Surat kepada Buni Yani

Selamat, Bung! Semoga surat ini menemui Bung dalam keadaan yang baik.

Sa menulis surat ini karena beberapa kali nama Bung muncul di lini masa sa punya Facebook. Entah mengapa. Padahal kita tidak berteman. Sa juga tidak merasa menjadi fans Bung. Juga tidak ikut-ikutan membenci Bung. Smoga surat ini sekaligus menjadi perkenalan kita.

Apa yang sa baca sungguh mengenaskan. Hidup Bung jungkir balik setelah video yang Bung edit itu tersebar luas. Video itu menjadi ‘game changer’ dalam politik Jakarta. Bahkan politik di negeri ini. Sa tidak tahu apakah Bung sadar akan hal itu atau tidak.

Sa baca di satu koran nasional bahwa buzzer-buzzer Ahok menjadikan nasib Bung merana. “Buzzer ini sangat biadab. Memfitnah orang, menghancurkan hidup orang, tapi mereka tidak pernah puas,” ujar Bung saat jumpa pers di Cikini, Jumat kemarin.

Sa paham. Begitu kasus ini meledak, Bung kehilangan pekerjaan. Hingga kini Bung belum dapat pekerjaan lagi.

Juga studi Bung di Leiden terhenti. Memang ada sa baca bahwa pihak universitas Leiden menghentikan kerjasama dengan Bung. Yang sa dengar, Bung tra ada progress dalam kegiatan akademis.

Mungkin Bung bertanya-tanya, mengapa keputusan pihak Leiden itu datang ketika Bung tertimpa kasus ini. Sa kira itu persoalan Bung dengan pihak Leiden. Sa tra bisa campur tangan.

Sa dengar Bung jualan mug untuk menyambung hidup? Bagaimana salesnya Bung? Mudah-mudahan ada peningkatan. Apapun itu, asal membawa pemasukan Bung. Yang penting kita kerja.

Mug Buni Yani

Nah, di sini saya sebenarnya ingin bertanya, Bung. Juga memberikan sedikit saran. Itu pun kalau Bung mau menerima.

Begini. Mengapa Bung tampak sedemikian menderita? Di media, kesan saya, Bung mengembik-embik untuk dikasihani. Hidup Bung demikian menderita hingga Bung harus jualan mug untuk menyambungnya.

Mengapa, Bung?

Menurut saya, tidak harus demikian. Bung tidak seharusnya menderita. Sebaliknya, seharusnya Bung hidup sejahtera. Maafkan, kadang sa ragu kalo Bung semenderita itu.

Mungkin Bung sengaja menurunkan derajat untuk mencapai hasil lebih besar? Sa pernah baca teknik marketing seperti ini. Orang membikin dirinya terlihat miskin supaya “konsumen”-nya jatuh kasihan. Bung tahu siapa yang punya teknik marketing seperti ini? Ya, benar. Pengemis, Bung.

Tapi demi melihat wajah Bung yang memelas di berbagai media, sa yakin Bung tulus. Bung memang benar-benar miskin. Bung benar-benar dibikin menderita sama mereka yang Bung sebut sebagai “buzzer-buzzernya Ahok” itu.

Benar, Bung. Anda tidak seharusnya menderita. Bung tidak seharusnya bernasib seperti Multatuli, yang kehilangan jabatan dan penghasilan, hanya karena melakukan kritik dan protes terhadap sistem kolonial yang merugikan rakyat pribumi. Lagipula, Bung bukan Multatuli, bukan? Perjuangan Bung dengan Multatuli itu berbeda sekali.

Sekarang sa jelaskan mengapa Bung TIDAK harus menderita.

Bung, dengan hasil Pilkada DKI Jakarta seperti ini, Bung berada pada sisi yang menang. Ahok sudah kalah, Bung. Sedikitnya kekalahan itu karena andil Bung. Seandainya tidak ada video yang Bung edit itu, mustahil ada demo dengan lebih dari 7 juta peserta itu.

Mosok Bung tidak tahu efek dari video editan Bung itu? Dahsyat sekali, Bung! Kalau bom atom di Nagasaki dan Hiroshima mampu memaksa Jepang menyerah kalah, maka video editan Bung itu mampu mengubah sama sekali peta politik negeri ini. Bahkan sekarang kabarnya Presiden Jokowi pun ketar-ketir dengan hasil Pilkada Jakarta.

Bung jangan remehkan efek demo besar 212 itu. Apakah Bung tidak dengar bahwa sekarang ada Koperasi Syariah 212? Koperasi ini mentargetkan 1 juta anggota dia akhir tahun 2017. 1 juta anggota, Bung!

Juga sudah dibuka #212 Mart yang diberi embel-embel Warung Grosir Rakyat Indonesia. Benar, Bung. Banyak orang mengkapitalisasi 212.

Bung, Anda itu sudah diangkat jadi “Pahlawan Islam Medsos.” Apakah Anda tidak sadar ini adalah modal atau capital untuk Bung? Mengapa tidak Anda manfaatkan ini?

Bung tahu siapa ‘role model’ yang harus Bung jadikan kiblat? Menurut saya, Bung harus melihat Munarman. Dia tokoh yang menarik dan tahu melihat situasi. Ketika dia tahu karirnya tidak begitu bagus sebagai pembela HAM dia segera beralih. Dia akhirnya bekerja untuk Rizieq Shihab dan menjadi Panglima FPI. Karir dan keberuntungannya terus menanjak di FPI. Apakah Bung kira Munarman akan bisa seperti sekarang kalau dia masih tetap saja menjadi public defender lawyer?

Sampai tahap ini, Bung, Anda sudah sampai pada ‘point of no return.’ Anda tidak bisa kembali lagi ke kehidupan Anda yang dulu. Hapuskanlah ilusi untuk menjadi intelektual liberal itu. Anda tidak akan pernah sampai disana. Lagipula, kelompok intelektual liberal itu tidak akan pernah menghargai Anda.

Juga, lupakanlah Leiden itu. Jangan Bung kenang-kenang lagi. Itu masa lalu, Bung. Malahan menurut saya, lupakan sama sekali dunia akademis. Nanti Bung kembali kalau dunia akademis sudah sepenuhnya menjadi syariah. Tidakkah Bung lihat mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekarang rajin sekali mengkaji kekhalifahan? Harapan ada disini, Bung. Tapi untuk sementara ini intelektual-intelektual liberal itu masih berkuasa. Walaupun pengaruhnya sudah sangat berkurang.

Jadi, Bung, Anda kudu memanfaatkan kesempatan ini. Bung kudu lebih galak. Bung kudu tampil semaksimal mungkin. Lebih seringlah berdiri di sisi Rizieq Shihab. Juga mendekatlah ke orang seperti Ustad Al Khathath. Mereka-mereka ini pengaruhnya sedang pasang sekarang.

Oh ya, jangan lupa. Ada Pak Gubernur terpilih itu. Kemudian Pak Wagub yang kayanya setengah mati itu. Kemudian familinya Pak Wapres. Jangan lupa Pak Ketua Perindo itu. Oh ya, yang paling penting itu adalah keluarganya Pak Harto yang kekayaannya masih utuh itu. Pokoknya banyak yang bisa menyokong Anda.

Juga, Bung, Anda harus rajin-rajin menyerukan pengenyahan kaum kafir model saya ini. Itu penting untuk marketing Anda, Bung. Itu juga bisa jadi satu cara untuk melawan intelektual-intelektual salon yang sok omong ‘politically correct’ itu.

Orang-orang ini, Bung, memang sok. Kayak mereka saja yang paling toleran. Kalau mereka tidak bisa bertoleransi terhadap cara berpikir orang seperti Rizieq Shihab dan koleganya, bagaimana mereka bisa mengklaim diri sebagai yang paling toleran?

Pendeknya, Bung, tolaklah pendefinisian mereka atas diri Bung. Bung harus kemukakan apa yang seolah-olah jadi keyakinan (conviction) Anda. Kalau mereka bilang itu intoleran, Anda harus balas dengan bilang, “What the heck?”

Oh ya, jangan lupa Bung sitir beberapa ayat saban Bung omong. Saya lihat di banyak foto, Bung sudah berbaju gamis kemana-mana. Itu sudah bagus. Juga katok cingkrang? Sudahkan Bung pakai? Itu penting. Penampilan lahiriah itu penting. Itu bahkan jadi langkah pertama untuk mengkapitalisasi kepahlawanan Anda.

Soal mug itu. Saya kira itu langkah yang bagus. Anda sudah menjadi brand name tersendiri. Anda punya konsumen. Bung tahu kan siapa konsumen Bung? Aha! Ini yang tidak banyak orang tahu, khususnya para intelektual salon yang sok liberal itu,

Pendukung-pendukung Bung itu kebanyakan kelas menengah yang berduit!

Bung, mereka yang mendukung 212 ini bukan golongan miskin Bung! Mereka itu golongan menengah ke atas. Banyak dari mereka PNS atau keluarga militer dan polisi. Pokoknya mereka-mereka yang sudah cukup kaya tapi merasa kosong karena dulu pernah berharga dan sekarang tidak. Coba Bung bayangkan jadi PNS di jaman Orde Baru. Orang hormat sekali kan? PNS punya partai besar, punya pelindung orang super kuat (Suharto), bisa menentukan hitam putih negeri ini. Sekarang? Orang tidak takut pada PNS. Orang bisanya cuman menuntut mereka bekerja saja. Itulah sasaran marketing Anda, Bung.

Nah, Bung, kurang apa lagi? Sa senang dengan rambut perak Bung. Sayang demi kepentingan marketing, Bung harus berkopiah. Anjuran saya, sesekali Bung bukalah kopiah kalau bicara di depan media atau TV. Atau ketika memberikan ceramah. Perlihatkanlah rambut perak Bung yang bagus itu. Itu juga salah satu trade-mark Bung.

Sa kira, sudah cukup panjang lebar sa berbicara. Mudah-mudahan Bung tidak bosan membaca. Sa optimis, Bung punya masa depan cerah. Jika sistem kekhalifahan menang di negeri ini, niscaya Bung akan dikenang juga. Siapa tahu nama Bung bisa menggusur nama-nama jalan si kafir seperti Pierre Tendean, Agustinus Adi Sucipto, dan lain-lain itu.

Pokoknya saya harap Bung sukses. Maaf, saya tidak berdoa untuk Bung. Apalah arti doa seorang kafir seperti saya ini. Mubazir bukan?

Salam dari jauh untuk Bung dan keluarga juga.

Hormat saya,

-MS

Exit mobile version