Yenny Wahid: Tak Perlu Ada Label Gender pada Kepemimpinan Perempuan 

yenny wahid perempuan mojok.co

Yenny Wahid saat berbicara di Fisipol UGM (ugm.ac.id)

MOJOK.CO Yenny Wahid, politisi dan aktivis perempuan, mengkritisi penyematan label gender pada kepemimpinan perempuan. Dalam sebuah acara, ia merasa keberatan apabila disebut sebagai women leader alias pemimpin perempuan.

Yenny menjelaskan, di tengah bias gender yang kerap terjadi, ia berharap semua pihak bisa membiasakan agar kesetaraan gender langsung bisa dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.

“Jadi, kalau saya disebut women leader agak keberatan. Kalau saya dibilang pemimpin maka cukup disitu saja pemimpin, tidak perlu women leader karena male leader, pemimpin laki-laki tidak pernah ditaruh gender di belakangnya,” ujarnya, mengutip dalam laman resmi ugm.ac.id, Sabtu (8/7/2023).

Ia tidak memungkiri antara pemimpin perempuan dan pemimpin laki-laki memang ada pembedanya. Karakteristik perempuan lebih mengedepankan pembangunan konsensus dan harmoni sehingga ketika menduduki posisi strategis maka seorang perempuan akan berusaha untuk mencari titik temu.

“Selain itu, kepemimpinan perempuan dalam politik merupakan hal yang penting karena hanya perempuan yang mampu dan mau memperjuangkan isu-isu yang penting bagi perempuan itu sendiri,” ucapnya di Fisipol UGM, Jum’at (7/7) saat menjadi pembicara Fisipol Leadership Forum bertajuk Women Political Leadership: To Unite What Male Politicians Have Divided.

Peace Village

Nama Yenny Wahid memang sudah tidak asing di dunia aktivis. Melalui Wahid Foundation, ia menggerakkan program Peace Village. Program tersebut melibatkan warga desa untuk menjadi desa yang menerapkan nilai-nilai perdamaian sekaligus memiliki kemandirian ekonomi.

Gerakan ini mengembangkan program-program memberdayakan para perempuan di desa-desa untuk mendorong peningkatan ekonomi keluarga mereka. Mereka bisa tetap tinggal di rumah dan mengasuh anaknya, sambil membuat usaha kecil untuk membantu pendapatan keluarga.

Selain itu, juga akan dibekali kemampuan dalam menerapkan nilai-nilai perdamaian di lingkungan mereka masing-masing sehingga tidak mudah terprovokasi dalam kasus-kasus intoleransi dan konflik kekerasan. Lebih dari itu mereka justru memiliki kemampuan dalam melakukan deteksi dini terhadap intoleransi dan konflik kekerasan. Di sini, kelompok perempuan menjadi aktor kunci pembangun perdamaian.

Sejak 2013, Wahid Foundation telah bermitra dengan berbagai pihak dan organisasi seperti ICCO, The Body Shop, dan Kedutaan Finlandia untuk mengembangkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di Indonesia.

Pada 2017, bekerja sama dengan UN Women, sebuah program bertajuk “Partisipasi Perempuan untuk Masyarakat Inklusif” atau disingkat WISE diluncurkan. Program ini menekankan peran perempuan dalam mempromosikan kerekatan dan ketahan sosial untuk memupuk perdamaian di komunitas. WISE mengembangkan konsep “Desa Damai” sebagai pendekatan untuk melibatkan para pemangku kepentingan di desa secara keseluruhan. Desa damai kini sudah mencakup 18 desa di berbagai daerah di Pulau Jawa.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Pameran Seni Kiwari: Refleksi Seniman Perempuan atas Diri dan Lingkungannya

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version