Kampung Wotawati, Pucung di Gunungkidul ini unik. Matahari tenggelam di sekitar pukul 15.00 dan baru terlihat menyinari dusun sekitar pukul 10.00. Jadi salah satu Tempat Pemungutan Suara terpencil di Yogyakarta.
***
Sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas di TPS 001 di Dusun Wotawati, Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo Gunungkidul, Sumarwanto (32) terlihat tenang. Semua persiapan dan infrastruktur untuk pemungutan suara sudah siap.
“Dari kelurahan semua logistik dikirimkan tadi siang, semua sudah siap. Di sini ada dua TPS, satu lagi ada di rumah pak dukuh,” katanya Rabu (13/2/2024).
Saya datang ke Wotawati setelah bertanya ke Ketua KPU DIY, Ahmad Shidqi, lokasi TPS paling terpencil atau yang aksesnya sulit. Ada dua kampung yang ia berikan. Salah satunya Wotawati.
Jalan yang menantang untuk yang tidak biasa
Jalan menuju kampung ini cukup menantang karena harus melewati turunan cukup tajam. Untungnya jalanann yang sudah dicor tidak membuat sulit warga setempat. Namun, tidak bagi orang-orang yang belum biasa.
Meski terpencil, nama Kampung Wotawati ini cukup terkenal karena merupakan kampung yang menempati lembah Bengawan Solo Purba. Salah satu keunikan kampung ini lainnya adalah matahari tenggelam lebih awal, yaitu sekitar pukul 15.00 dan muncul lebih lambat, antara pukul delapan hingga sepuluh pagi.
“Kalau di sini meski matahari baru kelihatan jam 9, aktivitas warga ya tetap dari pagi. TPS ini mulai pukul 07.00,” kata Ketua KPPS 01 Wotawati Pucung, Siwi Purbandari (38), Kamis (14/2/2024). Di bulan-bulan tertentu, matahari baru kelihatan pukul 10.00 WIB.
Hal senada diungkapkan Ketua KPPS 02 Wotawari, Robi Hastanto (29) yang mengatakan, jam 7 tepat warga sudah datang untuk melakukan upacara. Dilanjutkan sumpang janji anggota KPPS.
“Warga sudah antri untuk mencoblos,” kata Robi. Di TPS 002 ada 156 Daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi ada satu warga yang meninggal sehingga tersisa 155.
Menurut Robi, ada sebagian anak muda yang merantau di Kota Jogja maupun Jabodetabek yang kelihatannya nggak menggunakan hak suaranya. Hal ini karena sampai jelang pertengahan waktu pencoblosan, warga tersebut tidak terlihat. “Kami menunggu sampai pukul 12.00 untuk DPT, untuk DPK sampai pukul 13,” ujarnya.
Antusiasme warga untuk menggunakan hak suaranya terlihat dari Mbah Sumirah (82) dia yang kesulitan untuk berjalan minta petugas untuk menjemput di rumahnya. Untungnya rumah yang bersangkutan tidak jauh dari TPS.
“Putu-putuku ora mulih, mung aku karo anakku. Cucuku nggak pulang, cuma saya dan anak perempuan saya yang di rumah,” kata Mbah Sumirah.
Sejarah nama Wotawati, kampung peninggalan Majapahit
Sedikit tentang sejarah Wotawati saya dapatkan dari mantan Dukuh Wotawati, Suratin (68). Lebih dari 30 tahun ia menjadi dukuh di kampung yang dulunya merupakan sungai Bengawan Solo Purba.
“Kisahnya bermula dari peperangan antara Majapahit dan kerajaan Demak. Ibaratnya perang antara bapak dan anak. Majapahit itu bapak dan Demak itu anak,” kata Mbah Suratin saat saya temui, Rabu (13/2/2024) di kediamannya.
Salah seorang punggawa Kerajaan Majapahit, yaitu Raden Joyo Sukmo dan istrinya Ni Mas Arum Sumawati kemudian pergi dari Majapahit ke arah barat daya. Mereka kemudian melihat sebuah lembah yang subur.
Di tempat itulah, kemudian mereka bersama pengikut-pengikutnya tinggal. “Suatu hari, Ni Mas Arum Sukmawati mengajak suaminya untuk jalan-jalan. Karena bekas Bengawan Solo Purba, ada kalenan, yang kemudian dibuat wot atau jembatan dari bambu,” kata Mbah Suratin.
Jembatan dan wot dari bambu itu ternyata licin dan menyebabkan Ni Mas Arum Sukmawati kemudian terpeleset dan jatuh. Karena peristiwa itu, Raden Joyo Sukmo, kepada anak cucunya kemudian mengatakan, kampung yang mereka tempati namanya Wotawati dari kata “wot” dan “wati”. Setelah sekian lama, Raden Joyo Sukmo kemudian berpamitan kepada istri, anak, dan cucunya untuk mengikuti Raja Brawijaya V yang melarikan diri dari kejaran Demak di wilayah pantai selatan.
“Gua Song Putri itu namanya juga dari Ni Mas Arum Sukmawati. Beliau tinggal di sini sampai kemudian moksa,” katanya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Panembahan Seloning, Adu Mancing, dan Pelarian Majapahit yang Memilih Bertapa
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News