MOJOK.CO – Perempuan muda jarang muncul di ruang politik formal maupun ruang berpengaruh lainnya. Padahal representasi mereka diperlukan agar tercipta kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap kelompok perempuan muda.
Direktur Influencing Yayasan Plan Indonesia Nazla Mariza sebelumnya sempat menjelaskan, sebenarnya kaum perempuan muda menyadari bahwa partisipasi politik itu penting. Survei State of the World yang dirilis oleh Plan Internasional menunjukkan, sebesar 98 persen anak dan kaum perempuan muda Indonesia menyatakan partisipasi politik itu penting. Angka itu tergolong tinggi dibanding rata-rata angka global yang tercatat 97 persen.
“Kepedulian mereka terhadap isu-isu politik besar,” jelas Nazla Mariza seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu, (5/11/22).
Hanya saja, survei itu berbanding terbalik dengan tingkat akomodasi aspirasi kaum perempuan muda. Mereka memang peduli dengan partisipasi politik, tetapi masih mendapat penolakan dalam konteks menentukan keputusan yang berdampak pada kehidupan, tubuh, dan masa depan mereka.
Hambatan Perempuan Masuk ke Politik
Riset menunjukkan, sebesar 69 persen kaum perempuan muda mengaku menghadapi hambatan dan tantangan ketika mencoba untuk berpartisipasi dalam politik. Melansir riset Voices for Change yang digarap oleh aktivis muda berusia 10-24 tahun dari Indonesia, Vietnam, dan Australia, ada beberapa hambatan yang menghalangi perempuan untuk terlibat lebih jauh ke dalam politik, antara lain sebagai berikut:
- Mengekspresikan pendapat di Indonesia masih tergolong berisiko. Belum lagi kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang masih jamak terjadi.
- Kaum muda dari kelompok ekonomi rendah dan kelompok minoritas lainnya masih kesulitan mengakses ruang-ruang politik.
- Kurangnya pendidikan politik di sekolah-sekolah. Akibatnya, banyak yang masih bingung mengenai proses demokrasi dan keterlibatan politik.
- Kaum muda punya kepercayaan yang rendah terhadap proses politik dan isu yang ada saat ini.
Padahal apabila mereka terlibat, bukan tidak mungkin perubahan akan terjadi baik dari sisi sistem politik, sumber daya, dan peluang ekonomi. Apalagi sebagian besar dari mereka juga punya kepedulian terhadap kemiskinan, pengangguran, kekerasan, dan konflik.
Nazla menambahkan, sebenarnya ada beberapa cara memperkuat partisipasi politik perempuan muda. Pertama, mengambil keputusan di semua tingkat agar melembagakan partisipasi yang bermakna dan aman dari anak dan kaum perempuan muda melalui kebijakan, strategi, dan kerangka kerja yang sepenuhnya memiliki sumber daya dan akuntabel.
Kedua, pemerintah harus memastikan akses ke jalur yang beragam dan inklusif menuju partisipasi politik, termasuk sumber daya dan penguatan pendidikan kewarganegaraan dan peluang kepemimpinan. Ketiga, pemerintah dan perusahaan media sosial harus mengatasi kekerasan yang dialami oleh politikus perempuan dan aktivis perempuan.
“Media juga dapat mendukung dengan mempromosikan citra positif partisipasi perempuan dan memberi perhatian pada kekerasan yang dialami, baik di ruang daring maupun luring,” jelas dia seperti dikutip dari Antaranews.com.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda