MOJOK.CO – Xiaomi adalah jenama smartphone yang ternyata cinta Indonesia, terutama di bawah kepemimpinan ciamik Alvin Tse.
Pernah dengar tiga istilah di atas? Sepertinya yang paling tidak asing adalah Xiaomi, salah satu brand pengguncang pasar smartphone di Indonesia beberapa tahun terakhir. Oke, tapi dua yang lainnya bagaimana?
Pertama, “Alvin Tse” adalah sebuah nama, yakni Country Director Xiaomi Indonesia alias bos-nya Xiaomi Indonesia. Kedua, istilah “demokratisasi industri smartphone” adalah istilah baru. Bisa jadi kamu kali pertama membacanya di tulisan ini.
Iklim smartphone saat ini
Tahan dulu sampai di sana. Kita bahas dulu big picture the industry of smartphone. Kenapa penting untuk dibahas? Karena kita semua punya barangnya, at least satu buah.
Menurut Katadata (2020), lebih dari setengah populasi di Indonesia atau 63,3% telah menggunakan smartphone pada 2019. Diprediksi, hingga 2025 nanti, setidaknya 89,2% populasi di Indonesia menggunakan smartphone. Artinya, persaingan memperebutkan konsumen semakin terbuka karena pasar yang sangat prospektif.
Berdasarkan data Canalys, pada Q4 2020, pangsa pasar smartphone Indonesia dikuasai oleh multibrand dengan masing-masing persentase market share: Vivo (25%), Oppo (24%), Xiaomi (15%), Realme (15%), dan Samsung (14%).
Apple menjadi brand populer, namun secara market share tertinggal dari 5 lainnya. Xiaomi menunjukan konsistensinya dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menjual produk dengan spesifikasi tinggi dengan harga terjangkau. Sejak kedatangannya di Indonesia pada 2014, brand ini langsung mencuri perhatian.
Menarik melihat track record dan pencapaian Xiaomi dalam beberapa tahun terakhir. Potensi yang sulit dimungkiri adalah konsistensi ini bisa saja mengantarkan Xiaomi menjadi perusahaan raksasa teknologi dalam waktu dekat, mengingat semakin hari tidak hanya fokus pada smartphone saja.
Xiaomi cukup demokratis?
Kalau ngomongin negara, istilah demokrasi lumrah sering kita dengar. Tapi apa iya, ngomong smartphone juga butuh bumbu-bumbu penyedap ala ngomong negara?
Faktanya, strategi demokratisasi ini dapat menjadi andalan bagi brand dalam penetrasi pasar. Ingat lagi pelajaran PKN, bahwa demokrasi sejatinya adalah pemerintahan rakyat. Dikatakan berdemokrasi bagi suatu negara setidaknya harus menerapkan beberapa prinsip umum antara lain: (1) partisipasi masyarakat; (2) transparansi; dan (3) kebebasan berpendapat.
Lalu, apa saja yang telah dilakukan Xiaomi Indonesia hingga mencapai titik sekarang? Setidaknya ada 4 hal utama:
Segmentasi produk
Segmentasi produk Xiaomi sangat jelas. Terbagi menjadi dua seri, yaitu Mi untuk kelas menengah-atas, dan Redmi untuk kelas bawah-menengah. Tinggal pilih, jika punya duit di bawah Rp6 juta, pilih seri Redmi, jika ada rejeki tambahan, pilih seri Mi.
Selain keduanya, ada seri flagship killer yaitu sub-brand Poco. Poco khusus untuk orang yang mencari spesifikasi paling tinggi dengan harga paling rendah, tentu dengan mengorbankan beberapa aspek lain, desain misalnya.
Transparansi bisnis
Xiaomi terang-terangan menyebutkan bahwa mereka hanya mengambil maksimal 5% keuntungan untuk setiap produknya. Selain transparan juga tidak maruk.
Menurut Xiaomi, mereka menerapkan strategi bisnis yang berbeda dengan brand lain, yakni mendapatkan jumlah konsumen sebanyak-banyaknya daripada keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, Xiaomi secara konsisten melakukan launching product disiarkan live di media sosialnya.
Walaupun saat ini hampir semua brand telah melakukannya, namun ini menjadi kunci penting bagi Xiaomi. Mengingat mereka tidak mengandalkan promosi fisik untuk pemasaran produknya. Oleh karena itu, Xiaomi bisa memangkas pengeluaran. Strategi yang menarik. Pantas kita tidak pernah melihat iklan Xiaomi di media massa atau di billboard di pinggir jalan.
Xiaomi democratic way: of MiFans, by MiFans, and for MiFans
Mengandalkan MiFans ialah sebuah kolektif untuk para pecinta Xiaomi. Bahkan sekarang ada festivalnya. Ya! Mi Fans Festival.
MiFans bagaikan rakyat-rakyat Xiaomi dan di sini letak utama demokratisnya Xiaomi dalam dunia smartphone. Konon mereka mendengarkan berbagai keluhan konsumennya, salah satunya melalui MiFans. Hal ini didukung dengan berbagai forum online MiFans yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
Setiap user Xiaomi bisa chit-chat bersama para suhu MiFans, atau julidin brand lain. Ini salah satu bentuk forum aspirasi bagi Xiaomi. Bahkan bisa jadi marketing gratis, karena MiFans pada umumnya rela memasarkan kelebihan Xiaomi kepada temannya. Menarik menjadi pertanyaan, apakah gabung MiFans harus punya gadget Xiaomi?
Kepemimpinan Alvin Tse
Bagi yang belum kenal, silahkan kenalan di Facebook-nya, Alvin Tse. Dia sering membuat postingan di akun pribadi dan di grup Komunitas Android. Menariknya, mana komentar postingannya selalu dibuka dan seperti biasa ada banyak “bunyi-bunyian” netizen di dalamnya.
Hal ini jarang dilakukan oleh seorang pemimpin/manajer/CEO perusahaan besar. Ini menunjukan bahwa dia adalah orang yang berusaha down-to-earth. Dia juga menyematkan pesan cinta pada setiap smartphone Xiaomi yang dipasarkan melalui sebuah selebaran kartu.
Terlihat sepele, tapi bisa menjadi pengenalan personal dirinya, dan menunjukan kedekatan terhadap konsumennya. Strategi lainnya, Alvin Tse mengundang David dari GadgetIn sebanyak 2 kali. Undangan untuk office tour mungkin terkesan biasa saja, tapi kerennya dia bersedia diwawancara untuk menjawab berbagai pertanyaan sulit netizen tentang Xiaomi, misalnya: “Kenapa hape Xiaomi bisa gaib di pasaran?”
Pertanyaan sederhana tapi untuk mengakui, menjawab, memberikan solusi, bahkan meminta maaf, tidak banyak perusahaan mau melakukan ini. Bahkan, kita harus mengapresiasi usahanya untuk dekat dengan konsumen Indonesia, terutama sesekali menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan, dengan aksennya yang khas.
Intinya, suatu negara demokrasi mengidamkan peradaban yang harmonis dan maju berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat. Sepertinya ini ingin dibawa ke dunia smartphone, dan terlihat cukup berhasil sejauh ini. Terutama di bawah kepemimpinan Alin Tse.
Xiaomi, sejauh ini, terbuka dan mau mendengar aspiratif melalui MiFans. Terlepas dari beberapa hal yang kadang dianggap sebagai “kekurangan”, misalnya banyak iklan.
Pelajaran moral yang bisa kita pelajari, bahwa demokratisasi industri smartphone bisa jadi a future-proof plan for other brands.
BACA JUGA Tiga Alasan Jangan Beli Smartphone Hanya Karena Harga dan Spesifikasinya dan ulasan hape pintar lainnya di rubrik KONTER.