MOJOK.CO – Ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), secara tegas menyatakan tidak masuk ke dalam politik praktis. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengingatkan nahdliyin, baik struktural maupun kultural, jangan menjadikan NU sebagai identitas politik.
Oleh karenanya, pria yang lebih akrab disapa Gus Yahya itu mengungkapkan,tidak ada calon presiden maupun wakil presiden atas nama NU di pesta demokrasi 2024. Ia juga meminta calon pemimpin yang mencalonkan diri dari tingkat presiden, kepada daerah, dan calon-calon legislatif untuk lebih menunjukkan rekam jejak dan prestasi, daripada menggunakan nama besar NU.
“Siapapun yang hendak maju, yang hendak menawarkan diri sebagai calon apa pun, hendaknya berdasarkan prestasi diri, kredibilitasnya sendiri, dan track record-nya sendiri. Tidak berdasarkan pada klaim-klaim identitas tertentu,” jelas Gus Yahya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa (31/1/2023), seperti dikutip dari Tirto.id.
Gagasan NU lepas dari kepentingan politik praktis secara kelembagaan sebenarnya hasil dari Muktamar ke-34 di Situbondo 1984. Pada saat itu NU mendeklarasikan diri kembali ke khittah 1926. Dengan kata lain, semangat NU adalah perjuangan demi kepentingan bangsa dan kepemimpinan ulama, seperti namanya.
Jumlah massa NU yang besar memang menjadi daya tarik bagi mereka-mereka yang berniat mencalonkan diri di pemilu. Melansir nu.or.id, setidaknya ada 80-90 juta pemilih Indonesia yang terafiliasi dengan NU dari 200 juta orang yang ada dalam Data Pemilih Tetap. Jumlah itu setara 40 persen hingga 45 persen DPT. Sangat menggiurkan.
Kendati sudah berkali-kali ditegaskan bahwa NU tidak ingin terlibat dalam politik praktis, sejumlah pihak mengungkapkan hal itu tidak mungkin lagi dihindari. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya, mereka tetap teguh merasa bagian dari NU. Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj berkali-kali menjelaskan dalam berbagai kesempatan bahwa NU dan PKB tidak bisa dipisahkan. PKB adalah hasil ijtihad ulama saat menghadapi era reformasi yang dicengkeram oleh Presiden Soeharto.
Hingga saat ini, masih terjadi perbedaan pendapatan di dua kubu itu. PBNU masih berpendirian bebas dari afiliasi politik, sementara PKB merasa bagian yang tidak terpisahkan dari NU.
Calon Populer di Kalangan NU
Tiadanya afiliasi antara NU dengan calon tertentu, membebaskan massa NU untuk memberikan dukungan politiknya terhadap pihak mana pun. Namun, bagi massa NU ada beberapa nama yang mengantongi suara paling banyak.
Melansir survei Litbang Kompas pada 2022, nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan berada di posisi paling tinggi di antara massa NU. Ganjar yang juga menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah itu meraup suara paling tinggi, rata-rata 23,6 persen. Prabowo Subianto dan Anies Baswedan diposisi setelahnya dengan rata-rata perolehan 22,4 persen dan 13,2 persen.
Guna meraup lebih banyak suara massa NU, sosok-sosok yang lekat dengan NU kemungkinan akan digandeng. Ini seperti yang terjadi di pemilihan-pemilihan sebelumnya. Selain itu, partai-partai yang lekat dengan citra NU juga akan didekati.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengingatkan menggandeng sosok dari NU bukan berarti jaminan akan menang. Hal ini karena justru membuat suara NU akan terpecah tidak hanya ke satu capres di Pemilu 2024. Ia mencontohkan, Megawati pada Pemilu 2004 yang disandingkan dengan Hasyim Muzadi, namun tetap kalah.
“Sebenarnya karena jumlah anggotanya banyak, terus banyak dicari. Tapi dalam konteks pertarungan politik belum tentu menang,” jelasnya seperti dikutip dari Kompas.com.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda