MOJOK.CO – Yogyakarta menjadi daerah rawan bencana gempa bumi karena dilewati oleh sejumlah sesar aktif. Salah satunya Sesar Opak yang merupakan jalur gempa, mulai dari wilayah Kretek, Kabupaten Bantul sampai dengan Prambanan, Kabupaten Sleman.
Bantul dikhawatirkan akan kembali menjadi daerah paling rawan terdampak gempa bumi besar yang pemicunya Sesar Opak. Sebab bila berkaca pada gempa bumi besar pada 2006 silam, kabupaten tersebut paling banyak mengalami kerusakan, baik infrastruktur maupun korban akibat gempa bumi.
“Sesar opak juga dinyatakan aktif dan bersifat return periode atau periode berulang. Gempa pada 1864 dan 2006 di Bantul dapat saja terulang kembali. Sesar Opak ini secara sumber kredibel dan memicu gempa magnitudo 6,6 kemudian hasil kajian kita menunjukan aktivitas yang aktif,” papar Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono di Yogyakarta, Rabu (21/06/2023).
Jika gempa, Bantul alami kerusakan besar
Menurut Daryono, Sesar Opak sepanjang 35 Kilometer berpotensi memicu gempa magnitudo 6,6 dan membuat Bantul mengalami kerusakan jauh lebih besar dari kabupaten lain.
Hal ini terjadi karena karakteristik tanah di Bantul cenderung gembur, lunak dan berpasir laiknya agar-agar. Tanah di wilayah barat Sungai Opak berkarakteristik lunak akibat proses tektonik sebutannya Graben yaitu wilayah yang berada pada apitan bukit patahan.
Karenanya bila arus konveksi di dalam bumi terjadi dorongan secara terus menerus dari lempeng Australia maka khawatirnya akan terjadi gempa besar di Jawa.
“Apa yang terjadi di Yogyakarta ini kunci utamanya dipengaruhi tanah lunak di barat Kali Opak. Itu graben, graben itu bagian penurunan patahan skala besar. Kemudian diolah material lahar,” jelasnya.
Dari karakteristik tanah yang seperti itu, masyarakat di Kabupaten Bantul selalu merasakan guncangan gempa sekalipun pusat gempanya berada sangat jauh dari wilayah Bantul.
“Contohnya gempa 2006 itu di Nglanggeran rumah-rumah nggak rusak. Tapi malah yang di Bantul itu berguncang keras. Itu karena resonansi gelombang gempa,” jelasnya.
Pentingnya kesiapan mitigasi bencana
Berdasarkan kajian ini, peneliti menyimpulkan tingkat kerusakan gempa tidak berdasarkan kekuatan magnitudonya saja atau jarak dari pusat gempa. Namun, karakteristik tanah setempat sangat menentukan seberapa fatal gempa terjadi.
Karenanya masyarakat perlu menyiapkan mitigasi untuk menghadapi ancaman gempa bumi ini. Membangun rumah strukturnya sebaiknya berdasarkan pada bangunan tahan gempa atau terbuat dari kayu dan bambu.
“Tingkat kerusakan gempa itu tidak hanya karena magnitudonya atau jarak dari pusat gempa, tapi tanah setempat sangat menentukan,” ungkapnya.
Sementara Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD DIY Danang Samsurizal mengungkapkan, ada 16 ancaman bencana di DIY. Sembilan di antaranya merupakan bencana prioritas termasuk di dalamnya gempa bumi. Sebagai upaya pencegahan, pihaknya telah melakukan langkah pengurangan risiko akibat gempabumi.
“Tadi disampaikan kita punya potensi gempa, dari pusat gempa nasional ada potensi gempa di sesar. Kalau itu terjadi, BPBD DIY selaku lembaga pembantu Gubernur telah menyiapkan antisipasi berupa pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Alasan Kaisar Jepang Naruhito dan Permaisuri Kunjungi Jogja
Cek berita dan artikel lainnya di Google News