MOJOK.CO – Empat dari lima perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, seperti di jalanan, taman, hingga transportasi publik. Temuan ini pun pada akhirnya mematahkan mitos bahwa kekerasan seksual hanya bisa terjadi di tempat privat dan sepi.
Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melalui risetnya pernah menemukan bahwa kekerasan seksual masih marak terjadi di ruang publik. Koalisi yang terdiri dari lima organisasi perempuan: Hollaback! Jakarta, Jakarta Feminist, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, dan Dear Catcallers Indonesia, tersebut menyurvei 4.236 responden di 34 provinsi pada Desember 2021 lalu.
Hasilnya, 2.500 responden mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan di tempat umum. Lokasi-lokasi paling banyak terjadi pelecehan antara lain jalanan umum, kawasan pemukiman, transportasi umum, lokasi perbelanjaan, hingga tempat kerja.
Dalam survei tersebut, juga dipaparkan jenis pelecehan paling umum terjadi. Catcalling berupa siulan, adalah yang paling banyak mereka terima, di samping komentar tak senonoh atas tubuh/fisik, main mata, komentar seksis, hingga disentuh.
Menurut KRPA, jumlah ini bisa jadi meningkat, mengingat laporan tersebut hanyalah fenomena gunung es, alias data yang baru bisa dipetakan. Menurut data yang dihimpun, baru sedikit korban yang berani melapor atau melakukan konfrontasi ke pelaku.
Koalisi menyebut, bahwa banyak korban masih enggan untuk melapor lantaran terhalang ketidaktahuan, ketakutan, dan relasi kuasa.
Ruang virtual juga lebih ngeri
Selain dialami di dunia nyata (offline), banyak responden yang memaparkan bahwa di dunia maya (online) pun, pelecehan juga mereka alami.
Menurut survei tersebut, ada 1.250 respon yang mengalami pelecehan seksual di ruang digital. Platform digital dengan tingkat pelecehan paling tinggi meliputi media sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan daring, permainan virtual, hingga diskusi virtual.
Sedangkan untuk bentuk pelecehan online, termasuk pengiriman video atau foto intim, komentar seksis, komentar atas tubuh, pemaksaan untuk mengirimkan video atau foto intim pribadi, hingga penguntitan di dunia maya alias cyberstalk.
Terkait temuan tersebut, Ellen Kusuma dari SAFEnet kepada BBC menjelaskan bahwa survei itu sesuai dengan riset yang pernah pihaknya bikin.
Pada awal 2021, SAFEnet menemukan bahwa aplikasi chat jadi platform yang paling banyak digunakan untuk melecehkan perempuan.
Melalui aplikasi chat, pelecehan biasanya melibatkan pengancaman, sementara di media sosial lebih sering berupa eskalasi kekerasan, termasuk penyebaran konten intim.
“Laporan paling banyak kami terima tentang penyebaran konten intim non-konsensual yang kami sebut cyber-flashing atau digital exhibitionism,” kata Ellen.
Patahkan mitos pelecehan selalu terjadi di tempat sepi
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyebutkan bahwa temuan tersebut telah mematahkan mitos-mitos tentang pelecehan seksual yang banyak dipercaya sebelumnya.
Misalnya saja, anggapan umum yang menyebutkan bahwa “pelecehan seksual hanya terjadi di tempat privat dan sepi”.
Buktinya, survei itu justru menggambarkan sebaliknya: pelecehan seksual tetap marak terjadi di tempat umum dan ramai.
“Hal ini juga memperlihatkan bahwa pelecehan seksual itu bukan sesuatu yang harus dinormalkan,” kata Ami dikutip dari DW, Senin (27/3/2023).
“Tetapi ini adalah sesuatu yang ternyata berdampak terhadap perempuan, termasuk pengurangan kemampuan perempuan untuk menikmati hak asasi di ruang publik maupun ruang siber,” sambungnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda