Gaya Bahasa Komentator Sepak Bola yang Mengundang Tawa

MOJOK.CO – Gaya bahasa komentator sepak bola yang dulu identik dengan suasana formal dan informatif kini bergeser menjadi ajang lucu-lucuan. Kok bisa, ya?

Apa tugas komentator sepak bola dalam sebuah pertandingan? Orang yang wajib mengikuti jalannya pertandingan ini ternyata punya satu pekerjaan penting: mentransfer energi dan ketegangan pemain kepada para penonton.

Dulu, nama-nama komentator senior, misalnya Oland Fatah dan Tris Irawan, dikenal luas di Indonesia. Sebelumnya, ada pula nama Sambas Mangundikarta yang jago membangkitkan jiwa nasionalisme. Tak jarang, ia menyebut, “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air…” untuk menyapa penonton—yang konon kemudian diadaptasi oleh komentator zaman kini…

Valentino ‘Jebret’ Simanjuntak.

Nah, itu dia—akhirnya nama itu muncul juga!!!

Ya, setelah tren “Ahay” yang dipopulerkan oleh komentator Hadi Gunawan, Valentino masuk ke dalam barisan komentator Indonesia yang hobi meracik istilah dan jargon unik.

Nah, titik inilah yang kemudian menjadi daya tarik dari para komentator.

Gaya Bahasa Komentator Sepak Bola: Makin Lucu, Makin Menarik

Bukan hanya intonasi suara, cara mereka berbicara dan istilah yang mereka gunakan pun menjadi sorotan tajam. Beberapa ahli linguistik bahkan telah memulai penelitian gaya bahasa komentator sejak zaman dulu kala.

Apalagi, melejitnya komentator “lucu” di Indonesia datang dengan dua sisi sekaligus: senang dan sebal. Senang, karena sepak bola jadi jauuuuh lebih menyegarkan, lalu sebal karena bahasa si komentator “lucu” tadi memang terkesan sembarangan saja.

Ya gimana lagi: ha wong mau bilang “Sayang sekali (tidak gol)…” aja diganti seenaknya dengan teriakan “IIIIH IIIIH IIIHHH YA AMPUUUUNNNN!!!” yang memekakkan telinga!

“Memblejeti” Ragam Bahasa Unik Komentator Sepak Bola

Eh, tunggu dulu. Meski terkesan konyol dan mengada-ada, bahasa komentator yang seolah mirip dengan bahasa Vickynisasi ini ternyata mengandung sejuta makna terpendam. Bukan hanya majas, mereka juga mengajarkan pentingnya riset dan ilmu bahasa melalui celetukan-celetukan spontan selama 90 menit pertandingan.

Berikut adalah beberapa contoh ragam bahasa yang berhasil kami himpun, beserta maknanya:

1) “Peluang rendang! Peluang yang memang empuk, peluang yang memang enak!”

Unik, bukan? Kok bisa-bisanya doi kepikiran menyebut “peluang rendang” untuk menggambarkan sebuah peluang emas yang didapat pemain saat pertandingan??? Ini ceritanya lagi laper apa gimana???

Di balik keunikannya, perbandingan yang dilakukan secara langsung antara kata “peluang” dan “rendang” ini mengingatkan kita pada hukum majas metafora. Majas serupa muncul pula pada beberapa kata lainnya, seperti “peluang 24 karat” (peluang emas), “tendangan LDR” (tendangan jarak jauh), dan “gerakan 378” (gerakan mengecoh lawan—diibaratkan dengan Pasal 378 KUHP).

2) “Suami muda membawa bola…”

Dalam sebuah pertandingan, ada komentator yang berkali-kali menyebut nama “Suami Muda” meski tak ada pemain dengan nama demikian. Usut punya usut, nama ini merujuk pada seorang pemain Filipina bernama belakang Younghusband, yaitu Phil Younghusband.

Penyebutan “Suami Muda” ini mengundang kontroversi. Pasalnya, meski dianggap lucu, hal ini juga dianggap kurang etis karena komentator “mengusik” nama asli seseorang. Padahal, mungkin saja, ia tengah mengajarkan pada kita bahwa…

…tindakan xenoglosofilia tidaklah diperlukan!!!

FYI, xenoglosofilia sendiri menggambarkan sikap yang menganggap bahasa asing jauh lebih keren. Yah, kalau bisa pakai bahasa Indonesia, kenapa harus keminggris?

3) “Membuat prahara di rumah tangga lawan…”

Beberapa penonton mungkin akan mengira dirinya tengah menonton acara gosip saat mendengar kalimat ini, tapi sebenarnya si komentator sepak bola dengan cerdik tengah mengaplikasikan majas simbolik—perbandingan yang langsung dibandingkan dengan benda tersendiri.

Ya, kata “rumah tangga” di sini muncul sebagai pengganti kata “pertahanan”. Dengan cara ini, mungkin ia bermaksud menggambarkan bahwa pertahanan tim dalam sepak bola itu perlu dijaga, persis sebagaimana rumah tangga antara suami dan istri. Eaaa~

4) “Rafli sang Santri!!!”

Rafli Mursalim adalah pemain yang sempat menjadi top scorer dalam Liga Santri 2016. Siapa sangka, informasi ini ditelaah dalam-dalam oleh si komentator sepak bola, hingga memunculkan julukan baru bagi Rafli, yaitu “sang Santri”.

Penamaan diri ini merupakan wujud dari majas lainnya, yaitu antonomasia. Dengan cara yang sama, muncul pula julukan lainnya, seperti “Egi Messi Kelok 9”.

5) “Ya ampun! Baby shark, syalalalalala! Baby shark, syalalalalala! Indonesia! Indonesia! Indonesia!”

Dalam penggunaan bahasa, repetisi berfungsi untuk menegaskan suatu hal yang dianggap penting. Pada ungkapan di atas, kata “Indonesia” diulang tiga kali, merujuk pada keberhasilan tim Indonesia untuk mencetak gol gemilang.

Penggunaan frasa “Baby shark” dua kali yang masing-masing diikuti rima “la-la-la” itu pun merupakan repetisi—menggambarkan kegembiraan yang sangat besar dari komentator menyaksikan bola menembus gawang lawan, yang bagaikan sebuah jaring ditembus oleh hiu di lautan.

Yah, kayaknya sih gitu maksudnya.

Komentator Sepak Bola Lucu, Hanya di Indonesia?

Bahasa komentator yang aneh dan kadang hanya bisa direspons dengan tawa (atau minimal dengan pundak yang goyang-goyang saking geget-nya) ini ternyata tak hanya muncul di Indonesia. Jangan khawatir, bule-bule di luar sana pun mengalami hal yang sama dengan kita: nonton sepak bola sambil ketawa-ketawa bego.

Dilansir dari Football Tribe, komentator di Spanyol menciptakan istilah “pintalo de amarillo” yang berarti “dia dicat berwarna kuning” setiap kali seorang pemain menerima kartu kuning.

Tak hanya itu, mereka juga akan menyebutkan seruan, “¡Viva la madre que me parió!”, yang maknanya adalah “Terima kasih pada ibu yang telah melahirkan saya!” setiap kali terjadi gol.

Ya, mereka sedang bersyukur karena telah lahir di dunia ini sehingga bisa menikmati serunya pertandingan sepak bola.

Sungguh a whole new level yang lahir dari bahasa komentator sepak bola. Salut!

Exit mobile version