Saat ini kondisi pemahaman bahasa dan penulisan aksara Jawa di kalangan anak muda Jogja semakin memprihatinkan. Anak muda, semakin meninggalkan bahasa leluhurnya. Padahal, Jogja terkenal sebagai pusat budaya Jawa.
Bahkan, hal itu terjadi di titik-titik terdekat dengan Kraton Jogja. Muhammad Firdaus (40), warga Kalurahan Kadipaten mengakui bahwa sekarang anak muda di kampungnya semakin jauh dengan pengetahuan terkait bahasa dan aksara Jawa.
Padahal, kampungnya satu kecamatan atau kemantren dengan Kraton Jogja. “Bahkan sekarang untuk bicara bahasa Jawa krama inggil saja banyak anak yang belum bisa. Apalagi aksara Jawa,” tuturnya pada Selasa (20/2/2024).
Ia melihat, banyak anak muda yang justru lebih tertarik untuk mempelajari aksara bahasa lain, misalnya Mandarin hingga Arab, ketimbang aksara Jawa. Beda dengan orang seumurannya yang masih punya sedikit pemahaman soal hal tersebut.
“Padahal zaman saya kecil, sudah jadi hal lazim kalau anak-anak bisa fasih berbahasa Jawa krama inggil ke orang tua. Sekarang pada pakai bahasa ngoko (kasar),” ungkapnya.
Firdaus, adalah salah satu perwakilan warga Kalurahan Kadipaten yang hadir dalam agenda Pembukaan Pawiyatan Aksara di Kampung Kota. Agenda yang diinisiasi oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta ini berlangsung di Pendopo Suryo Putri dan dihadiri oleh elemen warga hingga 10 komunitas yang punya perhatian pada pelestarian bahasa dan aksara Jawa.
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta telah melangsungkan Pawiyatan Aksara pada 2022-2023 silam. Namun, di dua tahun tersebut, setiap tahunnya hanya lima kampung yang jadi sasaran kegiatan. Pada 2024 ini, Dinas Kebudayaan akan menggenjot menjadi 30 kampung sekaligus.
Upaya demi melestarikan aksara Jawa di Jogja
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yeti Martanti, mengungkapkan tahun ini menjadi spesial lantaran program menjangkau langsung setiap kampung dalam kegiatannya. Selain itu, sasaran kegiatannya juga tidak hanya pada kalangan remaja hingga dewasa, namun juga anak-anak.
“Jadi setiap kategori usia punya pendekatan yang berbeda-beda. Proses untuk anak-anak harus riang gembira,” terangnya.
Kegiatan ini akan berlangsung dari 20 Februari hingga 5 Maret 2024. Setiap kampung terdapat satu rombongan yang melibatkan sekitar 30 peserta dengan memanfaatkan balai RT/RW, rumah warga, pendopo, hingga masjid. Total, acara ini diestimasi bisa memberi manfaat kepada 900 peserta. Belum termasuk anggota komunitas yang terlibat sebagai narasumber.
Agenda Pawiyatan Aksara menghadirkan narasumber dari 10 komunitas pelestari aksara Jawa yakni Jawacana, Sega Jabung, Banyu Mangsi, Jangkah, Iqra Hanacaraka, Jawara Aksara, Dwijo Aksara, Geng Kobra, Geber Jawa, dan Kluwak. Komunitas ini telah memiliki rekam jejak dalam melestarikan budaya Jawa selama bertahun-tahun.
Baca halaman selanjutnya…
Aksara Jawa seperti candi yang bisa hancur jika tak dijaga
Tanpa pelestarian bisa punah
Yeti menambahkan bahwa gerakan pelestarian dan pengembangan aksara Jawa di Jogja bukan sekadar pembelajaran menulis. Lebih jauh, ini merupakan langkah konkrit untuk menyelamatkan budaya.
“Aksara Jawa ini identitas budaya masyarakat Jogja. Jadi Pawiyatan Aksara berupaya mewariskan tradisi tulis menulis menggunakan aksara Jawa dari generasi ke generasi,” paparnya.
Sementara itu, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, Paksi Raras Alit mengungkakan bahwa pelestarian bahasa Jawa perlu diposisikan seperti proses pelestarian peninggalan sejarah dan budaya berupa candi. Tanpa upaya konservasi, candi bisa hancur termakan usia.
“Begitu juga dengan aksara Jawa dan begitu juga pelestarian-pelestarian kebudayaan lainnya baik yang tangible maupun intangible. Pelestarian harus terus berjalan,” tutur Paksi yang juga terlibat dalam Pawiyatan Aksara.
Lebih lanjut, upaya pelestarian nantinya terus berlanjut dengan target jangka panjang menjangkau 169 kampung se-Kota Jogja. Selain itu, saat ini aksara Jawa juga telah teraplikasi di berbagai plang penanda lokasi hingga reklame terkait informasi kegiatan. Terbaru, papan penanda pada bangunan Pasar Sentul Kota Yogyakarta juga menanfaatkan aksara Jawa. Langkah-langkah ini dilakukan demi lebih mendekatkan budaya leluhur dengan masyarakat Jogja.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nestapa Perantau di Jogja Rela Bertahan dengan Kos Nyaris Ambruk karena Bapak Kosnya Baik
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News