Dalam debat perdana Pilkada Blora 2024, calon bupati petahana Arief Rohman mengklaim bahwa kemiskinan di wilayahnya turun. Sayangnya, penurunan ini tak signifikan. Sebab, masih banyak warga Blora yang berada di garis kemiskinan ekstrem bahkan cuma punya penghasilan Rp400 ribu sebulan.
***
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blora telah melaksanakan debat perdana Pilkada 2024 pada Senin (04/11/2024) siang. Dalam kesempatan tersebut dua pasangan calon (paslon) Cabup-Cawabup yang berkontestasi hadir.
Paslon nomor urut 1, Arief Rohman-Sri Setyorini (ASRI) hadir mengenakan setelan kemeja putih. Sementara paslon nomor urut 2, Abu Nafi–Andika Adikrishna Gunarjo (ABDI) kompak memakai batik.
Cabup nomor urut 1 atau bupati petahana, Arief Rohman, dalam kesempatan tersebut menyampaikan pencapaian yang telah dia raih selama 3,5 tahun memimpin. Salah satunya terkait kemiskinan yang dia klaim alami penurunan.
“Seperti angka kemiskinan di Blora setiap tahun mengalami penurunan. Pencapaian ini tidak bisa terlepas dari dukungan tokoh-tokoh, masyarakat semua,” kata Arief Rohman.
Namun, benarkah demikian?
Angka penurunan kemiskinan tak terasa signifikan, padahal Pemkab sudah utang jor-joran
Dalam pemaparan visi-misinya, Arief Rohman menjelaskan kalau pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora makin membaik sejak pandemi Covid-19 selesai. Menurutnya, saat pandemi ekonomi memang ambruk, tapi lambat laun mulai membaik.
“Pertumbuhan ekonomi, alhamdulillah, ketika Covid dulu kita minus. Sekarang pertumbuhan ekonominya sudah positif, 3,1 persen,” klaimnya dalam debat perdana Pilkada Blora 2024 kemarin.
Sementara untuk angka kemiskinan, Arief Rohman mengaku terjadi penurunan. Kendati demikian, dia tak menyebut angka pastinya.
“Dan juga dari sisi kemiskinan, kita Alhamdulillah sampai tahun 2024 ini juga terus mengalami penurunan,” paparnya.
Ketua Masyarakat Pemantau Keuangan Negara (MPKN) Sukisman, mengaku hingga 2024 ini belum menemukan data pasti terkait angka kemiskinan di Blora. Namun, pada 2023 lalu angkanya memang mengalami penurunan, jika mengutip data BPS.
“Tapi kecil sekali (angka penurunan kemiskinan), cuma 0,4 persen. Tak sampai satu persen. Tetap 99 ribu sekian rakyat masih terjerat kemiskinan,” kata Sukisman.
Padahal, kata Sukisman, Pemkab Blora sudah utang jor-joran ke bank untuk percepatan pembangunan–yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan. Nominalnya tak main-main, yakni Rp215 miliar.
“Duwite akeh tapi nggunakno kepiye kok kemiskinan muk mudun 0,4 persen? [uang banyak tapi gimana memakainya kok kemiskinan cuma turun 0,4 persen?],” ujar Sukisman dengan penuh keheranan.
“Uang banyak tapi malah dihibahkan ke APH [aparat penegak hukum] 13,5 miliar. Itu kalau dipakai membangun jalan makadam sudah ratusan kilometer. Jangankan begitu, petani pupuk langka saja tak diurus, padahal titik berat ekonomi harusnya sektor pertanian,” geramnya.
Klaim ngawur di debat Pilkada Blora karena 100 ribu rakyat berpenghasilan 400 ribu
Kegeraman Sukisman pada klaim bupati petahana di debat Pilkada Blora itu itu bukan tanpa sebab. Selama masa kepemimpinan Arief Rohman, dia mengaku melihat secara langsung bagaimana banyak rakyat masih hidup dalam garis kemiskinan. Bahkan, kategori miskin ekstrem.
Mengutip data yang dipaparkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 lalu, jumlah penduduk miskin di Blora mencapai 99,61 ribu orang. Bahkan, masih di catatan yang sama, lembaga statistik ini menyebut 99 ribu warga di Blora berpenghasilan hanya Rp425 Ribu per bulan.
Laporan ini menggunakan pendekatan garis kemiskinan yang dihitung dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Lalu dikelompokkan menjadi miskin atau tidak miskin.
“Penduduk miskin dapat diartikan penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Untuk Kabupaten Blora pada 2023 tercatat Rp 425.135 per kapita per bulan,” tulis laporan BPS tersebut.
Laporan BPS ini bukan cuma di atas kertas saja. Menurut Sukisman, ada lapisan-lapisan masalah lain yang mengikuti seiring dengan tingginya angka kemiskinan ini.
Misalnya, dia mencontohkan, ada banyak petani yang yang terjerat koperasi mingguan dengan bunga 20 persen. Bagi dia, itu hanyalah lintah darat berkedok koperasi.
Tak sampai di situ, angka perceraian di Blora juga menjadi yang tertinggi di Jawa Tengah; 60 persen di antaranya karena faktor ekonomi. Bahkan, angka putus sekolah juga tinggi.
“Bupatinya bergelar doktor, tapi rakyatnya yang putus sekolah sampai 5 ribuan,” tegasnya.
Paling nyesek, angka pengangguran di Blora juga sangat tinggi. Lapangan pekerjaan sulit didapatkan. Kata Sukisman, itulah mengapa jual beli jabatan perangkat desa (perades) sangat masif di Blora karena anak mudanya amat frustrasi mencari mata pencaharian.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Jual Beli Perangkat Desa: Skandal yang Terpelihara di Blora, Bertahun-tahun Demo Berujung Sia-sia
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News