Film Animasi Merah Putih: One for All bikin Miris Animator Indonesia yang Susah Payah Berkarya Sampai Luar Negeri

Trailer film animasi Merah Putih: One for All yang akan tayang di bioskop. (Tangkapan layar Youtube/CGV Kreasi)

Film animasi Merah Putih: One for All yang rencananya bakal tayang di bioskop pada Kamis (14/8/2025), tak hanya menyayat hati para penikmat film, tapi juga animator. Seorang animator lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkap kerja-kerja yang harus ia lalui dalam pembuatan film animasi.

***

Amy Rahmadhita (25) sudah lama tertarik di bidang animasi sejak ia kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB pada tahun 2017. Saat kecil, Amy memang suka menggambar. Dari sanalah ia bisa mengekspresikan segala pemikiran dan perasaannya lewat visual.

Setelah lulus S1 DKV dari ITB, perempuan asal Depok tersebut melanjutkan kuliah S2-nya di Eropa. Saat itulah Amy mendapat tugas menyelesaikan tesis berupa film animasi pendek.

“Untuk film berdurasi 10 menit, aku butuh waktu dua tahun. Mulai dari proses pemikiran, konsep, eksekusi, hingga evaluasi,” ujar Amy saat dihubungi Mojok, Selasa (12/8/2025).

Maka, saat mendengar proses pembuatan film animasi Merah Putih: One for All, yang berdurasi 70 menit dengan penggarapan kurang dari satu bulan, Amy justru maklum. Maklum dengan hasilnya yang seperti “itu” sampai dikritik netizen.

“Jadi wajar aja sih kalau animasinya kayak gini, kata orang kan jelek ya. Ini kata orang ya. Aku cuman mengapresiasi usaha dia aja, kan katanya dia bikin animasi tanpa dapat anggaran dari pemerintah,” kata Amy.

Merah Putih: One for All dianggap korupsi duit negara

Baru beberapa hari setelah trailer film animasi Merah Putih: One for All tayang di Youtube CGV Kreasi, banyak masyarakat Indonesia yang membajirinya dengan kritik pedas. Menurut pantauan Mojok pada Selasa (12/8/2025) sore, trailer itu sudah ditonton sebanyak 784 ribu kali dalam tiga hari terakhir, dengan 14 ribu komentar.

cuplikan animasi hut ri. MOJOK.CO
cuplikan film Merah Putih: One for All saat pergi ke hutan mencari bendera. (Tangkapan layar Youtube/CGV Kreasi)

“Kalau ini film buatan anak umur 10 tahun dan dibuat sendiri, diunggah sekadar untuk konten Youtube dalam rangka merayakan HUT, ini bakal gw apresiasi dan gw dukung anak itu,” ucap salah satu akun di Youtube @Gak***, dikutip pada Selasa (12/8/2025).

“Sudah capek-capek Jumbo menaikkan rating kualitas Indonesia, malah diturunkan lagi sama animasi ini,” tulis @fjr*****.

“Saya suka sekali dengan trailer ini, terasa sekali korup dan pencuciannya,” ujar @kin*****.

Atas banyaknya komentar pedas dari netizen, Toto Soegriwo, produser film animasi Merah Putih: One for All akhirnya buka suara. Ia mengungkap jika tuduhan soal dana sebesar Rp6,7 miliar dari pemerintah untuk produksi film tersebut tidaklah benar. 

“Kami tidak pernah menerima satu rupiah pun dana dari pemerintah, apalagi melakukan tindakan korupsi atau memanfaatkan uang haram sebagaimana yang dituduhkan,” tulis Toto di akun X pribadinya pada Senin (12/8/2025).

Ia menjelaskan jika Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar saat audiensi bersama tim hanya memberikan sejumlah masukan. Toto mengklaim tak ada penerimaan dana saat audiensi, melainkan hanya mendapat masukan soal cerita, karakter, visual (look and feel).

“Beliau tidak memberikan bantuan finasial maupun fasilitas promosi kepada film ini,” ujar Toto.

Baca Halaman Selanjutnya

Anggaran besar tak menjamin kualitas film animasi

Anggaran besar tak menjamin kualitas film animasi

Terlepas dari kebenaran kontroversi di atas, Amy berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada karya animasi. Idealnya, kata dia, hasil film animasi yang baik pengerjaannya dapat dilakukan selama bertahun-tahun. Termasuk proses pembuatan Merah Putih: One for All yang “sebetulnya” tak realistis.

Amy menjelaskan jika proses pembuatan film animasi tidak bisa disama ratakan dengan pembuatan film live action yang menggunakan aktor manusia. Seorang animator maupun tim produksi dituntut untuk “melahirkan” karakter mati, tidak bisa misalnya sang aktor melakukan improvisasi karakter dalam cerita.

“Animasi itu sangat detail dan terperinci. Sebagian besar ceritanya stick to the plan karena semakin kami melakukan improvisasi, nanti bakal banyak waktu yang terbuang,” kata Amy.

Salah satu karakter dalam film animasi. (Tangkapan layar Youtube/CGV Kreasi)

Selain itu, menurut Amy, jumlah anggaran yang besar tidak menentukan kualitas film animasi. Begitupun dengan Merah Putih: One for All, tidak bisa ditentukan bagus tidaknya hanya dengan jumlah anggaran.

Kalau diiringi dengan waktu yang cukup dan planning yang baik, berapapun anggarannya, harusnya filmnya bisa sukses. Karena menurutku, semua tergantung dari timnya, baik animator, produser, sound, dan sebagainya,” ujar Amy.

Negara perlu belajar kembangkan film animasi

Sebut saja film Jumbo yang baru-baru ini sukses di bioskop. Dilansir dari berbagai sumber, Jumbo menghabiskan waktu produksi hingga lima tahun dengan biaya lebih dari Rp20 miliar. Menurut The Conversation, Jumbo menjadi film terlaris sepanjang masa dengan perolehan 10 juta orang penonton dalam waktu 2 bulan penayangan.

Produser film Jumbo, Anggia Kharisma mengatakan melejitnya angka penjualan tiket tersebut sebagai bentuk dari kepercayaan masyarakat akan industri animasi Indonesia. Ia memastikan bahwa visual maupun cerita yang dibawa dalam film Jumbo dapat menyentuh hati penonton. Tak seperti Merah Putih: One for All.

Jumbo dibuat untuk kita semua, untuk anak-anak kita dan untuk anak-anak dalam diri kita,” ucapnya dikutip dari Kompas.id, Selasa (12/8/2025).

Sepakat dengan Anggia, Amy berujar sejatinya film animasi tidak dikhususkan untuk anak-anak. Orang dewasa pun dapat menikmatinya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberi dukungan kepada para animator Indonesia.

“Teman-teman animator Indonesia itu sangat berbakat sebetulnya. Cuman aku merasa produksi film maupun festivalnya belum banyak. Sementara, di luar negeri contohnya di Eropa tempat aku kuliah, film animasi dari mereka yang tayang di bioskop itu sudah banyak sekali,” kata Amy.

“Jadi aku berharap Indonesia bakal lebih terbukalah dengan potensi yang bisa dihasilkan dari film animasi ini,” lanjutnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Film Jumbo Bukan Animasi Biasa, Tapi Realitas Sosial Anak-anak Indonesia yang Tumbuh Tanpa Kasih Sayang Orangtua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version