MOJOK.CO – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno resmi bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Peresmian itu ditandai dengan penyerahan Kartu Tanda Anggota (KTA) PPP dari Plt. Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono kepada Sandi di kantor DPP PPP, Jakarta, Rabu (14/6/2023) pekan lalu.
“Ahlan wa sahlan @sandiuno di keluarga besar Partai Persatuan Pembangunan. Berjuang bersama untuk memenangkan PPP. Satu Tujuan Menjemput Kemenangan,” tulis Instagram resmi @dpp.ppp, dikutip Rabu (21/6/2023).
Kabar cabutnya eks wakil ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu ke PPP memang sudah lama terdengar. Bahkan, Sandi telah digadang-gadang menjadi salah satu kandidat bakal calon wakil presiden (cawapres) usungan PPP.
Kendati masih mungkin mendampingi capres manapun, sejauh ini namanya santer dihubungkan dengan capres PDIP, yaitu Ganjar Pranowo.
Lantas, dengan gabungnya Sandi ke PPP, apa dampak elektoralnya baik itu ke PPP sendiri maupun ke peta politik menjelang Pilpres 2024?
Keuntungan elektoral bagi PPP
Terkait bergabungnya Sandi, pengamat politik UGM Arga Pribadi Imawan menyebut bahwa hal tersebut akan berdampak langsung pada PPP. Kata dia, nama Sandi bisa mendongkrak elektabilitas PPP.
Menurut Arga, Sandi punya rekam jejak politik yang panjang. Mulai dari menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Anies Baswedan, berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres 2019, hingga kini menjabat sebagai Menparekraf—yang dinilai sukses oleh sejumlah pihak.
“Variabel tersebut tentu akan menarik para pemilih untuk memberikan suara mereka ke PPP,” kata Arga, saat dihubungi Mojok, Rabu (21/6/2023).
Di sisi lain, lanjut Arga, partai berlambang Ka’bah itu dinilai telah mengambil langkah taktis dengan merekrut Sandi demi menaikan tingkat keterpilihan. Sebab, dalam beberapa hasil survei terakhir pun, elektabilitas Sandi memang cukup tinggi.
Misalnya, Arga mencontohkan, dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) bulan Juni, Sandiaga Uno menempati posisi empat dengan dukungan sebesar 13,1 persen. Ia hanya kalah dari Erick Thohir (15,5 persen), Ridwan Kamil (15,4 persen), dan Mahfud MD (13,4 persen).
“Ia hanya kalah dari politisi-politisi senior yang sudah mapan,” sambungnya.
Berdampak ke bursa cawapres
Gabungnya Sandi ke PPP juga makin meramaikan bursa cawapres jelang Pemilu 2024. Arga menilai, Sandi merupakan cawapres yang punya “spesifikasi” fleksibel, alias ia akan cocok digandengkan dengan siapa saja.
Kata Arga, hal ini mengingat latar belakang Sandi yang merupakan politisi dengan pemahaman dan modal ekonomi yang kuat. Bagi dia, ini adalah variabel penting bagi parpol dalam menetukan cawapres mereka.
“Sudah ada buktinya, misalnya, Erick Thohir [yang punya latar belakang mirip Sandi] punya elektabilitas tertinggi sebagai cawapres,” kata Arga.
“Erick Thohir dan Sandi jadi dua politisi berlatar belakang pengusaha yang masuk lima besar elektabilitas tertinggi. Mereka ini cocok dipasangkan dengan siapa saja,” sambungnya.
Sementara itu, peneliti politik lembaga Populi Center Rafif Pamenang Imawan juga mengafirmasi bahwa antara Erick Thohir dan Sandi ada kemiripan.
Dua-duanya adalah politisi yang sedang naik daun, sama-sama pengusaha yang punya modal ekonomi besar, dan berada di partai Islam (Erick di PAN, Sandi di PPP).
Namun, ia menegaskan, bahwa terdapat gaya komunikasi yang membedakan antara keduanya. Perbedaan ini pula yang akan menentukkan bersama capres yang mana mereka lebih cocok.
“Erick punya pola komunikasi lebih birokratis-teknokratis, yang tipe ini lebih cocok dipasangkan dengan Prabowo,” kata Rafif kepada Mojok, Rabu (21/6/2023).
“Sementara Sandi, gaya komunikasi lebih fleksibel, luwes, mirip-mirip Ganjar. Maka keduanya lebih cocok berpasangan,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Rafif, gaya komunikasi Sandi juga akan menentukkan seberapa jauh dirinya mampu mengkonsolidasikan dukungan dari partai lain. Hal ini mengingat, jika kekuatan diproyeksikan mengerucut ke Ganjar-Sandi vs Prabowo-Erick saja, keduanya punya segmen pemilih yang serupa.
“Maka gaya komunikasi Sandi pun akan menentukan seberapa jauh ia bisa menggaet, misalnya partai Islam seperti PKB untuk bergabung ke koalisi, atau, mampukah ia menarik kekuatan Partai Golkar [teknokrat] untuk kerjasama,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi