Bagi Anak Muda, Golput Itu Pilihan dan Keniscayaan dalam Demokrasi

anak muda golput mojok.co

Obed Kresna saat berorasi di “Sarasehan Bijak Memilih Yogyakarta” di Fisipol UGM (Ahmad Effendi/Mojok.co)

MOJOK.COAktivis anak muda Obed Kresna menyebut bahwa keputusan anak muda untuk tidak memilih alias golput dalam pemilu, termasuk pilihan yang sah. Eks Presiden BEM UGM itu juga mengatakan bahwa dalam sistem demokrasi, golput telah menjadi sebuah keniscayaan.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam orasinya di acara “Sarasehan Bijak Memilih Yogyakarta” di Fisipol UGM, Rabu (31/5/2023).

Ditemui Mojok di sela-sela acara, Obed menegaskan bahwa negara harusnya tidak boleh memaksakan kehendak pemilih untuk memberikan suara mereka dalam Pemilu.

“Memilih itu kan hak, bukan kewajiban. Jadi menurutku, keputusan untuk golput khsususnya bagi anak muda adalah sesuatu yang sah dan harus diterima,” kata Obed.

Ia melanjutkan, golput sendiri merupakan hal yang harus disikapi secara kritis. Dalam artian, jika angka golput di suatu negara tinggi, maka peningkatan partisipasi jangan hanya dibebankan pada pemilih.

Para elite, kata dia, juga wajib berbenah diri agar pemilih pada akhirnya mau memberikan suara pada mereka. Hal ini tak terlepas juga dari sejarah gerakan golput itu sendiri, yang berangkat dari gagasan kekecewaan warga negara atas sistem politik elektoral yang amburadul.

“Bisa jadi biang golput itu ya memang karena sistem politiknya buruk, tak ada politisi yang kompeten buat dipilih. Jadi kenapa warga yang disalahkan karena tidak mau memilih?” lanjutnya.

Tidak ada opsi untuk dipilih

Menurut Obed, salah satu alasan anak muda memilih golput adalah rasa muak. Bagi dia, yang sudah melewati dua kali pilpres di 2014 dan 2019, publik sudah begitu banyak disuguhi drama politik sepanjang pemilu.

Mulai dari gontok-gontokkan kandidat yang berujung perpecahan. Hingga plot twist elite yang awalnya gontok-gontokkan tadi bergabung menjadi satu kubu.

“Kalau sudah begitu, kita jadi paham kalau dalam politik semua aktor yang bertarung itu sama saja,” kata Obed.

“Anak muda yang awalnya aware untuk memilih, pada akhirnya jadi skeptis karena politisi tidak benar-benar mewakilkan ideologi, aspirasi, ataupun keberpihakan kepada warga, melainkan hanya kepentingan mereka sendiri,” sambungnya.

Selain muak, faktor lain yang bikin anak muda memilih golput adalah rasa kecewa pada pilihan mereka.

Menurut Obed, bisa jadi orang-orang yang golput itu awalnya adalah pemilih di pemilu sebelumnya.  Namun, karena merasa kecewa dengan pilihannya, ia memutuskan golput di pemilu berikutnya.

“Bahasanya itu ‘kapusan’, merasa ditipu oleh janji-janji politisi yang ia pilih sebelumnya,” kata pembawa acara di PARES.id ini.

Tidak ada lesser-evil

Ia juga menegaskan, bahwa dirinya menolak narasi lesser-evil alias “menghindari yang terburuk dari yang buruk”.

Justifikasi lesser-evil oleh negara, bagi Obed, malah semakin menunjukkan bahwa warga memang benar-benar tak punya opsi yang baik untuk dipilih.

“Kalau dua-duanya buruk, ini makin menegaskan bahwa ‘buat apa dipilih?, toh, mereka dua-duanya buruk’ kan,” kata Obed.

“Bagiku tidak ada itu yang namanya lesser-evil, karena kalau dia itu ‘evil’, ngapain juga kita pilih,” tegasnya.

Obed pun juga menyayangkan narasi-narasi yang digaungkan pemerintah dalam meng-counter gerakan golput. Misalnya, upaya negara yang sampai mengharamkan golput via putusan fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Itu langkah yang tidak perlu, karena bagaimana pun, golput itu pilihan yang sah dalam pemilu dan sebuah keniscayaan dalam demokrasi,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Jokowi Akan Cawe-Cawe di Pemilu 2024: Kontroversi, tapi Memang Dianggap Perlu

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version