Kenapa Saya Menunggu Samsung Galaxy Note 8

Kalau Samsung memberikan penghargaan kepada pengguna gajet mereka, sebaiknya perusahaan itu mempertimbangkan nama saya. Kenapa? Saya tidak akan menjawabnya. Cukup bercerita saja. Karena itu adalah keahlian saya.

Saya terlahir sebagai orang yang simpel. Bagi saya, hidup ini sudah terlampau ribet. Terlalu banyak urusan di hidup ini. Sehingga jika ada hal yang bisa dibuat sederhana, saya memilih untuk melakukannya.

Saya suka memakai celana pendek, bukan karena ingin tampil eksentrik. Sebab celana pendek lebih fleksibel dan lebih ramah terhadap alam tropis Indonesia yang cukup gerah ini. Saya akan memilih memakai celana panjang sewaktu ada kondangan atau ketika saya mesti melakukan presentasi di beberapa lembaga, yang rasanya tidak sopan jika mengenakan celana pendek.

Kaos lebih sering saya pakai karena alasan serupa. Begitu pula saat saya memakai kemeja untuk alasan yang serupa, plus di hari Jumat karena rasanya tidak patut jika melakukan salat Jumat hanya dengan mengenakan kaos. Saya juga lebih sering memakai sandal. Bukan sepatu.

Sebagai penulis, juga peneliti lapangan, saya termasuk orang yang memiliki mobilitas tinggi. Itulah muasalnya, kenapa gajet menjadi bagian penting dalam hidup saya.

Ketika Blackberry muncul, saya agak telat memiliki gajet itu. Saya waktu itu berpikir, gajet itu hanya mengurangi waktu membaca dan waktu menulis saya. Namun, setelah saya tahu bahwa Blackberry bisa mengirim dan membalas email dengan cepat, segera gajet tersebut menjadi andalan saya. Dan mulailah saya belajar menulis lewat Blackberry.

Awalnya saya hanya menulis ide-ide tulisan saja. Karena ternyata menulis lewat Blackberry menjadi lebih mudah dan tidak ribet dibanding ketika saya harus menulis di atas kertas dengan pena. Kebiasaan saya menulis di kertas mulai digantikan dengan kehadiran Blackberry.

Saking seringnya saya menulis dengan Blackberry, saya sempat tiga kali mengganti gajet tersebut, mengikuti berbagai varian Blackberry yang makin canggih.

Saya juga termasuk orang yang agak telat mengikuti perkembangan Android. Alasannya sederhana, saya sudah merasa nyaman menulis dengan Blackberry. Hingga kemudian teman-teman saya memakai aplikasi WhatsApp untuk menggantikan peran Blackberry Messenger.

Awalnya tentu saja saya memilih gajet Android yang masih menggunakan keypad fisik. Bagi saya, keypad dengan teknologi layar sentuh adalah hal yang aneh. Jempol jari saya rasanya susah untuk beradaptasi dengan teknologi itu. Sering salah pencet dan rasanya kurang puas ketika menulis karena cara memencetnya tidak perlu sekuat menggunakan keypad fisik. Tapi lama kelamaan, saya menyerah. Gajet dengan keypad fisik makin jarang muncul di pasaran. Kalaupun ada, kehadirannya tidak secepat gajet dengan keypad layar sentuh.

Dari situlah saya mulai sering berganti-ganti gajet. Belasan gajet saya beli lalu saya jual lagi, hanya untuk mencoba mana yang paling pas buat jari dan mata saya. Hingga kemudian pencarian saya terhenti pada gajet besutan Samsung: Galaxy Note 3.

Galaxy Note 3 bagi saya pas di tangan, nyaman di mata, sekaligus performanya ciamik, sehingga membuat saya tidak mau pindah lagi ke gajet lain. Dari gajet ini pula, selain lahir puluhan artikel, juga sebuah buku kumpulan tulisan: Dunia Kali.

Namanya juga barang, karena sering dipakai, performanya semakin lama semakin mengendor. Tapi saya tidak mau pindah ke gajet lain. Saya membeli Galaxy Note 4, kakak pertama dari Galaxy Note 3. Sebagai catatan, selain punya gajet tersebut, saya juga masih mempunyai gajet lain yaitu Samsung Galaxy Tab, dan Ipad 2. Bahkan untuk Galaxy Tab, saya punya dua buah.

Awal membeli Ipad 2 dan Galaxy Tab juga karena untuk coba-coba. Siapa tahu enak dipakai menulis. Ternyata tidak. Jari-jari saya lebih cepat menari di atas layar Galaxy Note 4. Walhasil, Galaxy Tab hanya saya pakai untuk bermain catur, dan Ipad lebih sering digunakan untuk menonton Youtube.

Buku Para Bajingan yang Menyenangkan saya tulis menggunakan Galaxy Note 4, plus puluhan artikel lain.

Lagi-lagi, karena sering dipakai, gajet itu mulai soak. Saya pun membeli Galaxy Note 5. Khusus barang ini, harus saya akui sangat jempolan. Performanya oke, kameranya canggih, dan tampilannya memikat. Untuk membeli gajet ini, Galaxy Tab dan Galaxy Note 3 yang saya miliki harus dilego terlebih dahulu. Itu pun saya masih harus menambah sekira 4 juta rupiah.

Saya tetap produktif menulis. Dengan gajet ini, lebih dari 50 artikel saya tulis, dan sebuah novel yang nisbi tebal selesai saya tulis. Ya, novel Seorang Laki-laki yang Keluar dari Rumah, setebal 335 halaman, saya tulis menggunakan gajet Samsung Galaxy Note 5.

Tiga buku yang pernah saya hasilkan dari menulis lewat gajet

Selain Galaxy Note 5, saya punya gajet kedua. Saya pernah menjadi pengguna Redmi Note 3, kemudian baru saya ganti pakai Vivo V5. Tapi gajet kedua itu bukan untuk menulis. Lalu untuk apa? Nah, ini sebetulnya agak rahasia. Tapi baiklah, demi kemaslahatan umat, akan saya bagi rahasia tersebut.

Pertama, saya juga sebagaimana Anda yang menggunakan aplikasi WhatsApp. Dan tentu Anda tahu, grup WhatsApp baru tiba-tiba bermunculan. Dari mulai teman SMP, SMA, kuliah, main futsal, kerjaan, dll. Jika ditotal, ada lebih dari 20 grup WhatsApp. Pusing saya. Tapi rasanya tidak enak jika saya meninggalkan grup tersebut. Supaya saya tidak terganggu dengan grup-grup yang mungkin bermaksud baik itu, saya menggunakan nomor lain di gajet kedua. Tiga atau seminggu sekali, saya cek. Untuk grup Whatsapp yang saya anggap penting, saya memakai gajet Galaxy Note 5.

Kedua, ada dua cara saya menulis, baik itu menulis artikel maupun buku. Cara pertama, saya tulis lewat Facebook. Cara kedua, ini yang paling sering, saya menulis lewat WhatsApp. Caranya, saya menulis Whatsapp dari Galaxy Note 5 kemudian dikirim ke, ke nomor Whatsapp Vivo V5. Entah kenapa, tampilan di Whatsapp enak sekali untuk menulis.

Ketiga, Ipad saya sebetulnya saya lungsurkan kepada Kali, anak saya yang sekarang berumur 5 tahun. Dulu dia saya lungsuri ketika berumur 3 tahun. Ketika makin besar dan sering melihat saya bekerja dengan Galaxy Note 5, dia mulai sering mengganggu saya. Akhirnya, supaya saya tetap bisa bekerja, saya sodorkan Vivo V5 untuk sekadar nonton Youtube atau bermain game. Tapi Kali hanya boleh bermain gajet saat hari Sabtu dan Minggu. Itu pun harus ada jedanya.

Ketiga alasan itulah yang menyebabkan saya punya dua gajet.

Perbandingan spek smartphone yang pernah saya pakai

Galaxy Note 5 saya sekarang mulai sering bermasalah. Performanya sudah mulai menurun. Tentu saja. Bagaimana tidak, selain sudah menghasilkan sekian banyak tulisan, juga sering saya pakai untuk menonton Youtube dan melakukan aktivitas di media sosial. Selain karena sudah takdirnya, juga makin sering dipakai dan tergerus oleh waktu, maka pastilah makin menurun kemampuannya.

Ketika Samsung mengeluarkan Galaxy Note 7 yang dikenal sebagai varian Galaxy Note yang bermasalah itu, saya memang tidak punya niat untuk mengganti Galaxy Note 5 saya. Tapi karena kondisi Galaxy Note 5 saya kini sudah mulai sering tidak normal, saya bersiap untuk membeli Galaxy Note 8 yang sebentar lagi masuk pasaran.

Saya pun beberapa kali mencari informasi kehadiran Galaxy Note 8 lewat Youtube dan situsweb lain. Tapi mendadak saya ragu. Kok sepertinya penampakan Galaxy Note 8 lebih ringkih dan lebih memanjang. Apakah masih nyaman bagi saya untuk menulis?

Profesi saya penulis. Saya setia dengan seri Galaxy Note karena nyaman untuk menulis. Bahkan dua laptop Mac saya, yang sudah lebih dari 3 tahun tersimpan di laci, tidak pernah saya sentuh. Kalau kemudian Galaxy Note berubah bentuk dan membuat saya tidak nyaman untuk menulis, untuk apa saya miliki?

Sembari menunggu Galaxy Note 8 rilis di pasar, dua hari lalu saya iseng membeli Iphone 7. Dan setelah saya coba, mohon maaf, bagi saya, gajet ini termasuk yang tidak enak untuk menulis.

Mendadak saya jadi bingung. Apa nggak lucu kalau saya membeli Galaxy Note 5 lagi untuk menggantikan Galaxy Note 5 lama yang sudah begitu berjasa bagi saya dalam menekuni karier kepenulisan saya?

 

Exit mobile version