Memanfaatkan WhatsApp Stories Buat Olshop Dadakan Ketimbang Keluyuran Nyebarin Virus

olshop dadakan pakai whatsapp stories MOJOK.CO

MOJOK.COBanyak temen saya berubah jadi “mbak-mbak olshop dadakan” yang jualan lewat WhatsApp Stories. Semoga dagangannya laris, ya, teman-teman.

Menurut saya, social distancing yang dianjurkan pemerintah itu nggak maksimal. Di satu sisi, masyarakat itu sebetulnya was-was kalau kena atau menyebarkan virus. Tapi, di sisi lain, kalau nggak “keluar dari rumah”, mereka nggak bisa kerja. Udah anjurannya nggak maksimal, program bantuan juga kayak nggak ada kejelasannya.

Seiring waktu kita semua bisa melihat banyak orang kehilangan pemasukan. Mending kalau cuma dipangkas beberapa persen atau nggak nerima uang transportasi dan makan siang. Nah, jatuhnya kacau bener buat mereka yang kena pemutusan kerja. Kalau kondisinya gini-gini aja, saya takut makin banyak yang nganggur. Makin banyak yang nganggur, tingkat kejahatan bakal meningkat, apalagi udah mau puasa, terus Lebaran.

Itu baru soal para pekerja yang bisa dimasukkan ke dalam kategori konsumen. Masih ada produsen dan para bakul yang pendapatannya berkurang. Produsen dan bakul ini mengandalkan aktivitas jual dan beli secara langsung. Karena social distancing, pendapatan mereka pastinya anjlok. Kita udah tahu pasti akan hal ini, kan.

Makanya, pilihan yang kayaknya masih aman untuk dicoba adalah jualan online. Istilahnya online shop atau olshop. Udah banyak pedagang yang jualan lewat situsweb, Instagram, hingga “buka toko” di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan lain sebagainya.

Saya yakin masih banyak orang dengan rentang usia 30 sampai 45 yang males bikin olshop di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Antara merasa ribet dan gaptek. Padahal, memaksimalkan dunia digital ini penting banget. Nah, satu media sosial yang bisa dan sudah mereka pahami adalah WhatsApp. Saat-saat sekarang ini, WhatsApp Stories harus dimaksimalkan.

Beberapa teman saya berubah menjadi “mbak-mbak olshop dadakan”. Mereka berusaha patuh sama tagar #DiRumahSaja, sekaligus berusaha bertahan hidup. Karena ribet kalau bikin olshop, mereka memaksimalkan WhatsApp Stories. Saya merasa pengguna WhatsApp Stories memang nggak sebanyak Instagram Stories. Tapi, “enggak banyak” bukan berarti nggak ada, kan. Justru peluangnya masih lumayan ketimbang bersaing di IG Stories.

Sejauh pengamatan saya–mengamati daftar pertemanan di hape sendiri sih–peningkatan jumlah “mbak-mbak olshop dadakan” meningkat empat kali lipat. Dari empat jadi 12, lho. Cara berjualan mereka nggak frontal banget. Sering pakai kalimat mutiara yang saya yakin nyomot aja dari internet. Tapi nggak papa, jualan mereka jadi nggak terlihat terlalu “maksa”.

Bahkan saya lihat mereka ini jadi tahan banting. Mereka sering dinyiyirin Ketika pakai WhatsApp Stories buat jualan. Mereka bisa menanggapi dengan santai dan ujung-ujungnya malah bisa mengedukasi si nyinyir. Mungkin karena tuntutan bertahan hidup, mereka malah bisa menerapkan manajemen konsumen kayak admin yang udah ahli.

Saya yakin, dari 12 bakul itu, lambat laun akan tambah banyak. WhatsApp Stories teman saya jadi kayak stories artis. Kadang sampai titik-titik kalau lagi “bakulan”. Dari skin care, buku, produk untuk bayi, kopi, kaos, pakaian wanita, celana jeans, kolor, cawet, beha, sampai camilan. Saya jadi tertarik untuk mengamati ketika lagi suwung dan rebahan aja. Terkadang saya kepincut untuk beli. Nggak papa, deh. Nglarisi dagangan teman.

Kalau jualan lewat WhatsApp Stories jadi tren, kita harus maklum karena dua hal. Pertama, mereka ingin membantu ekonomi keluarga. Toh pekerjaan mereka nggak terlalu menguras tenaga. Cuma modal hape sama kuota. Kedua, kalau aktivitas jual dan beli jalan terus, ekonomi rakyat bakal terbantu. Wuusss…kok bisa ya saya menulis sekeren itu, ya.

Sejauh pengamatan saya, ada dua kelebihan jualan lewat WhatsApp Stories. Pertama, kamu nggak perlu menimbun stok. Kebanyakan pakai sistem dropship. Jadi kamu berperan kayak sales aja. Kalau ada yang beli tinggal dicatat dan diterima duitnya. Barang akan dikirim sama bakul yang menyediakan barang. Tidak perlu bingung bungkusin barang, apalagi sampai keluar rumah buat ngirimnya.

Kedua, belajar wirausaha mendirikan olshop. Siapa tahu, dari WhatsApp Stories, bisa berkembang pakai IG Stories. Seiring perkembangan zaman digital, kamu bisa mulai belajar memanfaatkan toko online semacam Tokopedia atau Bukalapak. Atau bahkan bikin toko online sendiri seiring waktu.

Namanya belajar, kan, dimulai dari apa yang kita tahu dan kuasai. Dari situ nanti bisa berkembang karena masa-masa sekarang ini yang dibutuhkan adalah niat untuk mencoba. Kalau udah kepepet kebutuhan pasti kamu bakal gerak.

Apalagi perkembangan zaman digital ini bikin ketemuan antara penjual dan pembeli makin gampang. Ujungnya itu kembali kepada ketekukan masing-masing. Jangan malu dinyinyirin. Cuma kena nyinyir ini. Nggak bikin miskin, kan. Nganggur dan nggak niat mencoba itu yang bikin kamu miskin.

BACA JUGA Dana Darurat Juga Harus Direncanakan, Bukan Hanya Resepsimu yang Tinggal Kenangan Itu atau saran keuangan lainnya di saat pandemi corona di rubrik CELENGAN.

Exit mobile version