“Dalam situasi seperti itu, mereka mencari simbol baru yang mewakili semangat kebebasan, pemberontakan, dan solidaritas  nilai-nilai yang ironisnya justru mereka temukan dalam tokoh bajak laut fiktif seperti Luffy, bukan dalam simbol-simbol kenegaraan,” ujar Irfan.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya merenungi mengapa simbol nasional saat ini mulai kehilangan pamor di kalangan generasi muda. Jika bendera nasional hanya jadi formalitas di HUT RI ke-8 dan tanpa makna, maka anak muda akan memilih simbol yang lebih autentik secara emosional.

Menurut Riyan, fenomena ini menunjukkan pentingnya dialog terbuka antara negara dan warganya, khususnya generasi muda, agar simbol-simbol nasional tetap hidup dan bermakna, bukan sekadar menjadi rutinitas tahunan tanpa daya gugah.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: ‘Kami yang Dicap Malas dan Apatis juga Bisa Resah sama Pemerintah’, Wibu Bergerak di Aksi Jogja Memanggil atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version