MOJOK.CO – Saya curiga, Xiaomi Redmi 2 Prime adalah alumni sebuah perguruan silat misterius di Gurun Gobi. Ia menguasai Tai Chi, sekaligus adik seperguruan Jackie Chan.
Nokia 3310 dipercaya sebagai hape super tangguh dan tahan banting. Tidak ada yang membantah pernyataan itu. Nah, kini, aura ketangguhan Nokia 3310 nampaknya sudah reinkarnasi ke dalam wujud Xiaomi Redmi 2 Prime.
Berapa banyak dari kamu yang masih menggenggam Xiaomi Redmi 2 (((Dua, cuy!))) sebagai hape sehari-hari. Kamu sudah ketinggalan enam generasi dari Xiaomi Redmi 8 sebagai penerus klan Redmi, hape ekonomis dari Xiaomi, primadona pasar smartphone entry level 2015 hingga pertengahan 2016.
Bagi saya, kelahiran hape pintar generasi baru sangat cepat. Ramai-ramai, bisa tiga kali dalam satu tahun, orang ganti hape. Namun tidak bagi saya yang setia dengan Xiaomi Redmi 2 Prime sejak Mei 2016 hingga tulisan ini diketik sebagian menggunakan virtual keyboard hape ini.
Kesetiaan itu diawali oleh sebuah peristiwa tidak terduga. Suatu kali sepulang sekolah, saya kecopetan di Damri. Samsung Galaxy Chat raib. Sungkan minta ganti ke orang tua, apalagi saya tahu akan membebani mereka, saya memilih diam.
Diam-diam, saya meminta saran seorang teman. Saya ingin membeli hape baru dengan tabungan sendiri. Saya ingin hape yang mendukung koneksi 4G, (kala itu, hape entry level yang sudah mendukung koneksi 4G sangat terbatas pilihannya), sekaligus masih mampu diandalkan untuk main Line Let’s Get Rich juga Clash Of Clans.
Oleh teman saya, saya disarankan membeli Xiaomi Redmi 2. Kenapa Xiaomi? Ya karena harga hape Samsung kala itu belum lagi terjangkau oleh dompet saya. Saya manut dan langsung jatuh cinta dengan hape ini.
Banderol Xiaomi Redmi 2 kala itu cuma Rp1.1 juta rupiah saja. Saya sudah dapat layar 4.7 inch, kamera utama 8 MP, kamera depan 2 MP, baterai 2200 mAh, ditenagai prosesor Snapdragon 410 dengan RAM 1 GB, dan internal memori 8 GB.
Awalnya saya meragukan keandalan Xiaomi Redmi 2. Mulai keawetan, belum ada garansi resmi dan jaringan servis memadai, bahkan sampai ketersediaan perintilan aksesoris pendukungnya. Maklum, status “hape cina” kala itu menampilkan aura hape murahan dan ringkih.
Apa boleh buat, saya membulatkan takad membeli Xiaomi Redmi 2. Yah, tabungan yang ada sangat mepet, takut ketahuan orang tua kalau hape kecopetan, dan nggak bisa main Line Let’s Get Rich jadi alasan.
Setelah tawar-menawar yang alot, saya dan mas-mas penjual hape hampir sepakat soal harga. Namun, tiba-tiba, mbak-mbak pramuniaga toko menyarankan saya membeli Xiaomi Redmi 2 Prime saja. Menurutnya, perbedaan mencolok di seri Prime ada di kapasitas RAM dan memori internal yang melonjak dua kali lipat di angka 2 dan 16 GB.
Selisihnya cuma dua ratus ribu rupiah saja, kata mbak pramuniaga. Entah karena mbak pramuniaga yang jago dagang atau saya saja yang lemah hatinya, pilihan saya berubah. saya pulang membawa Xiaomi Redmi 2 Prime berwarna hitam kombinasi putih dof di bagian punggung.
Soal keawetan yang pernah saya khawatirkan? Ternyata tidak terbukti. Setahun pertama saat masih dilindungi garansi distributor antah berantah, alhamdulillah, garansi tidak sempat terpakai untuk klaim.
Tahun kedua, kepala cas menyerah duluan, tidak lama setelah dipakai ngecas di dalam bus saat menempuh perjalanan Solo-Jakarta. Mungkin akibat tegangan listrik kelewat tidak stabil. Pada tahun ketiga, kabel USB cas sudah kendor dan serat kabelnya mengelupas.
Hingga tahun ketiga, praktis hanya aksesoris pendukungnya yang mengalami pergantian pemain. Sekali ganti cas, dua kali ganti case, dan dua kali ganti anti-gores sebelum akhirnya aksesoris tersebut benar-benar langka di pasaran.
Satu-satunya jeroan yang pernah diganti hanya baterai. Pada tahun ketiga, baterai Xiaomi Redmi 2 Prime saya mendadak memiliki fitur “quick drain” bukannya “quick charging”. Suram betul.
Service center Xiaomi pun tidak lagi menyediakan baterai orisinal. Ya maklum, modelnya terlalu tua dan sudah berhenti produksi. Tidak ada pilihan lain, saya pakai baterai versi kawe.
Layar? Utuh dan masih responsif. Power Button? Normal. Port USB? Masih nge-grip kabel casnya, alias belum dobol. Menuju tahun keempat pemakaian, saya benar-benar merasa “worry free”. Xiaomi Redmi 2 Prime berhasil mematahkan persepsi negatif saya kalau hape merek cina adalah hape murah dan ringkih.
Sudah tak terhitung berapa kali hape Xiaomi Redmi 2 Prime saya terjatuh. Tiap kali jatuh, makin ke sini saya makin cuek aja. Bukan karena sudah tidak sayang, tapi karena saya tahu persis setelah jatuh, kalau sampai mati pun selalu bisa hidup lagi sehat walafiat tanpa kendala. Saya sudah “namaste” sama Xiaomi Redmi 2 Prime ini.
Jangankan kesenggol jatuh dari meja, basah karena diajak hujan-hujanan bahkan kerendam di air laut Pantai Pangandaran sampai kemasukan pasir pun pernah. Dan herannya lagi, hape Xiaomi Redmi 2 Prime ini tetap bisa dihidupkan. Normal saja.
Kadang saya curiga, Xiaomi Redmi 2 Prime ini alumni sebuah perguruan silat misterius di Gurun Gobi. Dia menguasai ilmu Tai Chi dan adik seperguruan Jackie Chan. Tahan banting tanpa stuntman. Kadang saya sampai seperti mendengar kata “ciaaat” ketika hape ini jatuh.
Saya belum menemukan alasan kuat untuk mempurnatugaskan hape yang sudah menemani dari Kelas 11 SMA, hingga sekarang kuliah semester 6. Meski hardware dan software-nya terlalu usang, bahkan mungkin layak dikategorikan sebagai barang antik, Xiaomi Redmi 2 Prime akan selalu ada di genggaman saya.
Kapasitas RAM 2 GB mulai “mandeg” kepayahan dipacu multitasking. Memori internal 16 GB kewalahan menampung aplikasi dan cache data yang kian hari kian menggerogoti kapasitas memori. Yah, mau tidak mau, saya mengalah untuk uninstall sebagian aplikasi sekaligus menghapus koleksi video dan foto yang tersimpan.
Kamera depan 2 MP yang sangat butek saat dipakai video call, sebutek video bokep format .3gp, ditambah update aplikasi yang mulai tidak support OS Android Kitkat 4.4, ukuran layar 4.7 inch terasa begitu kecil dan resolusinya kurang tajam untuk menonton video. Menyebalkan memang, tapi kalau sudah cinta mau bilang apa.
By the way, ukuran kecil itu sangat saya sukai karena pas digenggam dan pas muat saku jaket atau celana. Soal rasa malu karena masih pakai hape jadul di tengah umat iPhone mah urusan belakangan. Bodo amat!
Saya cuma berharap hape ini tidak raib lagi seperti sebelumnya. Jujur, saya penasaran sampai berapa lama hape ini mampu bertahan hingga titik darah penghabisan alias mati total. Dan sampai titik itu, saya akan terus setia menemani hape keramat ini. Hape super Tangguh, penerus jiwa pendekar Nokia 3310.
BACA JUGA Sony Ericsson J105i Naite yang Disayang Lalu Ditinggalkan atau surat cinta untuk gadget lainnya di rubrik KONTER.