MOJOK.CO – Patut kita akui, lidah Indonesia jauh lebih fleksibel berbahasa asing. Bukan hanya bahasa Inggris—bahasa asing lainnya pun bisa kita lahap. Kenapa, ya?
Di kelas Pronunciation semasa kuliah, dosen saya pernah berkata mengenai bagaimana orang Indonesia berbicara bahasa Inggris dengan lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Beliau pernah tergabung dalam forum internasional dan menyadari bahwa beberapa negara tak bisa melepaskan aksennya sehingga membuat bahasa Inggris mereka tak semulus rencana jadianmu dengan gebetan.
“Orang Singapura, misalnya. Mereka sering menambahkan ‘lah’ dalam bahasa Inggris—sesuatu yang kita kenal dengan nama Singlish,” tambah si Dosen. Saya mengangguk-angguk. Benar juga: di Indonesia, tidak ada orang berbicara bahasa Inggris serupa Singlish.
Masyarakat Singapura berbahasa nasional bahasa Inggris. Pun demikian dengan Filipina yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa keduanya. Namun, keduanya masih menggunakan aksen. Kalau kita bergeser ke Asia Timur sekalipun, kita bisa melihat contoh yang lebih jelas mengenai aksen ini melalui cara para Oppa dan Unnie berbicara bahasa Inggris di Korea Selatan dan juga orang-orang yang berada di negara tetangganya, Jepang.
Usut punya usut, hal ini dipengaruhi dengan cara bahasa Inggris diajarkan selama bertahun-tahun di sana. Selain diajarkan dengan huruf asli di negara tersebut—huruf Korea dan Jepang—kebanyakan murid menghabiskan waktu hanya untuk mengingat daftar kata dan memeriksa grammar. Kemampuan praktis tidak terlalu ditekankan sehingga tidak banyak orang terdorong untuk berbicara bahasa Inggris.
Apakah lidah Indonesia yang fleksibel ini berarti bahwa orang Indonesia seluruhnya pasti bisa berbahasa Inggris tanpa aksen lokal sama sekali?
Jawabannya: tidak semua.
Proses pembentukan lidah dengan aksen ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Pada titik tertentu, ia mungkin tak lagi bisa dilenturkan, seperti saya yang tanpa sadar berbicara bahasa Indonesia dengan sentuhan aksen ngapak Banyumasan pada huruf-huruf tertentu.
Yah, namanya juga sudah terbiasa. Situ juga kalau sudah terbiasa sama seseorang, pasti bakal sulit melupakannya, kan??? :(((
Lepas dari beberapa aksen lokal yang memang menghantui, saya rasa tetaplah patut kita akui bahwa lidah Indonesia jauh lebih fleksibel berbahasa asing. Bukan hanya bahasa Inggris—bahasa asing lainnya pun bisa kita lahap: bahasa Prancis, Jerman, hingga Arab. Padahal, kalau kita perhatikan, bule-bule di TV aja kalau ngomong bahasa Indonesia suka nggak mulus gitu! Kenapa, ya?
Padahal, kalau dipikir-pikir, kita-kita ini—orang Indonesia—nggak beruntung-beruntung amat saat harus belajar bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Pasalnya, dalam bahasa Indonesia sendiri, kita tidak mengenal konsep grammar seperti di bahasa asing lainnya.
[!!!!!!!!!11!!!!1!!]
Ya, kan? Ya, kan? YA, KAN??? Maksud saya, mana ada di bahasa Indonesia kita mengenal hukum tenses, plural, bahkan kata-kata maskulin dan feminim??? Kita hanya bicara “satu apel” dan “dua apel”, padahal di bahasa Inggris ditulis sebagai “an apple” dan “two apples”. Kita juga hanya menyebutkan “hari Senin” dan “menara”, padahal dalam bahasa Prancis mereka ditulis sebagai “le lundi” dan “la tour”. Ribet!
Namun begitu, harus diingat bahwa kita (hah, ki—IYA KITA!) tetap dinilai cukup baik dalam menggunakan bahasa. Banyak di antara orang Indonesia setidaknya mampu berbicara dua bahasa: bahasa Indonesia dan satu bahasa lokal, seperti bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Bahkan, sebuah penelitian menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk paling banyak yang mampu berbicara tiga bahasa (bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa lokal Jawa).
Bukti lain, komunitas poliglot (pembicara banyak bahasa) pun ber-flower, eh berkembang baik di Indonesia. Dalam komunitas daring, ia telah merangkul lebih dari 10.000 member—sebuah jumlah yang fantastis seandainya ini adalah bisnis MLM. Hehe.
Dari sisi bahasa, adanya konsonan letup alias konsonan plosif di bahasa Indonesia (bunyi /k/, /g/, /c/, /j/, /t/, /d/, /p/, dan /b/) membuat kita jauh lebih mudah beradaptasi dengan bahasa asing dalam proses pembelajaran. Hal inilah, Saudara-saudara, yang tak banyak ditemui di negara lainnya dan menjadikan lidah Indonesia jauh lebih fleksibel jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Sebagai perbandingan, dilansir dari Russia Beyond, masyarakat Rusia ternyata mengalami kesulitan berbahasa Inggris. Melalui penelitian, masalah ini timbul karena adanya bunyi huruf yang berbeda antara kedua bahasa. Salah satu problem yang paling sering muncul adalah pencampuradukkan bunyi “s” dan “th” saat orang Rusia berbicara bahasa Inggris.
Disebutkan, dalam masa-masa pembelajaran bahasa Inggris di Rusia, murid-murid mempelajari alfabet bahasa Inggris. Namun, bunyi-bunyi yang diminta nyatanya tidak pernah dilakukan di Rusia sehingga bunyi yang dihasilkan justru berbeda.
Lalu, bagaimana cara masyarakat Rusia menyiasati hal ini?
Yaaah, tak jarang, anak-anak di Rusia melakukan hal yang juga sering lidah Indonesia kita lakukan: menjadikan kata-kata bahasa Rusia terdengar seperti bahasa Inggris, persis kayak Cinta Laura ngomong, “Nggyak adya ojyek, becyek….”
Andalan!