Tanya
Om Haryo yang baik, langsung saja ya.
Saya perempuan lajang berusia 27 tahun, saat ini alhamdulillah punya kerjaan dengan gaji yang lumayan, Rp6 juta per bulan. Tapi, kenapa ya setelah dua tahun bekerja saya tidak punya tabungan?
Iya, saya tahu saya harusnya bertanya kepada diri saya sendiri. Udah, Om, dan nggak ketemu :’(
Jangankan tabungan, Om. Aset saja saya tidak punya. Saya terhitung jarang membeli barang-barang yang bisa dijual lagi seperti gadget, laptop, atau emas. Juga tidak terlalu konsumtif dalam hal belanja pakaian atau kosmetik.
Mungkin, kalau ada yang saya sadari menjadi sumber keborosan saya, itu ada pada belanja makanan. Saya memang suka makan enak. Selain itu, saya juga lumayan royal kepada teman. Dalam arti suka mentraktir hal-hal kecil seperti makan, rokok, atau jajan kecil lain.
Kini, saya agak panik karena teman-teman seumuran saya satu per satu mulai mencicil rumah, tanah, maupun kendaraan.
Pertanyaan saya, Om, saya sampai tidak punya tabungan itu apakah karena perencanaan keuangan yang buruk, karena gaya hidup boros, atau karena memang rezim Jokowi ini tidak bisa memberi penghasilan yang pantas kepada saya? Lalu, bagaimana cara supaya saya bisa punya tabungan?
Terakhir, ada tidak sih, Om, rumus untuk membagi penghasilan pada pos-pos konsumsi dan tabungan?
Terima kasih.
Dari S di Kota J yang butuh pencerahan
Jawab
Halo S yang pandai bersyukur tetapi mudah lemes semangatnya kala melihat rekening akhir bulan hanya tersisa untuk makan pecel plus ngopi sasetan.
Tidak sekali ini saja situasi seperti ini ditanyakan ke Om. Ini situasi yang sebenarnya teramat mengerikan. Dan sialnya, di usia sepertimu, Om malah sudah ditodong menikah. Lemes kalau mengingat peristiwa itu, mikir mau kasih makan tahu apa tempe, beliin bedak merek Sari Kayu atau Mustika Kartu, ngontrak di rumah susun atau rumah petak, dan hal lain yang membuat berita politik menjadi tidak menarik lagi untuk disimak.
Kok malah jadi ikut curhat.
Maklum, perihnya masa lalu sering kali terasa manis kalau kita ingat lagi di saat kondisi kita sudah jauh lebih baik.
Ada beberapa fakta penting sebelum kita sampai pada cara mengatasi persoalan pengeluaranmu yang bukan lagi buruk, tapi bahkan sama sekali tidak direncanakan.
Pertama, untuk ukuran 2018, gaji Rp6 juta bukanlah angka besar apalagi wah. Bolehlah disebut lumayan karena memang berada di atas UMP Jakarta yang sebesar Rp3,6 juta atau UMP Jayapura yang tahun ini berkisar di Rp3,1 juta. Bayangkan keruwetan para pekerja dengan pendapatan sesuai UMP tersebut sementara kita sering mencibir saat mereka menuntut kenaikan upah. Sehingga, bersyukur punya gaji Rp6 juta/bulan sudah sangat baik.
Kedua, di dalam ilmu ekonomi berlaku hukum yang tidak mungkin disanggah lagi. Begini bunyi hukumnya, “Semakin besar pendapatan, semakin besar pula bagian dari pendapatan tersebut yang dikonsumsi.” Para pekerja dengan gaji Rp3 juta tidak mungkin mampu melakukan konsumsi melebihi gajinya, kecuali dengan utang. Sementara orang seperti Adik S yang bergaji Rp6 juta dapat dengan mudah melakukan konsumsi di atas Rp3 juta, sedangkan kelebihannya dapat disimpan.
Paham ya? Sekilas mudah. Tapi, mengerem konsumsi acap kali tidak mampu kita lakukan.
Adik S yang hemat memulaskan perlengkapan make–up ke wajah tapi boros jajan makanan enak….
Sayangnya, motif manusia sebagai makhluk ekonomi dalam melakukan konsumsi tidak semudah perhitungan matematika dasar. Dari pernyataan di atas, selama ini ada kecenderungan salah menerka bahwa make–up dan pakaian merupakan pos terbesar pengeluaran perempuan. Padahal, kebiasaan makan enak dan ngopi sore ternyata begitu buas menggerogoti keuangan kita.
Ketiga, perubahan gaya hidup paling sering menjungkalkan nalar kita. Jangan kemudian perubahan rezim yang disalahkan. Secara tidak langsung, bisa saja mengaitkan kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi dengan kemampuan perusahaan menyejahterakan karyawannya. Tetapi, dalam hal ini letak kesalahan tetaplah pada kemampuan pengelolaan keuangan Adik yang menyedihkan. Apa kalau 2014 yang jadi presiden Pak Prabowo, Adik saat jadi bisa nyicil KPR dan rekening melonjak tinggi seperti kuda beliau? Om nggak yakin. Kecuali pengeluaran kita jadi irit dan tabungan yang digedein.
Menaikkan gaya hidup itu paling mudah. Menurunkan gaya hidup bisa dikatakan mustahil.
Saat gaji kita 3 juta, nongkrong di warung kopi sasetan sepulang kerja dengan pacar rasanya sudah bahagia. Pulang masih bisa bungkus gorengan untuk yang di rumah. Akhir bulan masih ada sisa untuk ditabung. Tapi, begitu gaji menjadi 6 juta, banyak hal yang bukan urusan pokok menjadi wajib untuk diadakan. Secangkir kopi single origin (yang memang relatif lebih enak dari sasetan) di coffee shop (jatuhnya kalau diterjemahin jadi “warkop” juga) sudah berbeda harga sampai 500% persen ketimbang saat jajan di warung. Itu pun pulang ke rumah sudah tidak menenteng apa-apa.
Keempat, ongkos sosial pergaulan. Ini erat kaitannya dengan perubahan gaya hidup. Interaksi dengan kaum kelas menengah perkotaan frekuensinya semakin meningkat. Makan harus di resto A, ngopi harus di coffee shop B. Kalau keuangan mulai mepet, menenangkan diri dengan gesek kartu kredit. Kartu tersebut dianggap sebagai kartu sakti, bukan sebagai penangguh pembayaran sementara. Selamat kalau belum sampai utang untuk memenuhi gaya hidup karena itulah sebenar-benarnya riba.
Persoalan pengelolaan keuangan bukan persoalan mengerem konsumsi sampai titik terendah, tetapi soal bijak dalam mengelola pengeluaran kita. Mengetahui dengan pasti mana keinginan dan mana kebutuhan. Tidak ada salahnya kita menghadiahi diri kita sesekali dengan hal-hal yang kita sukai: nongkrong di tempat hipster, menghadiri konser musik, makan enak, dan melancong.
Apakah ada rumusnya pengelolaan keuangan? ada 2 rumus, sederhana dan jelimet.
Rumus sederhana, keluarkan 10%-30% dari penghasilan kita untuk menabung. Ya, menabung untuk pengeluaran pajak, misalnya. Harus dipaksa, tidak perlu menunggu waktu untuk sadar banyak hal dapat kita lakukan kalau kita mempunyai tabungan. Iman Adik sepertinya belum didesain seperti itu.
Penyisihan persentase penghasilan tersebut akan membuat kita dapat dapat melakukan saving sebesar Rp600 ribu sampai dengan Rp1,8 juta rupiah per bulan. Lumayan kan? Selebihnya tinggal atur untuk kebutuhan lain sesuai dengan skala prioritas. ingat, untuk rumus sederhana ini, jangan sekali-kali mempunyai keinginan untuk utang dulu.
Berikutnya rumus jelimet. Ini berat, Sayang, Dilan juga belum tentu kuat apalagi Minke. Kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan gaji tersebut dipisahkan dalam komposisi tertentu. Pengeluaran rutin 40%, cicilan utang 30%, pribadi 20%, dan tabungan “cukup” 10%. Dalam bentuk rupiah, komposisinya menjadi: pengeluaran rutin 2,4 juta; cicilan 1,8 juta; keperluan pribadi 1,2 juta; tabungan 600 ribu.
Urusan apa yang harus dimakan, barang apa yang hendak dibeli, jajannya di mana, dan pulsanya mau dianggarkan berapa, untuk selanjutnya harus disiplin mengacu pada angka-angka di atas. Berat? Sudah pasti. Kalau mau ringan, ajak orang untuk berbagi dalam suka maupun suka sekali dengan prinsip “rekeningmu adalah rekeningku, rekeningku adalah milik sendiri.”
Lanjut ya, Dik S yang semoga sudah mulai optimis. Dengan kondisi tabungan nyaris nol, kemampuan kamu untuk nyicil kendaraan semisal Honda beAT jelas terhitung mumpuni. Harus Honda beAT? Ya tidak harus, tapi motor dari pabrikan terbesar di Indonesia ini terhitung murah dan tampilannya kece.
Di bulan selanjutnya, jika motor jadi dibeli, kemampuan cicilan tidak 1,8 juta lagi, tapi sudah menjadi 1,1 juta saja. Motor sudah punya, bagaimana rumah? Nah dengan penghasilan 6 juta/bulan dan kemampuan cicilan tinggal 1,1 juta, KPR di kota J tentu bisa dilakukan, tapi sulit. Apalagi melihat gaya hidupmu yang sedikit nggaya dan hedon, paling tidak perlu rumah yang minimal seharga 600 juta.
Sulit tapi bukan berarti mustahil. Apa gunanya Om di sini kalau tidak dapat membantu meredakan kepanikanmu. Di kota J, kalau misal itu Jakarta, ada program rumah susun seharga 300 juta dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ini langkah realistis untuk kamu yang sudah semakin deg-degan saat menoleh sebayamu sudah memiliki banyak aset.
Kalau mau langkah ambisius, tahan setidaknya pembelian rumah idaman tersebut 3 tahun lagi agar mendapatkan dana untuk DP rumah. Caranya, sisihkan dana yang seharusnya menjadi cicilan untuk disimpan di produk tabungan di bank pilihan yang tidak setiap saat dapat kita ambil, tapi besarannya dapat kita tambahkan seiring dengan kenaikan penghasilan kita.
Itu cara moderat dan paling aman. Jangan nabung konvensional. Untuk orang boros sepertimu, Om sangat tidak menganjurkan.
Jika kamu tipikal pencinta risiko dan rasa sakit, boleh saja melakukan investasi di reksadana. Tetapi jangan menangis kalau bertambah tahun justru malah semakin tergerus dan harapan memiliki rumah semakin menjauh. Ada hal yang harus dipedomani saat melakukan investasi. Ingat pesan Kakek Warren Buffet.
“Jangan taruh semua telur di satu keranjang.”
Semoga Adik S di J mau mempertimbangkan pesan Om H di J. Jangan sampai sudah kerja lembur bagai kuda sampai lupa orangtua, hati terasa durhaka, rekening pun hampa.
Salam sayang,
Om Haryo, konsultan keuangan Mojok
_____________________________________________________________________________________________________
Punya masalah keuangan yang ingin dikonsultasikan? Om Haryo, Konsultan Keuangan Mojok siap membantu permasalahan Anda dengan memberikan arahan bagaimana cara melakukan pengelolaan keuangan yang baik dan benar demi kehidupan yang banyak uang dan masa depan yang gemilang ~