Sudah satu pekan sejak banjir besar melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, tapi jejak kerusakan di sektor pendidikan masih terlihat di mana-mana. Di banyak kabupaten, bangunan sekolah berdiri seperti rangka kosong. Temboknya mengelupas, lantainya tertutup lumpur tebal, sementara sebagian lainnya bahkan tak lagi dapat ditemukan karena hanyut bersama arus.
Di tengah kehancuran itu, ratusan ribu siswa dan guru masih terkatung-katung tanpa kepastian kapan dapat kembali belajar.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut situasi ini sebagai “kelumpuhan pendidikan” yang seharusnya memaksa pemerintah bergerak lebih cepat. Namun, hingga hari ketujuh pascabencana, Presiden Prabowo Subianto belum menetapkan status bencana nasional.
Keputusan yang tak kunjung datang ini, menurut JPPI, menjadi salah satu penyebab lambannya penanganan dan minimnya intervensi dari pusat untuk memulihkan layanan pendidikan.
“Kerusakan infrastruktur pendidikan sangat parah. APBD daerah jelas tidak akan mampu menanggungnya sendirian,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangannya kepada Mojok, Kamis (4/12/2025).
Tanpa status bencana nasional atau setidaknya status darurat pendidikan dari pemerintah pusat, akses terhadap dana kontinjensi, anggaran mendesak, maupun dukungan logistik skala besar menjadi sangat terbatas.
“Akibatnya, proses di lapangan jalan di tempat,” tambahnya.
Sekolah hancur, anak telantar, risiko “generasi hilang” di depan mata
Di sejumlah wilayah terdampak, sekolah-sekolah masih dibiarkan dalam kondisi memprihatinkan. Banyak bangunan belum tersentuh alat berat atau bantuan pembersihan yang memadai.
Guru dan warga pun terpaksa bekerja manual mengeruk lumpur yang mengeras, mengumpulkan meja dan kursi yang rusak, atau mengeringkan buku-buku yang sudah melekat menjadi satu.
“Sudah satu pekan, tapi pembersihan sekolah masih banyak dilakukan manual karena belum ada dukungan logistik yang cukup,” kata Ubaid.
Kesulitan lain muncul dari soal pendanaan. Dinas pendidikan di daerah mengaku tak memiliki anggaran memadai untuk rehabilitasi darurat. Bantuan dari Kemendikdasmen sebesar Rp13,3 miliar pun dinilai jauh dari cukup, terutama mengingat jumlah sekolah terdampak mencakup puluhan kabupaten/kota di tiga provinsi.
“Biaya rehabilitasi satu sekolah yang rusak sedang hingga berat dapat mencapai miliaran rupiah. Jadi untuk wilayah yang luas seperti ini, Rp13,3 miliar hanya bersifat simbolis, bukan solusi,” ujar Ubaid.
Di tengah kerusakan infrastruktur tersebut, proses pembelajaran praktis terhenti. Banyak sekolah masih diliburkan karena tidak memiliki ruang belajar pengganti. Tenda darurat yang seharusnya disiapkan bagi siswa belum tersedia secara memadai, baik dari segi jumlah maupun kelayakan.
Beberapa titik pengungsian memang memiliki tenda umum, tetapi tidak dirancang untuk aktivitas belajar. Tempatnya kurang cahaya, kurang ventilasi, dan minim sanitasi.
“Semakin lama anak tidak kembali belajar, semakin besar kerusakan psikologis dan ketertinggalan akademiknya,” tegas Ubaid.
Kebutuhan perlindungan anak juga nyaris luput dari perhatian. Walau evakuasi dan distribusi logistik dasar telah berjalan, langkah-langkah untuk mengembalikan anak pada lingkungan yang aman dan stabil belum terlihat. Banyak anak menghabiskan hari dengan menganggur di pengungsian, tanpa aktivitas yang terarah untuk memulihkan trauma atau menjaga ritme belajar.
“Mereka butuh ruang aman, butuh rutinitas, butuh stimulasi belajar. Bukan hanya bertahan hidup,” kata Ubaid.
Di sisi lain, bayang-bayang putus sekolah makin nyata. Banyak keluarga kehilangan mata pencarian akibat banjir. Rumah rusak, sawah hilang, tabungan terkuras.
Dalam kondisi seperti ini, biaya pendidikan menjadi beban yang tak lagi mampu ditanggung. Ubaid mengingatkan, tanpa skema perlindungan sosial khusus untuk mencegah putus sekolah, Indonesia berisiko menghadapi “generasi hilang”. Anak-anak bukan hanya terhenti sementara, tetapi bisa tidak kembali ke sekolah sama sekali karena pemulihan ekonomi keluarga memakan waktu lama.
“Jika tidak ada intervensi cepat, kita akan menghadapi generasi yang hilang akibat banjir dan kelambanan negara,” ujarnya.
Tetapkan bencana nasional, hitung ulang kebutuhan dana pendidikan secara menyeluruh
Melihat skala kerusakan dan potensi krisis jangka panjang tersebut, JPPI mendesak pemerintah mengambil langkah strategis segera. Mereka meminta Presiden menetapkan status bencana nasional dan meminta Mendikdasmen mengeluarkan surat keputusan darurat pendidikan di wilayah terdampak.
Status ini dianggap krusial untuk membuka akses pendanaan cepat, memobilisasi sumber daya manusia, serta memperkuat koordinasi lintas kementerian.
JPPI juga menekankan perlunya perhitungan ulang kebutuhan dana secara menyeluruh. Pemerintah pusat diminta mengalokasikan anggaran pemulihan pendidikan yang realistis, bukan sekadar bantuan simbolis. Mekanisme pencairan juga perlu dipermudah agar daerah tidak terhambat oleh prosedur yang berbelit di tengah situasi darurat.
Selain itu, percepatan pembangunan sekolah darurat menjadi tuntutan utama. JPPI menegaskan bahwa tenda atau bangunan sementara harus memenuhi standar keamanan dan kelayakan, lengkap dengan listrik, air bersih, MCK terpisah, dan fasilitas P3K. Tanpa itu, anak-anak akan terus berada dalam kondisi rapuh—baik secara fisik maupun mental.
JPPI terus menekankan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh berhenti meskipun bencana melanda. Pemulihan sektor pendidikan, kata mereka, sama pentingnya dengan pemulihan infrastruktur lain.
“Kami mendesak Presiden dan jajaran menterinya mengambil keputusan politik yang berani untuk menyelamatkan masa depan anak-anak di Sumut, Sumbar, dan Aceh,” ujar Ubaid. “Jangan biarkan mereka menjadi generasi yang hilang akibat bencana dan kelambanan respons.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
