Sentimen Gender Masih Kuat, Perempuan Punya Tantangan Lebih untuk Maju sebagai Presiden

presiden perempuan mojok.co

Ilustrasi pemimpin perempuan (Mojok.co)

MOJOK.COPerempuan punya tantangan lebih berat untuk maju dalam pemilihan presiden. Salah satu faktornya karena masyarakat Indonesia masih melihat sentimen gender dalam memilih memimpin.

Hasil studi ilmuwan politik Prof. Saiful Mujani mengungkapkan, politik identitas masih masih berlaku pada pemilihan presiden di Indonesia. Politik identitas adalah politik yang bersandar pada sentimen identitas sosial. Salah satu identitas sosial yang kerap didiskusikan dalam politik identitas adalah Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Selain SARA, gender laki-laki dan perempuan sebenarnya juga termasuk dalam identitas sosial yang penting, tapi kerap terabaikan. Oleh karena itu, sikap yang cenderung diskriminatif terhadap calon pemimpin perempuan dalam pemilu sering kali tidak masuk diskusi seputar politik identitas.

Menurut Saiful Mujani, diskusi dengan memasukkan politik identitas gender perlu dan penting, mengingat kepemimpinan nasional belum pernah memiliki presiden perempuan yang terpilih secara langsung oleh publik. Memang, Indonesia pernah punya presiden perempuan Megawati Soekarnoputri. Namun, Megawati naik sebagai presiden melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Selain itu, Saiful melihat, banyak sosok perempuan di Indonesia yang sebenarnya memiliki kemampuan memimpin. Hanya saja penerimaan publik secara umum masih kurang, sehingga sosok-sosok itu akhirnya kurang kuat secara politik elektoral. Ini juga tercermin dari tidak ada perempuan yang didukung partai politik untuk menjadi presiden di Pemilu 2024.

Ada sentimen gender

Terkait identitas gender, studi yang dipaparkan dalam kanal Youtube SMRC TV di program “Bedah Politik bersama Saiful Mujani” episode “Politik Identitas Dalam Pilpres 2024” itu mencoba mengajukan tiga pernyataan mengenai presiden Republik Indonesia kepada responden. Pertama, presiden Indonesia harus laki-laki. Kedua, presiden Indonesia harus perempuan. Ketiga, perbedaan laki-laki dan perempuan untuk presiden Indonesia tidak penting.

Hasilnya, 51 persen publik menyatakan presiden Indonesia harus laki-laki, dua persen menyatakan harus perempuan, dan 45 persen menyatakan perbedaan laki-laki dan perempuan untuk presiden Indonesia tidaklah penting, dan 4 persen tidak menjawab. Mayoritas pemilih yang merespon presiden Indonesia harus laki-laki (51 persen) itu menunjukkan bahwa sikap patriarkal masyarakat Indonesia sangat besar.

“Kalau selama ini tidak mudah bagi seorang perempuan untuk kompetitif dalam politik hal itu terjadi karena basis masyarakatnya memang patriarkal,” ungkap Saiful Mujani dalam kanal Youtube SMRC TV, Kamis (27/7/2023).

Lebih lanjut Saiful mengamati, ada perbedaan hasil yang signifikan pada pemilih Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Pada pemilih Ganjar, pernyataan perbedaan gender tidak penting dibanding yang menyatakan presiden harus laki-laki lebih banyak dipilih dibandingkan dengan pernyataan presiden Indonesia harus laki-laki. Angkanya 42 persen dibanding 30 persen. Berbeda hasilnya pada pemilih Anies. Pemilih cenderung menginginkan presiden Indonesia harus laki-laki (28 persen). Angka itu lebih lebih tinggi dibanding pemilih Anies yang menjawab perbedaan gender tidaklah penting bagi presiden Indonesia (19 persen).

“Yang berbeda di sini adalah pada pemilih Anies dan Ganjar. Yang memilih Anies lebih patriarkal dan yang memilih Ganjar lebih inklusif,” imbuh Jelas Saiful yang merupakan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu.

Pemilih ideal adalah yang rasional

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, masyarakat Indonesia cenderung melihat identitas sosial yang melekat pada calon-calon pemimpin. Termasuk, identitas gender. Artinya, masyarakat Indonesia belum cukup inklusif dalam persoalan gender.

Padahal idealnya, preferensi politik masyarakat Indonesia disandarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional. Rasional berarti sesuatu yang bisa diperdebatkan atau bisa dinilai salah atau benar. Sementara identitas gender, maupun identitas lain seperti SARA, tidak dapat dinilai benar atau salahnya.

Selain identitas gender, studi menunjukkan masyarakat Indonesia belum inklusif dalam melihat identitas agama. Dengan kata lain, mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih calon pemimpin berdasar agama yang sama dengan mereka. Namun, hasil yang cukup menggembirakan terlihat dari sisi etnis. Studi menunjukkan bahwa sisi etnisitas tidak terlalu penting dalam menentukan pilihan masyarakat untuk calon pemimpin ke depan.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA 4 Capres-Cawapres Ini Masih Keturunan Ningrat lho! Siapa Saja Mereka?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version