Meninggalnya diplomat Kemlu secara mendadak dan misterius menimbulkan duka sekaligus trauma. Albert, seorang mahasiswa HI UGM, mengaku khawatir dengan masa depannya, jika menjadi “orang bersih” di pemerintahan malah mengancam nyawa.
***
Kabar meninggalnya seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Arya Daru Pangayunan (ADP), telah mengguncang publik. ADP ditemukan tewas di kamar kosnya di Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7/2025).
Peristiwa tragis ini tak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan korps diplomatik, tetapi juga memicu spekulasi luas. Lokasi penemuan jenazah dengan wajah terlilit lakban dan tubuh tertutup selimut, menimbulkan tanda tanya besar.
Lulusan HI UGM ini meninggal karena menyimpan rahasia besar pejabat?
Desas-desus berembus kencang, menyebutkan bahwa lulusan HI UGM itu tak sekadar meninggal dunia karena sebab alamiah. Ada rumor kuat yang beredar, meskipun belum dikonfirmasi resmi oleh pihak kepolisian, bahwa ia tewas dibunuh karena diduga menjadi saksi kunci dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Rumor ini, yang menyebar cepat di media sosial, menciptakan kegelisahan tersendiri mengingat sensitivitas dan bahaya yang melekat pada penanganan kasus kejahatan transnasional, seperti TPPO.
Pihak kepolisian sendiri, melalui keterangan resmi yang dilansir Antaranews, telah melakukan serangkaian penyelidikan intensif. Sejumlah saksi telah dimintai keterangan, serta rekaman CCTV di sekitar lokasi juga telah diperiksa. Menariknya, sidik jari pada lakban yang melilit kepala korban diklaim milik korban sendiri.
Namun, hingga saat ini, hasil autopsi yang diharapkan bisa mengungkap penyebab pasti kematian belum juga diumumkan secara gamblang.
Bikin calon diplomat lain takut
Kabar kematian ADP, bak petir di siang bolong bagi banyak calon diplomat, termasuk Albert (bukan nama sebenarnya). Bagi Albert, seorang mahasiswa Hubungan Internasional (HI) UGM, berita ini bukan hanya sekadar headline, melainkan pukulan telak terhadap idealisme yang selama ini ia pegang teguh.
“Sejak kecil, saya selalu terpesona dengan gagasan diplomasi,” ujarnya kepada Mojok, Kamis (10/7/2025).
“Melihat bagaimana para diplomat bekerja di garis depan untuk mewakili negara, menyelesaikan konflik, dan membangun jembatan antarbudaya, itu selalu terasa begitu mulia,” imbuhnya.
Impian Albert tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia tumbuh besar di tengah keluarga yang aktif di berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan.
Ayahnya, seorang dosen ilmu politik, seringkali berbagi cerita tentang tokoh-tokoh besar yang membentuk dunia melalui negosiasi dan dialog. Sementara ibunya, aktif di berbagai LSM Hak Asasi Manusia, mengajarkan betapa pentingnya membantu sesama.
“Sebelum masuk kuliah, saya sudah terpikir nanti akan jadi apa. Diplomat itu jadi top of mind,” ungkapnya.
Belajar “diplomasi adalah kekuatan” di HI UGM
Oleh karena itu, Albert memilih kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Pilihan untuk kuliah di Hubungan Internasional (HI) UGM pun bukan tanpa alasan.
Baginya, UGM dengan reputasi akademiknya yang kuat dan tradisi kebangsaan yang kental, adalah pilihan paling logis. Apalagi, jurusan ini kerap melahirkan duta besar bagi Indonesia.
Sebut saja Agung Cahya Sumirat (KBRI Kamerun), Muhsin Syihab (KBRI Kanada), dan Witjaksono Adji (KBRI Kenya), yang belum lama ini dilantik. Atau, paling terkenal adalah Hidayat Mukmin, diplomat yang juga mantan Wakil Gubernur Lemhanas
“Banyak alumni UGM yang sukses di kancah diplomasi internasional, itu juga jadi motivasi besar buat saya,” ungkapnya.
Di jurusan HI UGM juga, Albert belajar bahwa “diplomasi adalah kekuatan”. Sejarah bicara bahwa kemerdekaan suatu bangsa, termasuk Indonesia, tak lepas dari upaya-upaya diplomasi dengan negara lain.
“Ibarat orang lagi perang, diplomat itu pembawa pesan di garda depan untuk perdamaian. Itu yang selalu diajarkan. Makanya, di UGM ini keinginan saya buat jadi diplomat terus dipupuk.
Namun, realitas tak seheroik itu
Tapi itu dulu. Setelah mendengar kabar meninggalnya diplomat Kemlu, idealisme-nya mulai terkikis, keberaniannya juga mulai memudar seiring dengan muncul anggapan bahwa menjadi “orang bersih” itu berbahaya.
Apalagi, diplomat Kemlu yang meninggal merupakan alumni HI UGM, yang jelas memiliki “ikatan tak terlihat” yang bikin dia merasa berduka, marah, tapi juga takut dalam satu waktu.
Apalagi, desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa diplomat tersebut “dirumorkan” meninggal karena dibunuh. Dibunuh karena tugas mulia.
“Ini bukan lagi sekadar berita duka biasa.” kata dia. “Jika benar ada korelasi antara tugas dan kematian beliau, maka pekerjaan itu memang berisiko. Apalagi kalau sudah berurusan dengan rahasia negara dan isu-isu sensitif.”
Bagi Albert, ketakutan ini terasa nyata. Sebab, ancaman keselamatan itu memang terasa begitu dekat. Saat ini, ketakutan ini bukan lagi soal kegagalan dalam karier, melainkan ketakutan akan konsekuensi terburuk dari pengabdian itu sendiri.
“Apakah harga yang harus dibayar untuk idealisme ini sepadan dengan potensi risiko yang mengintai? Mungkin sudah saatnya mempertimbangkan jalur karier lain,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kuliah di Kampus Besar Seperti UGM Bukan Hanya Soal Gengsi, Salah Satunya Cari Aman dari Dosen Problematik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
