Warga Sleman Tolak Dipimpin Dinasti Bupati, Terlalu Bahaya jika Kekuasaan Dipegang 1 Keluarga

Ilustrasi - Warga Sleman tolak dinasti politik Kustini. (Aly Reza/Mojok.co)

Pencoblosan calon Bupati dan calon Wakil Bupati Sleman tinggal menghitung hari. Di beberapa titik jalanan Sleman, Jogja, bermunculan spanduk-spanduk penolakan terhadap dinasti politik Kustini Sri Purnomo, petahana yang kembali mencalonkan diri di kontestasi Pilkada 2024

***

Spanduk bernada penolakan adanya praktik keluargaisme alias dinasti politik tersebut bermunculan sejak Senin (4/11/2024).

Puluhan spanduk tersebut terbentang di beberapa ruas jalan di Sleman. Seperti di perempatan Kamdanen Ngaglik, depan Makam Wahidin Soediro Hoesodo Jalan Magelang, dan di flyover Jombor.

Menolak Kustini jadi Bupati Sleman lagi

Spanduk-spanduk tersebut berisi penolakan atas pencalonan kembali Bupati petahana, Kustini Sri Purnomo di Pilkada Sleman.

Di Jombor muncul spanduk bertuliskan “Sleman Bukan Hanya Milik Satu Keluarga”, persisnya di depan Makam Wahidin Soediro Hoesodo, Jalan Magelang. Sementara di perempatan Kamdanen Ngaglik, terpampang spanduk bertuliskan “Rumangsamu Sing Iso Mimpin Sleman Mung Keluargamu”.

Warga Sleman Tolak Dinasti Politik Kustini MOJOK.CO
Spanduk tolak dinasti politik Kustini. (Aly Reza/Mojok.co)

Seperti diketahui, isu keluargaisme atau dinasti politik Kustini sudah lama berhembus. Isu ini kembali memanas di tengah bergulirnya kontestasi Pilkada Sleman 2024.

Sleman dalam cengkeraman keluarga Kustini

Kustini Sri Purnomo merupakan petahana yang mencalonkan diri kembali menjadi Bupati Sleman periode 2025-2030, menggandeng Sukamto sebagai wakilnya.

Kustini merupakan istri dari Sri Purnomo yang sebelumnya juga menjabat sebagai Bupati Sleman selama 13 tahun. Sementara itu, anak mereka, Raudi Akmal, saat ini juga menjadi seorang politisi dengan jabatan Ketua DPD Sleman.

Oleh karena itu, wajar saja jika kemudian warga mencium adanya upaya keluarga Kustini membangun dinasti politiknya sendiri. Seteleh Sri Purnomo dan Kustini, bisa jadi setelahnya Raudi Akmal yang bakal diproyeksikan maju sebagai Bupati Sleman.

Spanduk tolak dinasti politik Kustini. (Aly Reza/Mojok.co)

Sementara, bagi sebagian banyak warga, sejak dalam cengkeraman keluarga Kustini, Sleman tak menunjukkan kemajuan signifikan. Sehingga, sudah seharusnya masa kekuasaan Kustini disudahi, jangan sampai kroni-kroninya masih terus berpeluang duduk di kursi bupati.

“Yang jelas, saya setuju dengan keadaan Sleman yang hanya begini-begini saja. Kalau tidak disuarakan, takutnya malah makin menjadi-jadi. Sedangkan kami rakyat kecil hanya bisa pasrah dan tidak bisa melakukan apa-apa selain manut saja,” ujar Setyo (30), salah satu warga Sleman yang menyatakan penolakannya pada dinasti politik Kustini.

Ketika garis keturunan dimanfaatkan untuk mendapat kekuasaan

Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan menyebut, kondisi Pemilu daerah saat ini, dalam hal ini adalah Sleman, sedikit banyak tentu terpengaruh kontestasi Pemilu 2024 level nasional.

Menurutnya, keberhasilan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden RI setelah sang bapak (Jokowi) lengser kemudian membuka mata bagi para partai politik (parpol) dan para kandidat bahwa garis keturunan atau dinasti politik bukan menjadi sesuatu yang tabu.

“Alhasil, garis keturunan bisa dimanfaatkan untuk mendapat kekuasaan,” ungkap Arga saat Mojok hubungi Rabu (6/11/2024) siang WIB.

Dinasti politik berpotensi lahirkan perilaku menyimpang

Lebih lanjut, Arga mengatakan, pergantian kekuasan pada dasarnya menjadi salah satu indikator bahwa demokrasi berjalan dengan sehat dan semestinya. Maka, ketika kekuasaan digenggam oleh sekelompok orang dalam rentang waktu yang lama, efeknya bisa sangat berbahaya.

“Implikasinya, power yang didapat itu akan membuat penguasa dari dinasti politik memiliki kecenderungan korup dan berperilaku menyimpang,” ungkap Arga.

“Salah satu yang bisa dilihat adalah misalnya Jokowi selama dua periode, menunjukkan power yang didapat dalam waktu berlebih cenderung berujung pada perilaku yang menyimpang berupa pelanggaran konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan,” sambungnya.

Berkaca pada kasus Jokowi, menurut Arga, publik di level daerah sudah membaca bahwa dinasti politik punya potensi penyimpangan yang lebih besar.

Maka, tak heran jika publik kemudian  meresponsnya dengan spanduk-spanduk penolakan pada praktik dinasti politik oleh Kustini. Terlebih, selama dipimpin oleh Sri Purnomo selama 13 tahun dan disambung oleh Kustini, banyak warga Sleman yang tidak merasakan adanya perubahan besar pada Sleman. Sleman masih gini-gini aja kalau kata warga.

Oleh karena itu, warga tak menghendaki Kustini maju lagi. Kalau dia maju lagi dan terpilih, ada potensi memuluskan Raudi Akmal menempati jabatan yang sama dengan kedua orang tuanya itu: Sleman bakal terjebak dalam kubangan yang sama.

“Publik pengin ada inovasi, kebaruan, tentang bagaimana pemimpin yang baru melakukan gebrakan untuk menyelesaikan masalah publik,” tegas Arga.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Aib di Rumah Dinas Bupati Sleman, Bangun Kolam Mewah ketika Warga Ngeluh Hidup Susah

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version