MOJOK.CO – Bagaimana asal-muasal istilah pulang ke Jawa yang sebenarnya salah kaprah itu?
Perkara mudik dan arus balik tak melulu soal kemacetan panjang dan tiket kendaraan yang keburu habis terjual. Dalam masa-masa sebelum mudik, misalnya, kita-kita—khususnya yang berkampung halaman di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jogja—harus siap sedia menerima pertanyaan aneh berikut ini, bahkan sejak hari-hari terakhir Ramadan tiba:
“Mau pulang ke Jawa, ya?”
Sekilas rasanya normal, lalu apanya yang aneh?
Ya gimana, wong istilah pulang ke Jawa ini dilontarkan dalam percakapan dua orang yang sama-sama menginjakkan kaki di Pulau Jawa!
[!!!!!!!!!!!!11!!!11!]
Pengalaman ini saya rasakan sendiri saat menempuh studi di Jatinangor, Jawa Barat. Alih-alih bertanya, “Kamu mudik ke Cilacap?”, teman-teman saya berujar, “Kamu mudik ke Jawa?”. Kala itu, saya masih menghadapi culture shock dengan budaya Sunda yang kental sehingga pertanyaan ini saya tanggapi secara kaku, “Lah, bukannya kita emang sama-sama di Jawa, ya?”
Seakan tak mau kalah, teman saya membalas, “Ya beda, atuh. Kamu pulang ke Jawa, aku balik ke Sukabumi.”
Sebelum saya mau protes lagi—“Helllooow, Sukabumi juga ada di Jawa, keleus!”—teman saya yang lain datang dan mengingatkan kami soal laporan akhir praktikum yang harus dikumpulkan siang itu. Alhasil, kami pun langsung mingkem dan ngebut mengerjakan laporan.
Akan tetapi, terlepas dari tugas perkuliahan yang kadang menggunung seenaknya itu, istilah mudik ke Jawa atau pulang ke Jawa memang telah mendarah daging, terutama bagi mereka-mereka yang tinggal di Jakarta dan Jawa Barat. Meskipun sama-sama berada di Pulau Jawa, istilah ini tetap saja muncul.
Hmmm, kenapa bisa begitu?
Alasan Sejarah
Duluuuuu sekali, Pulau Jawa memiliki dua wilayah kekuasaan besar, yaitu tanah Jawa dan Pasundan. Secara sederhana, kisah ini bisa dirunut dari masa-masa kejayaan kerajaan Majapahit. Kala itu, wilayah yang belum bisa ditaklukkan Majapahit adalah Pasundan—cikal bakal tanah Sunda saat ini.
Alih-alih melalui perang, tanah Jawa dan Pasundan sempat akan bersatu melalui rencana pernikahan Hayam Wuruk, sang Raja Majapahit, dan Dyah Pitaloka yang merupakan putri Pasundan. Sayangnya, rencana ini hanya tinggal rencana karena rombongan kerajaan Pasundan justru tewas dalam Perang Bubat.
Kisah Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka ini menjadi simbol betapa Jawa dan Sunda merupakan dua wilayah yang berbeda, meski berada di satu pulau yang sama. Hanya saja, kebetulan, nama pulau tempat kedua daerah ini berada sama dengan nama salah satu daerah tersebut.
Gitu, loh.
Alasan (Kesenjangan) Sosial
Selain perbedaan suku atau daerah bekas kerajaan tertentu, istilah pulang ke Jawa ini bisa saja muncul atas dasar alasan sosial. Daerah-daerah yang terbilang lebih ndeso dan tidak memiliki fasilitas sekelas kota besar dianggap sebagai daerah yang terlalu “Jawa” jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang sebenarnya juga berada di Pulau Jawa.
Pusing, ya? Sama.
Saya juga pernah merasakan hal ini, lagi-lagi saat berkuliah di Jatinangor. Karena suatu sebab, selama beberapa hari saya harus pulang ke Cilacap. Eh, ndilalah, dosen saya mengumumkan bahwa kuis online akan dilaksanakan hari itu juga. Sontak, saya segera mencari spot yang tepat agar sinyal internet bisa maksimal.
Sayangnya, dalam kuis online ini, saya harus jadi orang yang sangaaaat sabar demi menghadapi koneksi internet dari provider yang sedang lambat. Hal ini sebenarnya juga saya rasakan saat berada di Jatinangor, tapi teman saya di kampus memilih tetap mengirimkan pesan ini: “Sabar, ya. Sinyal di Jawa emang putus-putus gitu, ya?”
Yha~
Bukan hanya dalam bentuk pertanyaan, istilah pulang ke Jawa muncul pula dalam bentuk pernyataan, khususnya oleh mereka yang sudah terbiasa tinggal di Jakarta atau bagian barat pulau Jawa. Berdasarkan kedua alasan di atas, tentu kita bisa memahami hal ini terjadi. Tapi, please deh, masa iya salah kaprah ini mau diteruskan lagi dan lagi?
Ketahuilah, bertanya (atau berkata), “Pulang ke Jawa,” selagi kita cuma berada di Jakarta, Bandung, dan sekitarnya, sungguh terdengar lucu dan aneh. Situ ikut pelajaran Geografi juga, kan, waktu sekolah?
Mendingan, kalau mau bilang kayak gitu itu, sampeyan terbang dululah sekalian ke Planet Mars, biar wangun.