Pemboikotan film animasi “Merah Putih: One for All” tentu menimbulkan kerugian, terutama dananya yang menghabiskan uang sebesar Rp6,7 miliar. In this economy, dana itu bisa disalurkan ke program yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk menyejahterakan guru honorer.
***
Lewat fitur Instagram Add Yours, warga net ramai membagikan sebuah template yang mendesak pembatalan film animasi “Merah Putih: One for All” di bioskop. Menurut pantauan Mojok, Add yours yang dibuat oleh akun Instagram @neohistoria.id itu sudah dibagikan oleh 226 ribu pengguna Instagram.
“Film ini adalah sebuah penghinaan terhadap industri kreatif Indonesia. Kualitasnya yang buruk dan penggunaan aset siap pakai menunjukan inkompetensi yang jelas. Ini merupakan sebuah kemunduran besar, terutama setelah kita berhasil mencapai standar kualitas tinggi melalui film Jumbo…” tulis akun tersebut.
Sebelum mendapat kritik tajam dari warganet, Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Pagaru sudah sepakat jika film animasi Merah Putih: One for All dibatalkan dari bioskop. Ia mengaku miris saat melihat kualitas film tersebut berdasarkan trailer yang sudah tayang.
“Trailernya itu sudah tidak beres, logikanya nggak jalan, jadinya kayak apa. Kalau minta tanggapan saya, justru sangat disayangkan. Sangat disayangkan muncul film seperti ini,” ujar Gunawan dikutip dari Kumparan, Kamis (14/8/2025).
Di sisi lain, Produser film animasi Merah Putih: One for All, Toto Soegriwo pernah mengungkap lewat akun Instagram pribadinya bahwa proyek itu menghabiskan biaya produksi sebesar Rp6,7 miliar. Di tengah informasi itu, Indonesia juga tak luput dari masalah ekonomi. Reporter Mojok memperkirakan ada dua hal yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan uang sebesar Rp6,7 miliar tersebut, yakni:
#1 Dana film animasi Merah Putih bisa untuk gaji 22.000 guru honorer
Pernyataan Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini membuat masyarakat geram. Ia justru mengembalikan pertanyaan ke publik tentang bagaimana cara mengsejahterahkan hidup para pengajar di Indonesia, termasuk guru honorer.
“Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” ucap Sri Mulyani dalam acara Konvensi Sains, Teknologi dan Industri Indonesia dikutip dari Youtube Institut Teknologi Bandung pada Jumat (8/8/2025).
Mojok kerap membuat liputan soal masalah kesejahteraan guru honorer. Kebanyakan dari mereka mengeluh soal gaji yang tak layak dengan beban tugas yang “menyiksa”.
Salah satunya Arianti (27) yang pernah digaji sebesar Rp100 ribu perbulan sebagai guru TK honorer di Ciamis, Jawa Barat. Karena tergolong masih muda, ia kerap dianggap pintar IT.
“Jadi disuruh ngerjain pengisian administrasi sekolah. Pengisian survey lingkungan belajar juga aku yang ngerjain. Padahal sebenernya ngerjain bareng-bareng tuh gampang, tapi ini numpahin tugasnya ke aku sendiri,” ujar Arianti Selasa (1/10/2024) sore WIB.
Kementerian Keuangan sebetulnya sudah membuat aturan soal gaji “layak” untuk guru. Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PMK.02/2022 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2023.
Berdasarkan PMK tersebut, besaran gaji pengajar honorer yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara adalah sebesar Rp300.000. Sementara pengajar honorer yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara adalah Rp200.000.
Jika mengacu pada aturan di atas, anggaran untuk film animasi “Merah Putih: One for All” sebesar Rp6,7 miliar dapat digelontorkan untuk menggaji sekitar 22 ribu lebih guru honorer. Atau paling tidak, menaikkan gaji mereka dengan layak.
#2 Membangun 44 rumah subsidi untuk MBR
Generasi Z semakin khawatir tidak bisa membeli rumah sendiri, mengingat kondisi lahan dan harga rumah yang terus melonjak. Mojok kerap mewawancarai mereka yang kesulitan membeli rumah karena banyak faktor. Misalnya, penghasilan mereka yang tidak sebanding dengan harga lahan selangit.
Yanuar Yudhistira (25) bercerita, sudah tiga tahun ini ia bekerja di Jogja dengan penghasilan sebesar Rp2,4 juta. Ia tidak bisa meninggalkan kota tersebut karena calon istri dan relasinya ada di sana. Bahkan ia dan pacarnya sudah punya rencana menikah dan harapan untuk beli rumah.
Sayangnya, keinginannya buat punya rumah sendiri cukup sulit diwujudkan. Gajinya terlalu kecil, tabungan pun tak seberapa, dan kalaupun harus ambil KPR ia tak terlalu yakin sanggup melunasi cicilan. Padahal, rumah adalah kebutuhan dasar manusia untuk hidup.
“Soalnya nggak mungkin tinggal bareng mertua. Di sana udah ada keluarga ipar, jadi kami ingin ada privasi lebih,” ujar Yanuar kepada Mojok, Selasa (27/4/2024).
Melansir dari laman Instagram resmi Pusiklatap, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp18,8 triliun untuk 115 ribu unit rumah subsidi pada semester pertama tahun 2025. Rumah itu diperuntukkan bagi Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Artinya, untuk membangun satu unit rumah subsidi pemerintah perlu dana sekitar Rp163.400. Maka, dengan uang sebesar Rp6,7 miliar untuk pembuatan film animasi Merah Putih: One for All, setidaknya pemerintah dapat membuat 44 rumah subsidi.
Meski tidak bayak, tapi rumah itu bisa membantu masyarakat berpenghaslan rendah. Bahkan tak hanya satu orang, bayangkan jika rumah itu ditinggali oleh satu keluarga yang setidaknya terisi oleh 3 orang. Manfaatnya pun berkalipat-lipat dibanding membuat film yang tak jadi tayang di bioskop.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Film Animasi Merah Putih: One for All bikin Miris Animator Indonesia yang Susah Payah Berkarya Sampai Luar Negeri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
