Pameran Seni Kiwari: Refleksi Seniman Perempuan atas Diri dan Lingkungannya

seniman perempuan di pameran kiwari mojok.co

Kurator Gintani Swastika dan Susi Pudjiastuti saat pembukaan Pameran Kiwari (IG @tumuhunmuseum)

MOJOK.COMuseum Tumurun Solo sejak 21 Mei 2023 menyelenggarakan pameran berjudul “Kiwari: Narasi Identitas dan Kefanaan” selama satu semester. Pameran yang dikuratori oleh Gintani Swastika ini memamerkan karya-karya dari enam belas seniman perempuan.

Mayoritas karya Pameran Kiwari secara terang berangkat dari posisi sosial sebagai perempuan. Namun beberapa juga berbicara tentang hal lain secara luas. Perlu diketahui, Kiwari dihelat di lantai dua gedung museum. Ada dua ruangan yang menjadi tempat ditaruhnya karya-karya dari seniman yang ikut berpameran.

Perenungan perempuan

Adit, pemandu tur Museum Tumurun mengatakan, ada alasan kuratorial di balik pembagian ruang pamer menjadi dua. “Ruang pertama berbicara tentang perenungan diri sedangkan ruang kedua bercerita tentang refleksi seniman terhadap situasi di luar dirinya.”

Ruangan pertama diisi oleh tiga seniman perempuan kondang, yakni Emiria Soenassa, Melati Suryodarmo, dan Mella Jaarsma. Melati menampilkan rekaman pertunjukan “Exergie-Butter Dance” yang menjadi koleksi Museum Tumurun.

Dalam video, ia menari dengan busana Eropa di atas mentega yang juga identik dengan Benua Biru sembari ditingkahi musik etnik Makassar. Melalui karya ini, Melati ingin menceritakan tentang jatuh dan bangun dirinya. Karya ini masuk ke dalam kurasi pameran sebab narasinya yang menyentuh perihal bauran identitas.

Berlanjut ke karya Mella Jaarsma bertajuk “Feeding the Nation”. Kolase yang merupakan sketsa dari karya busana ini membicarakan soal perempuan beserta renungan psikisnya. Karya ini juga memotret posisi gendernya di tengah bangsa yang patriarkis ini. Posisi yang, menurut Mella, menjadikan perempuan macam sapi perahan.

Di ruangan pertama ini, tata cahayanya dibuat minimalis, dindingnya bercat biru dongker sehingga menyerap cahaya, dan ukuran ruangannya tidak luas. Penataan artistik ini dibentuk agar memudahkan pengunjung ikut masuk ke dalam perenungan seniman.

Protes perempuan

Di ruangan kedua yang lebih besar dan putih bersih, terdapat banyak karya-karya yang kentara membicarakan isu di luar identitas kedirian. Sebut saja “Burning Country” karya Arahmaiani.

Karya ini membicarakan kekerasan terhadap perempuan, utamanya Tionghoa, lewat instalasi korek api (siap dibakar dan menjalar) yang ditata membentuk Kepulauan Indonesia dengan kebaya di atasnya.

Begitu pula dengan “Avante!”, patung perunggu perempuan yang memprotes brutalitas Orde Baru, karya Dolorosa Sinaga. Melalui “Burning Country”, Dolorosa memosisikan diri sebagai potret korban. Ia ingin melihat perempuan lebih dari sekadar objek yang ditindas. Patung protes ini adalah pernyataan bahwa selama Reformasi dan kapan pun, perempuan juga bisa jadi subjek yang aktif melawan.

Di antara karya-karya yang bercerita ke luar, terselip lukisan pen on canvas milik Windi Apriani. “Ini menceritakan tentang refleksi dirinya sebagai perempuan dengan segala kompleksitasnya, Makanya, pakai pena melukisnya,” tutur Adit.

Ketika ditanya alasan penempatan karya “refleksi ke dalam” diletakkan di ruang kedua, Adit menjawab, “Pertimbangan estetika (formal) saja.”

Memang, secara warna, guratan pena Windi yang didominasi white space sehingga terkesan monokrom akan terkesan asing bila ditempatkan di ruang pertama yang temaram. Walhasil, ditaruhlah karya tersebut di ruangan kedua. Dengan ini, pernyataan Adit tentang pembagian ruang berdasarkan arah pengisahan tidaklah absolut.

Di luar kedua ruangan tersebut, ada juga karya yang dipamerkan di luar kedua, yakni di tembok kiri di atas tangga masuk. Karya tersebut adalah “Terpesona dengan Kegelisahan”, rekaman slow motion pertunjukan studio dari Pasukan Garuda Merah Batalyon Infanteri 403 Yogyakarta yang menarikan yel-yel “Terpesona”.

Didatangi pengasuh pesantren putri dari Kudus

Yang relatif tidak hanya perihal pembagian ruang, namun juga metode apresiasi karya. Saat saya berkunjung ke sana pada Rabu (5/7/2023), ada yang menatap lamat-lamat, ada yang mondar-mandir lalu pulang, banyak pula yang cekrak-cekrek.

Cara menikmati karya yang disebut terakhir tadi dilakoni oleh, salah satunya, beberapa para pengasuh Pesantren Manhajul Qur’an Putri dari Kudus. Mereka berkunjung kemari atas dawuh kiainya selepas berziarah. “Karyanya bagus-bagus. Apalagi kalau difoto,” kata mereka nyaris berbarengan.

Museum Tumurun terletak di Jl. Kebangkitan Nasional No.2, RW.4, Sriwedari, Kec. Laweyan, Solo. Sedangkan pameran “Kiwari: Narasi Identitas dan Kefanaan” ini, masih akan dibuka sampai 21 November 2023.

Penulis: Dhias Nauvaly
Editor: Iradat Ungkai

BACA JUGA Di Solo, Festival Literasi Patjarmerah Terus Melokal dan Kolaboratif

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version