Resep TikTok Shop Memerangi Barang KW

Dengan atau tanpa teguran dari USTR, penjualan barang-barang palsu atau KW memang harus dilawan.

Resep TikTok Shop Memerangi Barang KW Perlu Dicontoh Shopee dan Tokopedia MOJOK.CO

Ilustrasi TikTok Shope memerangi barang KW. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMeski mengandung risiko, usaha TikTok Shop untuk menyaring peredaran barang KW perlu ditiru Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

Dunia e-commerce Indonesia memanas beberapa hari belakangan. Pasalnya, di tengah kecamuk perang di Eropa sejak minggu lalu, tiba-tiba Amerika Serikat (AS) menyenggol soal maraknya barang palsu atau KW yang membanjiri pasar e-commerce Indonesia.

Dilansir dari Kompas, US Trade Representative atau yang sering disebut USTR telah mengindentifikasi 42 e-commerce dan 35 pasar fisik di seluruh dunia yang dianggap terlibat atau memfasilitasi pemalsuan merek dagang. Simpelnya, e-commerce ini dinilai memfasilitasi penjualan barang-barang KW brand dari AS sana, misal Apple dan Nike.

Mengintip daftar tersebut, e-commerce populer di Indonesia masuk di daftar, yakni Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

Senggolan dari AS tampaknya memang bikin e-commerce papan atas Indonesia itu cukup gerah. Terbukti, dari pantauan di media sejauh ini, sejak berita tersebut jadi bola panas, Tokopedia dan Bukalapak sudah mengeluarkan rilis pers terkait ini. Shopee sendiri kayaknya masih memantau situasi.

Tokopedia misalnya, menyebut bahwa perusahaan akan menindak tegas bentuk penyalahgunaan platform untuk penyebaran barang KW dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dikutip dari Investor.id, langkah Tokopedia memerangi barang palsu dengan meningkatkan sistem pelaporan dan penghapusan, serta memperbesar keterlibatan brand di platformnya.

Tokopedia juga merilis microsite Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang menginformasikan secara lengkap langkah Tokopedia melawan barang palsu. Di dalamnya termasuk konsekuensi bagi seller yang menjual barang palsu alias melanggar kekayaan intelektual. Jadi, kalau kamu berniat coba-coba kaya dari barang KW di Tokopedia, mending mampir ke microsite-nya dulu biar segera insyaf.

Tapi, memangnya distribusi produk KW atau barang palsu bisa dikontrol? Dan sampai di titik mana saja bahayanya? Coba kita kulik ya.

Platform e-commerce bermodel UGC

Satu yang perlu kita pahami dasarnya adalah sifat platform e-commerce terkait. Sependek yang saya tahu, platform e-commerce itu pada dasarnya bersifat user generated content (UGC).

Begini, UGC itu biasanya berkaitan dengan target salah satu aplikasi atau marketplace yang ingin mengakusisi banyak user/seller di dalam ekosistem platform-nya. Saya rasa, baik Shopee dan Tokopedia, menganut sistem tersebut, di mana setiap orang bisa dalam sekejap menjadi penjual atau seller dan bisa mengunggah produknya secara mandiri. TikTok Shop sendiri “agak berbeda”.

Nah, celah ini adalah lubang terbesar yang dimanfaatkan untuk jualan barang-barang KW atau palsu. Pasti kamu-kamu nggak asing, kan, ketika browsing di Tokopedia dan Shopee, lalu nemu sepatu Nike atau celana training Nike, bahkan iPhone yang harganya jauh di bawah harga pasar. Buat orang awam, harga iPhone yang normalnya puluhan juta rupiah, di versi KW-nya, bisa dijual jauuuh dari harga barang aslinya.

Celah ini adalah lubang menganga yang sulit sekali untuk sekadar ditambal, atau coba ditutup secara permanen. Sebab apa? Jika cara untuk menjadi seller dipersulit di e-commerce, itu bakal jadi buah simalakama bagi si platform. Mereka akan kehilangan calon-calon seller, yang otomatis menghilangkan sekian persen potensi revenue. Ini tantangan besarnya.

Lalu, bagaimana mengakali penyebaran barang-barang KW ini namun akuisisi seller tetap jalan?

Menerapkan filtrasi ala TikTok Shop

Meski belum sebesar e-commerce babon di Indonesia seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak, TikTok Shop pada dasarnya punya dasar yang oke terkait filtrasi seller.

Sejak resmi dirilis per 2021 lalu, TikTok Shop berupaya jadi alternatif tempat berbelanja. Pada awalnya, sistem pendaftaran untuk menjadi seller relatif mudah. Namun, seiring waktu Tiktok berbenah.

Sekarang ini, setidaknya ada empat syarat utama yang bikin kita bisa jadi seller di TikTok Shop. Buat saya yang biasa jualan dengan santai di Tokopedia, empat syarat dari TikTok ini cukup effort sekali untuk dijalani, makanya saya skip saja… hahaha.

Oke jadi syarat pertama, akun TikTok kamu harus punya lebih dari 10.000 followers. Bukan syarat sulit buat beberapa orang, namun buat orang yang dari awal niatnya jualan produk KW, ini agak merepotkan ya.

Lalu syarat kedua gabung TikTok Shop, dalam rentang 28 hari terakhir, kamu harus punya video yang punya views di angka 50. Cara ini gampang lah ya.

Syarat ketiga dan keempat juga relatif mudah sebab hanya syarat administratif. Syarat ketiga, umur kamu harus 18 tahun. Lalu syarat keempat, kamu harus posting video apa saja di TikTok dalam kurun waktu 28 hari terakhir sebelum bikin akun seller di TikTok Shop.

Dengan asumsi saya adalah seller yang terbiasa dengan kenyamanan dan simpelnya jualan di Tokopedia dan Shopee, kalau saya lho ya, saya sih mager bikin akun di TikTok Shop. Tiga syarat lain, sih, lumayan bisa diakalin, cuma syarat 10.000 followers ini kan cukup rumit ya sebab tidak ada (mungkin belum saja) jasa beli followers di TikTok.

Namun satu yang bikin salut ialah cara TikTok memfiltrasi atau menyaring calon seller. Nah, kalau sudah di titik ini, kita perlu menuju ke kesimpulan akhir; emang apa sih bahayanya produk KW?

Bahaya produk palsu, dari rugi materiil hingga cancel culture!

Meski terkesan sepele buat beberapa orang, bahaya barang KW ini punya dampak yang nggak kecil, lho.

Contoh terbaru ada di Korea Selatan. Di negeri yang rentan dengan cancel culture itu, salah satu selebgram lokal sempat tersandung kasus barang palsu dan kini kehilangan pengikutnya di media sosial.

Dia adalah Free Zia atau Song Jia, influencer dan selebgram asal Busan, Korea Selatan, yang mencuat berkat acara di Netflix berjudul Single’s Inferno. Selebgram muda ini tersandung kasus barang palsu karena ketahuan memakai produk fesyen palsu di acara Single’s Inferno. Dalam sekejap, popularitasnya lenyap ditelan kontroversi barang KW.

Dalam kontroversi tersebut, Zia dituding sengaja memakai barang palsu dari brand ternama dunia untuk mencitrakan diri sebagai orang kaya demi ketenaran di dunia showbiz. Suram.

Kasus Zia sendiri adalah contoh nyata dampak buruk barang KW bagi selebritas. Namun selain itu, tentunya ada kerugian materiil yang tentu tidak sedikit. Di dunia sastra Indonesia misalnya, isu pembajakan buku seolah tak pernah henti membayangi nasib para penulis di Tanah Air. Bahkan sastrawan kondang sekelas Eka Kurniawan saja jadi korbannya.

Buku yang dibajak, lalu dijual serampangan di e-commerce dengan harga jauh lebih murah, tentu memberikan kerugian materiil yang angkanya bisa sangat masif jika dilakukan secara berulang-ulang. Apalagi di e-commerce tertentu, nyaris tidak ada upaya untuk setidaknya mengurangi perdagangan buku bajakan.

Memang sih, TikTok Shop tidak pas dibandingkan langsung dengan platform e-commerce. Ruh TikTok adalah media sosial, lain dengan platform yang dari sononya memang e-commerce. Ruh TikTok ini sekaligus membuatnya mustahil masuk daftar USTR karena platformnya tidak dikategorikan sebagai e-commerce. Tapi fitrasi ala TikTok Shop masih layak untuk ditiru demi menyempurnakan sistem anti-barang palsu di e-commerce kok.

Pada akhirnya, dengan atau tanpa teguran USTR, pembajakan atau penjualan barang-barang palsu di mana pun memang perlahan harus dikurangi, ditekan, hingga kemudian diberantas. Sebab ingat, orang-orang tua dari dulu sudah rutin bilang, kalau mau apa-apa, ya nabung. Beli barangnya ketika uang sudah terkumpul. Jangan beli barang KW atau ngutang pakai pinjol ilegal, ya!

BACA JUGA Indonesia Banjir Barang Palsu? Jangan Maksa Punya Balenciaga kalau Baru Bisa Beli Dagadu dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.

Penulis: Isidorus Rio
Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version