MOJOK.CO – Selain “serangan fajar”, salah satu istilah yang kerap beredar menjelang pemilu yakni mahar politik. Istilah ini merujuk pada transaksi sejumlah uang antara politisi dan parpol yang hendak ia tunggangi dalam laga politik elektoral. Lantas, apa dan bagaimana mahar politik ini disepakati dan diatur?
Indonesia merupakan salah satu negara dengan praktik politik uang tertinggi di dunia. Penelitian Burhanuddin (2019) menunjukkan, pada Pemilu 2019 lalu mayoritas caleg melakukan aksi money politic untuk memuluskan kemenangan mereka. Bahkan, sekiranya 30 persen masyarakat terlibat dalam praktik ini.
Maka tak heran, jika indeks politik uang di Pemilu 2019 menjadi yang tertinggi ke-3 di dunia, hanya kalah dari Uganda dan Benin.
Dalam money politic, para politisi biasanya bakal bagi-bagi duit kepada masyarakat agar mendapat dukungan. Kiwari, tak hanya duit, sih. Seringnya money politic juga punya bentuk lain seperti pemberian barang-barang maupun sembako.
Namun, yang kali ini kita bahas bukanlah politik uang yang melibatkan politisi dengan pemilih. Tulisan ini, akan membahas terkait aliran duit dari politisi ke partai politik yang mereka pakai sebagai ongkos pemilu. Aliran uang ini bernama “Mahar Politik”.
Apa itu Mahar Politik?
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, menyebut bahwa mahar politik merupakan sejumlah uang yang orang atau lembaga berikan kepada partai politik atau koalisi partai dalam proses pencalonan wakil rakyat atau pemimpin seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden dan wakil presiden.
Dari pengertian tersebut, politik uang jenis ini terjadi di tahap pencalonan oleh partai. Pemberi mahar pun bisa siapa saja, baik dari internal atau eksternal parpol.
“Mahar politik juga dikenal dengan istilah ‘duit perahu’, yaitu seseorang membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar dicalonkan,” ungkap Amir, dikutip dari laman resmi kpk.co.id, Kamis (2/3/2023).
“Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari parpol. Mereka berargumen, ini perlu untuk menggerakkan mesin politik,” sambungnya.
Amir menambahkan, mahar politik menjadi salah satu aspek yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi mahal, selain tentunya jual-beli suara. Nilai transaksi di bawah tangan ini sangat fantastis, bisa mencapai miliaran rupiah. Semakin besar uang yang keluar, kata dia, maka semakin besar peluang partai mengusung kandidat tersebut.
“Para kontestan mengeluarkan antara Rp5-15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik. Yang pasti tidak ada yang gratis. Karena jika terpilih dia akan menguntungkan dirinya sendiri, sebab berpikir untuk balik modal,” tegas Amir.
Sementara itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, adanya istilah “mahar politik” sebetulnya mencerminkan terjadinya pergeseran konsep mahar (bahasa Arab ‘mahr’, bahasa Inggris ‘dowry’) dalam wacana publik Indonesia.
Dalam fikih (yurisprudensi Islam), mahr mengacu pada ketentuan tentang pemberian wajib (calon) suami sampaikan kepada (calon) istri pada waktu akad nikah (ijab kabul) perkawinan.
“Besar-kecilnya tergantung kemampuan pihak (calon) suami, dan (calon) istri mesti ikhlas menerima,” tulis Azra, dalam opininya di Kompas.
Dengan demikian, kata Azra, mahar merupakan pertanda ikatan sakral (akad) dalam pernikahan antara (calon) suami dan (calon) istri. Mahar bendawi yang suami berikan menjadi sepenuhnya milik istri sebagai cadangan jika ia membutuhkan dana.
“Namun, dalam praktik politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik dipahami publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang diperebutkan (elected office) dalam pemilu/pilkada dengan parpol yang menjadi kendaraan politiknya,” pungkasnya.
Peraturan terkait
Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya transaksi mahar politik.
Dalam Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menyebutkan ada larangan partai politik atau gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati dan walikota.
Selanjutnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya di Pasal 228 yang menyebutkan “Partai Politik tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden”.
Bahkan, di pasal yang sama, juga ada arangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalonan presiden dan wakilnya.
Aturan mengenai mahar politik tersebut memuat sanksi yang tegas, yaitu larangan bagi parpol untuk mengajukan calon pada periode berikutnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda