MOJOK.CO – Aktivis lingkungan Melissa Kowara menyebut bahwa upaya transisi energi di Indonesia masih salah arah. Selain tidak efisien dan salah sasaran, langkah-langkah tersebut juga tidak dibarengi komitmen berperspektif lingkungan, sehingga hanya memperburuk krisis iklim.
Seperti yang sudah diketahui, dalam KTT G20 di Bali tahun lalu, negara anggota termasuk Indonesia mendeklarasikan aksi nyata untuk transisi energi yang berkelanjutan. Salah satu strateginya adalah dengan mempercepat penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan mengembangkan energi terbarukan yang adil serta berkelanjutan.
Melissa, yang merupakan aktivis gerakan Extinction Rebellion, sangsi dengan pernyataan tersebut. Baginya, strategi yang dipaparkan oleh negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, hanya bakal memperparah krisis iklim, alih-alih menciptakan kebermanfaatan.
Misalnya saja, negara masih sering membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah-wilayah yang sudah kelebihan listrik, bukan yang membutuhkan. Selain pemborosan, tindakan itu tentunya hanya bakal memperparah kesenjangan.
Selain itu, ada juga upaya-upaya kontraproduktif lain. Seperti memproduksi aneka teknologi nirmanfaat, yang malah bikin boros penggunaan batu bara; hingga membuat aturan yang justru membatasi penyebarluasan panel surya—energi yang lebih ramah lingkungan.
Sebagai informasi, PT PLN (Persero) membuat regulasi yang menyatakan bahwa pabrik-pabrik swasta hanya boleh memasang daya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sekitar 10–15 persen dari total daya yang terpasang dengan PLN.
“hal-hal itu ‘kan bertolak belakang dari apa yang sesungguhnya dibutuhkan,” jelas Melissa, dalam podcast PetikTalks, yang tayang di kanal Youtube Petikine, dikutip Rabu (15/2/2023).
Ia pun menilai, upaya transisi energi yang digencarkan Indonesia ini terlihat seperti “proyekan”, yang mana ia sarat kepentingan dan begitu tersentralisasi. Padahal, yang dibutuhkan adalah demokrasi energi, bagaimana pembangkit listrik harus terdesentralisasi di wilayah-wilayah yang punya sumber listrik.
Hentikan aliran duit ke perusak lingkungan
Salah arah pemerintah dalam upaya menggenjot transisi energi juga terlihat dalam pendanaan secara besar-besaran ke industri ekstraktif. Menurut Melissa, 80 persen PDB Indonesia berasal dari industri ekstraktif, yang sebenarnya sangat merusak lingkungan dan memperparah krisis iklim.
Melansir The Guardian, studi Global Resources Outlook menemukan bahwa industri ekstraktif bertanggung jawab atas setengah dari emisi karbon dunia dan lebih dari 80 persen hilangnya keanekaragaman hayati. Hari ini, sumber daya alam yang dikeruk industri ekstraktif tiga kali lebih cepat dibandingkan enam dekade lalu.
Maka, kata Melissa, percuma Indonesia dan pemerintah dunia mengklaim dan terus berkampanye soal menjaga lingkungan, jika mereka terus jor-joran mengelurkan duit untuk para perusaknya.
“Mereka gembar-gembor ingin menyelamatkan generasi mendatang. Tapi, di sisi lain, mereka juga terus menggencarkan pendanaan ke industri ekstraktif yang memperparah krisis iklim,” lanjut Melissa.
Menurut Melissa, itu hanya menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya komitmen untuk menyelamatkan lingkungan. Upaya-upaya itu hanya berorientasi ekonomi, dengan cara mengeruk sumber daya alam sebanyak-banyaknya. Alhasil, meski banyak duit yang mengalir ke negara, keberlangsungan lingkungan harus dikorbankan.
Butuh komitmen serius
Melissa menegaskan, solusi untuk menuntaskan krisis iklim sebenarnya sudah ada dan banyak bentuknya. Bermacam kajian dan rekomendasi, tak hentinya dibuat oleh lembaga internasional, aktivis, dan LSM-LSM lingkungan sebagai pertimbangan untuk menentukkan kebijakan yang lebih ramah lingkungan.
Tak hanya itu, banyak teknologi telah dihasilkan dan sumber daya manusia pun sebenarnya telah berdaya untuk menuntaskan masalah ini. Namun, menurut Melissa, yang sesungguhnya tidak dimiliki adalah political will atau komitmen dari pemerintahan sedunia.
Kebanyakan pemerintah di dunia, kata dia, hanya berorientasi pada aspek ekonomi negara, tanpa memikirkan masa depan bumi.
Melissa mencontohkan, sekaliber konferensi COP26 saja mengundang perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif. Padahal, COP26 merupakan konferensi tingkat tinggi yang pembahasan utamanya adalah perubahan iklim.
“Kalau dalam konferensi iklim yang diundang saja adalah pihak yang menyebabkan krisis iklim, bagaimana bisa menelurkan solusi?” ujar Melissa, melempar pertanyaan.
“Ya, itu, seperti halnya di Indonesia. Orang-orang yang bikin kebijakan politik, adalah mereka-mereka yang main tambang,” tandasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda