MOJOK.CO – Jika kalian mengajak saya untuk terbang bersama Garuda Indonesia sekaligus berusaha menyelamatkannya, saya pikir-pikir, deh.
Saya dengar nasib Garuda Indonesia semakin di ujung tanduk. Bahkan Stafsus Erick Thohir menyebut manajemen mereka sudah “ugal-ugalan” dalam bekerja.
Gimana, ya. Kadang ada baiknya nggak memaksa menawarkan pengalaman bintang lima. Maklum, pertimbangan banyak calon penumpang adalah soal harga tiket Garuda Indonesia. Lalu, pemborosan internal membuat Garuda terlilit utang yang lebih besar dari asetnya.
Sudah banyak beban perusahaan yang dipangkas. Namun, pandemi membuat Garuda Indonesia tak mampu menahan turunnya pendapatan. Kok ya takutnya, mereka bakal segera pailit. Membayangkan situasi ini, saya merinding sendiri.
Berbagai inovasi dan pemanfaatan teknologi sudah dilakukan. Ada yang malah bikin kontroversi, ada yang terasa sangat kurang. Mari kita tengok.
Harga tes PCR penumpang Garuda Indonesia dipertanyakan
Sejak hari Minggu kemarin, penumpang pesawat wajib menunjukkan hasil negatif berdasarkan teknologi tes PCR. Syarat ini diprotes banyak calon penumpang karena biaya PCR dirasa terlalu tinggi. Garuda Indonesia sendiri sempat menawarkan harga antara Rp295 sampai Rp400 ribu tergantung daerahnya.
Satu hari yang lalu, Presiden Jokowi minta harga tes PCR diturunkan jadi Rp300 ribu saja. Usulan ini sedang dikaji oleh Kemenkes. Menurut saya, berkaca dari usulan Jokowi, harga PCR itu bukan diturunkan, tapi cuma diseragamkan jadi Rp300 ribu. Harga yang masih dirasa tinggi untuk banyak calon penumpang pesawat, termasuk Garuda Indonesia.
Apakah mungkin Garuda Indonesia memberikan subsidi harga tes PCR? Kayaknya itu hal yang mustahil. Sekarang aja mau kolaps, kok mau subsidi sebuah teknologi. Apes betul.
Masih mengemban standar 5-star Covid-19 airline safety rating?
Akhir Juni lalu, Garuda Indonesia menjadi satu dari delapan maskapai di dunia yang mendapatkan penilaian bintang lima soal keamanan penerbangan selama pandemi. Ketika melihat penghargaan seperti ini, mereka yang memiliki budget sedikit lebih besar tentu akan melirik tiket penerbangannya. Apakah Garuda Indonesia bisa tetap konsisten di tengah masalah keuangan yang membelitnya?
Betul bahwa para penumpang masih akan mendapatkan personal health kit berisi masker dan hand sanitizer. Namun, hal ini bukan hal yang dicari oleh penumpang.
Namanya juga lagi susah dan regulasi memperbolehkan, ya Garuda Indonesia tidak lagi membatasi kapasitas pesawatnya alias kalau bisa penuh ya penuh. Penumpang jadi kehilangan kesempatan untuk melakukan physical distancing, belum lagi dengan seat pitch dan seat width yang pas-pasan bagi maskapai kelas premium tentunya membuat kapasitas penumpang cukup banyak.
Akun Instagram resmi milik Garuda Indonesia mengajak masyarakat untuk terbang kembali dan meyakinkan sirkulasi udara di dalam penerbangan sudah dibantu penyaringannya oleh HEPA filter. Hal ini lagi-lagi tidak istimewa, karena juga dilakukan oleh armada Lion Air Group dan Sriwijaya Air. Waduh!
Inflight food kena korting!
Setelah Garuda Indonesia sempat meniadakan makanan untuk perjalanan berdurasi di bawah dua jam, kini situasi sudah berbeda. Garuda berkomitmen menyediakan paper bag berisi roti, kentang panggang bermerek Tricks, air mineral berukuran 330ml, dan tisu basah untuk penerbangan kelas ekonomi berdurasi tiga jam atau kurang.
Ada saja warganet yang kecewa. Tricks ini ternyata memiliki harga yang sangat terjangkau dan Garuda hanya memberikan satu saset per penumpang!
Lebih ironisnya lagi, ini jelas penurunan yang luar biasa dibandingkan perjalanan di masa normal. Perjalanan ke Batam atau Bali bisa mendapatkan set nasi dengan sayur dan daging sapi, masih disertai hidangan penutup berupa roti atau potongan buah, air mineral, dan secangkir jus yang dituangkan oleh pramugari. Memang tidak aman membagikan jus secara terbuka ketika pandemi. Namun, kualitas gantinya jangan jatuh banget, dong.
Di perjalanan dengan jarak yang lebih jauh dan masih kelas ekonomi, saya mendapati seorang travel vlogger mendapatkan paket yang sedikit lebih baik. Jusnya sudah disediakan terpisah dari air mineral dalam kemasan, Tricks masih ada, dan roti kini digantikan oleh makanan utama.
Isinya? Mie goreng dengan telur dadar iris dan potongan ikan goreng tepung. Saya tidak akan membahas kelas bisnis ya, ingat sekali lagi bahwa kita tentu sayang uang untuk cukup duduk di kelas ekonomi Garuda Indonesia.
Lebih jauh lagi, masih perjalanan domestik, akhirnya muncul nasi dengan iga sapi dan sayur. Namun, jus dan air mineral kompak hilang, digantikan teh panas dalam cangkir kecil berbahan kertas yang terbuka. Meskipun penerbangan tersebut sangat-sangat sepi, bukankah lebih baik untuk menyajikan segala sesuatunya dalam kemasan tertutup di masa pandemi?
Inflight entertainment kurang ramah pandemi
Soal konten inflight entertainment dan kualitas koneksi WiFi (jika ada) yang kurang memuaskan, itu tak usah dibahas lagi. Dari sekian banyak suasana penerbangan yang saya amati, penggunaan IFE banyak menurun dan pengguna beralih ke perangkat pintar yang dibawanya sendiri. Mengapa demikian?
Letak masalah adalah layar sentuh yang digunakan tentunya menjadi salah satu faktor risiko transmisi virus. Headphone, yang paling murah dengan kualitas paling buruk sekalipun, juga tidak diberikan secara cuma-cuma dan Garuda Indonesia hanya meminjamkan seperti layaknya sebelum pandemi.
Pilihan jangka pendek mungkin memberikan headphone murah meriah secara gratis dan penumpang masih diberikan kesempatan untuk meminjam headphone standar yang lebih bagus jika mau. Kalau buat jangka panjang ya beralih saja ke solusi wireless IFE yang bisa diakses dari ponsel dan laptop milik penumpang itu sendiri. Tidak semua pengguna punya headphone kabel kan, siapa tahu dia menggunakan Earbuds?
Naik Garuda Indonesia masih worth it?
Tiket Garuda Indonesia, dengan kondisinya saat ini yang sangat tidak istimewa, tetap saja mahal. Jika saya bandingkan dengan Lion Air atau Super Air Jet, harga tiket Garuda itu dobel.
Mereka menyediakan hand sanitizer saat check-in memang, tetapi harga personal health kit dan makanan atau kudapan yang disediakan oleh Garuda rasanya terlalu mahal. Sekali lagi, saya berfokus di kelas ekonomi ya.
Jika menginginkan seat distancing, ada baiknya membeli tiket kelas Royal Green dari Citilink. Dengan harga 30 persen lebih murah dari tiket Garuda, Anda mendapatkan bagasi gratis ekstra 5 kg dan kursi tengah di setiap barisnya dikosongkan.
Jika kalian mengajak saya untuk terbang bersama Garuda Indonesia sekaligus berusaha menyelamatkannya, saya pikir-pikir. Dan ke depannya, entah Garuda akan terus mengudara atau akan digantikan oleh maskapai pelat merah lain, permintaan saya tidak muluk-muluk dan sebenarnya sebagian sudah saya singgung di sini. Sedikit perbesar ukuran kursi, sedikit perlebar jarak antarbaris, cukup untuk sebagian besar pasarmu yang bukan orang kaya.
Jika tetap mau bermain di segmen yang lebih premium dari Citilink, ya silakan tetapi jangan juga selisih harga tiketnya terlalu jauh. Benar-benar sediakan makanan berat untuk perjalanan tiga jam ke atas dan tidak usah berikan apa-apa untuk sisanya.
Tidak perlu lagi IFE onboard dan beralih saja ke WIFE, syukur-syukur dapat inflight WiFi gratis sekalipun hanya cukup untuk WhatsApp-an. Dengan harga yang lebih terjangkau, Garuda Indonesia bisa menjangkau lebih banyak kita-kita ini dan benar-benar hadir sebagai uluran tangan negara untuk solusi transportasi rakyatnya.
BACA JUGA Kelas Ekonomi Garuda Indonesia Perlu Berbenah, Jangan Sampai Dibandingin Sama Batik Air dan ulasan teknologi lainnya di rubrik KONTER.