Sony Ericsson J105i Naite yang Disayang Lalu Ditinggalkan

[MOJOK.CO] “Lupakan Blackberry dan Windows Phone, Nokia yang paling bagus itu ternyata Sony Ericsson.”

Sore itu di pengujung 2009, ketika seorang pengusaha paruh baya menghadiahkan sebuah telepon seluler terbaru kepada saya dalam rangka pergantian tahun. Hadiah itu bentuk penghargaan atas masukan saya pada suatu pertemuan sebelumnya terkait kondisi perusahaan mereka, ”Usul saudara itu membuka wawasan kami yang tua-tua ini,” ucap beliau saat itu.

Saya sendiri lupa apa tepatnya usul saya itu. Remeh, pokoknya. Jika tak salah, sekadar saran-saran global dan motivasional seputar regenerasi, perbaikan kesejahteraan pekerja dan mitra, serta soal ekspansi bisnis menyambut ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). Terpujilah Hermawan Kertajaya dan Dale Carnegie yang pandangan-pandangannya banyak saya kutip secara tak tahu diri waktu itu.

Adapun ponsel itu, nama lengkapnya: Sony Ericsson J105i Naite, biasa disapa Naite. Sebagai seorang gaptek yang baik, tentu saja ponsel itu tidak buru-buru saya puja-puji melainkan saya cuekin dulu.

Selain kurang familiar dengan navigasi dan fiturnya, juga karena saya masih sayang dengan ponsel Nokia 3310 jadul saya. Kegaptekan saya saat itu mungkin setara dengan orang-orang mendadak sporty zaman now yang underestimate terhadap kualitas sepatu Asics generasi Gel.

Penampakan Sony Ericsson J105i Naite

Perlu waktu bagi saya untuk mempelajari Naite, seiring kolapsnya sang 3310. Setelah mencoba browsing, akhirnya saya tiba pada sebuah kesimpulan: HP satu ini adalah sebuah mahakarya yang tersembunyi. Ponsel untuk manusia yang berakal dan mendapat petunjuk: ”Mona Lisanya ponsel zaman ini!” pikir saya sembari terperanjat penuh kagum.

Selayaknya aura kesederhanaan nan indah dari potret Mona Lisa, desain ponsel ini pun simpel namun eksotik. Dimensinya 108 x 47 x 12,6 mm dengan berat 84 gram, layar 2,2 inci, dan keypad sembilan tombol. Sangat enak digenggam. Tak ubahnya memegang ucapan teman setia yang tak akan ingkar janji.

Memori internalnya lumayan untuk ponsel zaman itu dan tentunya sangat kecil jika dibanding pasaran memori internal ponsel zaman now, yakni 100 MB. Cukup untuk menyimpan hingga 1000 nomor kontak dan bejibun aplikasi serta teknologi bawaannya yang keren-keren melampaui zamannya (generasi GreenHeart adalah pembuka jalan bagi Soner yang merupakan salah satu pelopor platform Java untuk memasuki era Android).

Sedangkan memori eksternalnya bisa menampung hingga 8 GB. Kemampuan surgawi bagi saya yang segera memenuhinya dengan ratusan lagu, ratusan foto, puluhan video dengan mayoritas di antaranya adalah bokep-bokep pilihan, dalam format 3GP yang legendaris itu. Resolusinya juga cukup bagus, 240 x 320 piksel. Cukup memanjakan bagi seorang ”Bokepolog zuhud” macam saya.

Kelebihan berikutnya tentu ada pada kamera dan suaranya, termasuk speaker dan earphonenya. Sony pada saat itu adalah raksasa dalam dunia teknologi kamera dan audio. Tak sulit bagi mereka mengadaptasikan teknologi itu ke dalam Naite.

Apalagi saat itu mereka masih mesra-mesranya dengan Ericsson, salah satu penguasa industri perponselan Eropa. Sehingga dengan sendirinya mutunya sudah tak perlu lagi dipertanyakan. Tersesatlah mereka yang mengingkari kedigdayaan Sony (dan Ericsson) dalam dua hal itu.

Puncak dari segala hal terluhur dari ponsel ini adalah komitmen SE untuk lebih ramah lingkungan melalui perilisan seri-seri ponsel bertajuk GreenHeart dimana Naite adalah salah satunya: berbahan dasar plastik daur ulang, cat berbahan dasar air, material bebas bahan kimia berbahaya, fitur e-manual yang tertanam dalam ponsel untuk mengurangi penggunaan kertas, serta daya tahan baterai yang tergolong paling irit di kelasnya.

Sungguh, wahai para pecinta, bagaimana mungkin hati kalian bisa demikian keras hingga tak terketuk oleh ponsel cakep, pintar, berhati mulia, hemat, sanggup multitasking dan tidak rewel ini?

Maka, berbekal ponsel istimewa inilah, saya, ketika berkarir sebagai manajer operasional (baca: penunggu) toko ponsel di kampung halaman saya di jantung Kalimantan, sanggup dengan jemawa menertawakan orang-orang yang membanggakan BlackBerry ataupun Samsung Corby-nya.

Nokia? Di masa itu mereka sudah berada di tubir senjakala, meskipun pada masa itu di kampung saya, kata Nokia sempat menjadi kata ganti untuk ponsel itu sendiri, sebagaimana Honda untuk sepeda motor dan Aqua untuk air minum kemasan.

Kemesraan dengan Naite masih berlanjut hingga awal 2012, ketika terjadi tragedi itu: soket untuk pengisian baterai sekaligus untuk menancapkan earphonenya aus akibat terlalu sering digunakan bergantian. Lalu saya membawanya ke seorang tukang servis ponsel terkutuk yang dengan sotoynya mengebor dinding penyangga soket tersebut.

Hal itu semakin parah kala pada suatu pagi yang kelam di pertengahan 2014 saat saya sudah pindah ke Surabaya, si cantik berhati mulia ini untuk ke sekian kalinya tercebur ke dalam bak mandi, dan kali itu saya terlambat menyadarinya.

Alhasil, baterai yang sudah sulit diisi ulang pasca pengeboran brutal, jadi tak bisa di-charge akibat kerusakan pada sirkuitnya. Beberapa tombolnyapun mulai tak merespon. Sempat saya upayakan bolak-balik ke WTC dan THR guna mengobatinya, namun tiada yang menyanggupi lantaran dinding soketnya sudah terlanjur jebol akibat dibor penyervis durhaka di kampung halaman, yang tak lama sesudah peristiwa terkutuk itu kiosnya terbakar ludes.

Maka Naite kesayangan itupun saya semayamkan dan jasadnya masih saya simpan dengan khidmat hingga kini. Sesudah itu saya masih sempat dua kali membeli Naite lagi, seken, lewat toko daring.

Namun keduanya itu tidak bertahan lama. Yang pertama mendadak rusak. Si penjual dengan liciknya tidak memberitahu kondisi ponsel itu yang pernah terendam air dalam jangka waktu lama. Sedangkan yang kedua, terjatuh di jalan raya. Bersama sekumpulan bokep kesayangan, tentu saja. Sempat juga mencoba model di atasnya, yakni Cedar dan Elm, tetapi rasanya tidak seindah dengan Naite. Apa boleh bikin.

Saya bahkan nyaris saja akan membeli sekenan lagi untuk ketiga kalinya, andai bukan karena ultimatum langsung direktur utama tempat saya bekerja saat itu yang mewajibkan semua kepala departemen untuk menginstall aplikasi WhatsApp.

Akhirnya kisah cinta itupun usai. Namun rasa sayang pada Naite merah mungil itu tak mungkin enyah. Di balik segala kekurangannya, mulai dari navigasi dan teknologinya yang kurang familiar bagi masyarakat awam, soket charger yang bergabung dengan earphone, hingga penyakit legendaris ponsel Sony yaitu purnajual yang keparat, hingga detik ini segala keandalannya masih mengiang dalam ingatan. Terutama kualitas audionya yang berkharisma, bening dan detail, berpadu dengan kemuliaan sebagai ponsel ramah lingkungan.

Bahkan hingga saat ini masih membekas jelas dalam ingatan, ungkapan kagum seorang PNS tua yang dengan bersemangatnya memuji ponsel Sony Ericsson kepada teman-temannya saat berkunjung ke toko ponsel saya, setelah saya prospek soal keunggulan Naite dibanding BB idamannya dan para koleganya.

Saking kagumnya, bahkan sampai nyaris headbanging, bapak itu menjerit histeris: ”Nokia yang paling bagus itu, ya, Sony Ericsson!!!”

Exit mobile version