MOJOK.CO- Selain mengumumkan 17 partai politik (parpol) nasional yang menjadi peserta Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengumumkan enam parpol lokal Aceh yang akan turut serta dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Penetapan enam parpol lokal Aceh sebagai peserta Pemilu 2024, tertuang dalam Surat Keputusan (SK) KPU No. 518 Tahun 2022.
Adapun enam parpol ini antara lain: Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh), Partai Generasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Nanggroe Aceh, Partai Sira (Soliditas Independen Rakyat Aceh).
Adapun, secara berurutan enam partai yang tersebut akan menggunakan nomor urut 18-23 dalam Pemilu nanti. Lantas, yang menjadi pertanyaan, mengapa ada parpol lokal Aceh dalam pemilu nasional?
Berawal dari konflik
Munculnya partai politik lokal sendiri merupakan hasil kesepakatan perdamaian sekaligus menjadi rangkaian penyelesaian konflik antara Aceh dengan pemerintah Indonesia. Kesepakatan damai ini tertuang melalui Penandatangan MoU (Memorendum Of Understanding) antara pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Seperti yang kita tahu, sejak 1977 hingga setidaknya tahun 2003, terjadi konflik yang berlarut-larut antara GAM dengan pemerintah pusat.
Michael L. Ross dalam analisisnya bertajuk “Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia” (2005) menyebut bahwa ketidakpuasan masyarakat Aceh atas distribusi sumber daya alam jadi salah satu sebabnya. Hal ini membuat pimpinan GAM, Hasan di Tiro, menyerukan rakyat Aceh untuk melawan negara. Perbedaan pendapat atas penerapan hukum Islam juga menjadi bahan bakar konflik.
Menurut catatan Ross, sepanjang kepemimpinan Suharto, pemerintah Indonesia merespons GAM dengan pendekatan militer. Setidaknya, ada 16 operasi militer. Mulai dari Operasi Nanggala hingga Operasi Jaring Merah atau terkenal pula dengan sebutan Daerah Operasi Militer (DOM). Sepanjang operasi militer ini banyak nyawa terenggut yang mayoritas dari warga sipil.
Masalahnya, setelah Suharto lengser, DOM tetap berlajut. Termasuk salah satunya operasi darurat militer yang dimulai pada 2003 saat masa kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Namun, jalan buntu tetap ditemui dan pemerintah Indonesia pun mulai mencari jalan diplomasi untuk rekonsiliasi.
Akhirnya, setelah sekitar 29 tahun berkonflik, GAM dan pemerintah Indonesia memutuskan untuk sama-sama meletakkan senjata mereka. Perdamaian ini juga tak lepas dari efek tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Setelah melalui sejumlah perundingan, akhirnya pada 15 Agustus 2005, baik GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia.
Munculnya partai lokal Aceh
Usman dalam penelitiannya berjudul “Analisis Eksistensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian” (2021) menyebut, bahwa setelah perjanjian damai tersebut kehidupan masyarakat Aceh menjadi lebih baik. Pemerintah memberikan Provinsi Aceh wewenang untuk dapat hidup mandiri, baik itu di bidang ekonomi, politik, dan hukum.
Secara politik, pemberian wewenang itu tercermin dari adanya izin mendirikan partai politik lokal, Hal ini tercantum dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. MoU di Helsinki ini pun kemudian melahirkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No. 20Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal.
Dengan demikian, peraturan tersebut membuka lebar pintu partisipasi masyarakat Aceh untuk terlibat dalam politik melalui parpol lokal. Mantan kombatan GAM pun bebas mendirikan parpol mereka sebagai kendaraan politik untuk memperjuangkan aspirasi melalui parlemen.
Sementara itu, menurut peneliti International Center for Aceh and Indian Ocean Studies Assauti Wahid, sebenarnya dalam sejarah politik Indonesia, kemunculan parpol lokal bukanlah hal baru.
Pada Pemilu 1955, misalnya, terdapat beberapa partai lokal seperti di Jawa Barat ada Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banten di Jawa Barat; hingga Partai Gerinda di Yogyakarta, dan Partai Persatuan Dayak di Kalimantan”.
Bahkan, lanjut Wahid, model perpolitikan semacam ini juga sudah lumrah di negara-negara lain, khususnya saat memasuki abad ke-21. Misalnya, di Skotlandia ada partai lokal Scottish National Party (SNP), Scottish Green Party (SGP), atau di Palestina ada Palestinian People Party (PPP), dan masih banyak contoh lain di negara-negara lain seperti Kanada dan Jerman.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda