Jauh sebelum wacana sekolah libur selama Ramadan menyeruak karena pernyataan Menteri Agama, di rumah kecil keluarga saya sudah sempat ada “diskusi” itu: bagaimana jika selama satu bulan penuh bulan puasa tidak ada kegiatan sekolah?
Adik saya jelas menyambut antusias. Sementara ibu saya memberi respons berbeda.
“Nggak lah, tetep masuk aja. Kalau libur kamu cuma main HP. Di rumah nggak ngapa-ngapain juga,” keluh ibu saya.
“Kalau dulu zaman Gus Dur memang ada libur selama puasa. Tapi bedanya, zaman segitu kan belum ada HP,” sambungnya.
Diskusi itu berlalu begitu saja. Sampai akhirnya, baru-baru ini Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menyebut ada wacana memberlakukan kebijakan itu kembali: sekolah libur selama Ramadan.
Dalam pernyataannya, Nasaruddin sebenarnya menyebut hanya lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (sekolah atau pesantren) yang diwacanakan memakai kebijakan tersebut. Sedangkan untuk “sekolah umum” bisa menyesuaikan.
Menteri Agama itu pun juga mengatakan kalau publik diminta menunggu. Karena memang masih dalam tahap wacana. Namun, beragam reaksi sudah langsung diberikan oleh publik.
Jika sekolah libur selama Ramadan, di rumah mau ngapain?
Di media sosial, ternyata lebih banyak yang menolak kebijakan sekolah libur selama Ramadan. Salah satunya Khalifah (26), perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah.
Khalifah memang belum punya anak. Belum menikah juga. Tapi dia punya adik yang sekarang duduk di bangku kelas 3 SMP.
“Wong libur hari Minggu atau pas tanggal merah aja aku sumpek lihat adikku. Main HP terus. Bantu orang tua juga nggak. Cuma main siang malam. Aku nggak kebayang kalau liburnya sebulan,” ujar Khalifah, Jumat (3/12/2024).
Dia membayangkan, mungkin saja selama libur Ramadan itu pihak sekolah akan memberikan tugas-tugas khusus. Misalnya, tugas belajar sendiri, mengisi buku kegiatan Ramadan (seperti dulu-dulu), atau sejenisnya. Pertanyaannya, seberapa efektif tugas-tugas tersebut?
“Orang kelas menengah atas mungkin akan bilang, orang tua biasa mengontrol anak buat mengerjakan tugas-tugas itu. Tapi kalau orang kelas menengah bawah, orang desa seperti kami, nggak sempet yang begitu-begitu. Karena repot kerja,” babar Khalifah.
Bagi Khalifah, jika tetap sekolah selama Ramadan, setidaknya adiknya masih bisa produktif. Sekolah tidak menjadi alasan belajar jadi tidak fokus karena lapar dan seterusnya. Tidak jadi alasan pula meninggalkan ibadah.
“Malah kalau aku dulu sekolah, ibadah selama Ramadan bisa bagus. Karena kan selama Ramadan program sekolahnya dibuat beda. Ada tadarus bareng, ada salat duha bareng, dan mencari ilmu itu kan ibadah juga, to. Kalau sekolah libur, nggak ada jaminan juga di rumah adik saya bakal rajin ibadah atau tadarus,” pungkasnya.
Pesantren ikut sekolah libur selama Ramadan itu agak aneh
Bagi pengasuh beberapa pesantren, Ramadan biasanya akan menjadi momentum untuk meningkatkan intensitas ngaji. Beberapa pesantren di tempat asal saya, Rembang, Jawa Tengah, memang begitu.
Ambil contoh di pesantren saya dulu di Lasem. Kiai saya selalu menyiapkan tema-tema khusus untuk menyambut bulan Ramadan. Lalu beberapa kitab dengan tema yang sudah ditentukan itu akan dikhatamkan selama 25 hari Ramadan itu. Baru kemudian para santri akan diberi masa libur cukup lama.
Tapi memang pesantren saya secara kelembagaan tidak bernaung di bawah Kemenag. Lantas bagaimana yang bernaung di bawahnya?
Muhit (40) adalah salah satu orang tua yang anaknya mukim di sebuah pesantren di bawah naungan Kemenag di Jawa Timur. Muhit tidak berkenan menyebut nama pesantren dan asal daerahnya.
“Karena orang tua seperti saya itu, jujur, lebih tenang kalau misalnya anak di pondok kalau bulan puasa,” ujarnya kepada Mojok, Sabtu (4/1/2024).
“Ya kadang kangen, kepikiran, di rumah dia bisa minum es buah buatan ibunya. Tapi kalau di pondik dia bagaimana? Cuma, ya lebih baik di sana karena kualitas ngaji dan ibadahnya lebih bagus,” sambung pria yang berprofesi sebagai guru IPS sebuah SMP itu.
Jadi, bagi Muhit, wacana sekolah—termasuk pesantren—libur selama Ramadan itu tidak membuatnya senang karena anak punya banyak waktu di rumah.
“Eman kalau puasa-puasa di rumah. Kalau orang tua nggak eman, tentu selama ini nggak bakal ada istilah pesantren kilat yang khusus ada selama Ramadan kan,” jelas Muhit.
Karena memang umumnya orang tua yang anaknya tidak nyantri, akan mengikutkan anaknya di pesantren kilat. Agar Ramadannya lebih bermakna.
Kata NU
Selain Khalifah dan Muhit yang tidak setuju, ada juga warganet lain yang menyatakan setuju sekolah libur selama Ramadan. Dengan alasan, agar anak punya banyak waktu dengan orang tua dan agar ibadahnya bisa maksimal kalau di rumah. Alasan yang sebelumnya dibantah oleh Khalifah.
Tokoh-tokoh agama pun turut memberi pendapat terkait wacana Menteri Agama itu. Kita ambil saja tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia.
Ketum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) meminta pemerintah mempertimbangkan secara matang sebelum ketok palu.
“Ramadan itu digunakan untuk apa bagi anak-anak sekolah ini? Apalagi kalau kita lihat anak-anak sekolah yang non-Muslim, apakah mereka juga libur?” katanya dalam acara bertajuk Ngopi Bareng Gus Yahya dengan Sahabat Media di kantor PBNU Jakarta, Jumat (3/12/2024).
“Nah, kalau ikut libur untuk apa? Ini juga harus dipikirkan,” sambungnya.
Gus Yahya menekankan pada model libur yang bakal diterapkan. Jadi siswa tidak hanya sekadar tidak masuk sekolah. Tapi juga harus jelas sistem pembelajaran mereka selama di rumah.
Kata Muhammadiyah
Sementara Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, mengatakan menyambut gembira wacana Menteri Agama itu. Baginya, libur sekolah selama Ramadan adalah bentuk penghormatan kepada bulan suci tersebut.
Hanya saja, dia juga menekankan, bahwa pemerintah dan pihak sekolah tetap perlu memberi panduan. Sehingga ketika libur sekolah, bukan berarti siswa tidak belajar sama sekali.
“Ada banyak jenis kecerdasan dan keterampilan yang bisa diasah selama sekolah libur Ramadan. Mulai dari spiritual dengan salat lima waktu dan mengaji di masjid, terlibat dalam kegiatan sosial seperti bersih-bersih masjid dan lingkungan, hingga seni budaya,” kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya di laman resmi PWMU.
“Agar program libur puasa tersebut benar-benar berarti dan bermakna, tidak hanya bagi sang anak, tapi juga bagi orang tua dan masyarakat serta sekolahnya,” tekannya.
Kalau teman-teman pembaca, setuju sekolah libur selama Ramadan atau tidak?
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pembuktian Alfian: Dianggap Sebelah Mata karena Buta, Kini Diangkat PNS dan Raih Gelar S2 atau baja liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.