MOJOK – Lowongan pekerjaan yang menetapkan batas usia maksimal bagi calon pekerjanya diklaim merugikan perempuan. Dalam diskursus ilmu sosial, fenomena ini disebut ageism, salah satu bentuk diskriminasi yang tak pernah tuntas.
Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan cuitan warganet yang mengeluhkan batas maksimal umur dalam lowongan pekerjaan. Dalam sebuah twit, misalnya, membandingkan bagaimana di mancanegara, batasan umur tidak dimasukkan dalam lowongan pekerjaan.
“Liat bunda corla, di jerman, seumuran gw, masih diterima kerja di mekdonal, sepupu gw di ostrali umur mau 50tahun, masih bisa dobel kerja,” tulis @Mozartius1 dalam cuitannya, dikutip Senin (6/2/2023).
“maksud gw, lu nyari tukang cuci piring aja ada maksimal umur anjir, dah gitu gajinya ya aloh, ceuk aing ge geus dibom we lah indon teh, runtah,” lanjutnya, yang disambung ratusan komentar serupa.
Menanggapi twit tersebut, Sekjen Kementrian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menyebut, bahwa keluhan ini harus dilihat case by case. Artinya, syarat usia dalam lowongan pekerjaan tidak bisa dipukul rata dan disesuaikan jenis pekerjaannya.
“Pekerjaan yang lebih berat, untuk aktivitas fisik, diperlukan fisik yang prima dan usia yang lebih muda,” ujar Anwar.
“Untuk yang aktivitas lebih banyak berpikir, pasti beda lagi,” sambungnya.
Rugikan perempuan
Pakar hukum ketenagakerjaan UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menyoroti aturan pembatasan usia. Menurutnya, syarat batas maksimal dalam lowongan pekerjaan, seharusnya tidak diperlukan. Kecuali, kata dia, untuk pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh orang dengan usia tertentu.
“…Hal seperti ini dimaklumi dan dianggap wajar di Indonesia, sehingga pencantuman batas usia menjadi lazim dilakukan,” kata Nabiyla kepada Kompas, dikutip Senin (6/2/2023).
Kelaziman ini berdampak ke situasi tenaga kerja di Indonesia. Hal ini pula yang menurutnya menjadi salah satu penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia.
Lebih lanjut, pengajar Fakultas Hukum UGM ini juga menegaskan, terkhusus bagi perempuan, aturan pembatasan usia juga makin merugikan. Mengingat di Indonesia, posisi perempuan begitu rentan dalam relasi sosial masyarakat.
“Kasus yang sering saya temukan adalah perempuan berhenti bekerja sementara karena hamil, melahirkan, dan harus mengurus anak. Ketika dia ingin kembali lagi masuk ke pasar kerja ternyata sudah kepentok umur,” paparnya.
Dalam diskursus ilmu sosial, fenomena yang demikian disebut ageism. Ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap individu atau kelompok karena gap umur mereka.
Mengapa ini cenderung merugikan perempuan?
Bukti diskriminasi dalam lingkungan kerja
Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja sebenarnya telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan.
Dalam konvensi tersebut, dijelaskan bahwa istilah diskriminasi yakni “meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”
Meskipun aturan tersebut pada gilirannya dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan—apabila didiskriminasi karena ageism, nyatanya praktik ini masih sering terjadi.
Mengutip penelitian David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button berjudul “Age Discrimination and Hiring of Older Workers”, ageism di lingkungan kerja masih jamak dialami perempuan. Ia juga menduga, di banyak negara, fenomena ini pun lazim.
Ageism pada perempuan salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa penampilan fisik perempuan adalah poin paling penting, dan faktor usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya.
“Secara keseluruhan, perempuan menghadapi diskriminasi usia yang lebih buruk dibandingkan laki-laki,” tulis para peneliti tersebut.
Sialnya, peneliti juga menemukan bahwa ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan hanya karena laki-laki “dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan”.
Hal ini terlihat, misalnya dari penggambaran bagaimana perempuan yang berada dalam rentang usia antara 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotipe terkait statusnya sebagai “seorang istri dan ibu”—dan produktivitasnya menurun.
Padahal, jika mau adil, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Namun, mereka tidak pernah dianggap “kehilangan produktivitasnya”—sebagaimana dialamatkan ke perempuan.
Perempuan tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.
Sementara, perempuan yang berusia di atas 40 tahun juga menghadapi ageism dalam lain. Ambisi mereka dianggap telah “memudar dan kurang energetik” dalam melakukan pekerjaan.
Diskriminasi semacam ini barangkali tidak terasa efeknya pada perekonomiaan sebuah negara berkembang yang tengah mengalami surplus demografi. Namun, ageism tetap menjadi batu sandungan perempuan yang mendambakan keadilan gender.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Isu Pekerja Perempuan yang Penting Dibahas Saat Musim Kampanye dan Pemilu