MOJOK.CO – Liputan tentang ditutupnya penyelidikan kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, viral usai diliput media Project Multatuli. Humas Polri sampaikan kasus bisa dibuka lagi jika ada bukti baru.
Liputan terbaru media alternatif Project Multatuli menyita perhatian netizen. Tayang Rabu (6/10), liputan itu berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”. Isinya mengisahkan seorang ibu tunggal di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang putus asa mencari keadilan untuk tiga anak perempuannya. Ketiga anak itu diperkosa oleh ayah kandung mereka sendiri, mantan suami sang ibu, ketika mereka semua masih berusia di bawah 10 tahun.
Lydia, nama samaran sang ibu yang dipakai Project Multatuli, mendapati ketiga anak perempuannya telah diperkosa lewat vagina dan anus oleh si mantan suami pada 2019 lalu. Penemuan itu membuat Lydia melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur dan Polres Luwu Timur.
Di dua instansi tersebut, bukannya mendapat keadilan, Lydia justru dikonfrontasi. Saat ia melapor misalnya, petugas Dinsos Luwu Timur yang mengaku kenal pelaku karena sama-sama PNS setempat, justru memanggil pelaku demi membuktikan apakah ketiga korban mengalami trauma. Selain itu, laporan visum oleh Polres Luwu Timur menyatakan tidak ditemukan tanda kekerasan apa pun di tubuh ketiga korban.
Hasil berbeda didapat Lydia ketika melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Makassar. Psikolog anak di lembaga ini menyimpulkan ada konsistensi cerita pada ketiga korban mengenai kekerasan seksual yang dilakukan ayah mereka.
Kasus ini sempat ditangani Polda Sulawesi Selatan, namun penyelidik juga menyatakan tak ada bukti bahwa pemerkosaan benar terjadi. Menurut Lydia, polisi menolak melihat bukti video yang ia rekam berisi bukti luka-luka di kemaluan anaknya. Alih-alih menindaklanjuti cerita korban dan ibu korban dengan mulai mencari bukti, polisi justru memeriksa keadaan jiwa Lydia.
Kasus ini kemudian ditutup pada 10 Desember 2019, hanya 63 hari setelah pelaporan pertama. Tak ada upaya menyelidikinya kembali, meski Komnas Perempuan telah merekomendasikan kepolisian agar membuka kembali kasus tersebut.
“Kalau memang hasil visum polisi bilang tidak ada ada luka dan tidak terjadi apa-apa, kenapa polisi menolak waktu saya mau kasih foto dan video ini (bukti luka di tubuh anak)? Mereka bilang simpan saja, tidak perlu itu,” kata Lydia kepada jurnalis Project Multatuli Eko Rusdianto. “Terus kenapa bisa pantat dan vagina anak saya luka sampai bengkak putih seperti kelihatan daging putih?”
Serangan siber
Liputan ini memicu serangan siber ke situs web Project Multatuli. Tayang pada Rabu sore (6/10), serangan siber mulai tampak pada malam harinya.
“6 Oktober pukul 20.00, kami mulai menyadari kalau ada aktivitas yang tidak wajar pada server. Proses perbaikan awal dilakukan dan situs sempat kembali normal. 7 Oktober sekitar pukul 07.00, aktivitas tidak wajar kembali terdeteksi. Kali ini lebih besar,” kata Pemimpin Redaksi Project Multatuli Fahri Salam kepada Mojok.
“Ada kecurigaan bahwa serangan ini dilakukan oleh orang-orang yang paling berkepentingan dalam isu ini karena laman spesifik yang memuat artikel ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Ayahnya’,” tambahnya.
Fahri bercerita, serangan tersebut berupa distributed denial of service attack (DDoS). Serangan ini dilakukan dengan mengirim spam rikues ke situs web dalam jumlah sangat besar dengan tujuan agar situs tersebut down dan tidak bisa diakses.
“Hal yang ganjil, dalam satu menit bisa 100 request dengan IP yang sama,” terang Fahri. “Antisipasinya akhirnya pakai penyaringan users beneran manusia atau robot. Buat memastikan (agar) yang robot dieksklusi dan dibakar ke neraka.”
Penyaringan itu membuat pembaca yang hendak mengakses situs projectmultatuli.org kini harus menyelesaikan captcha dulu.
Serangan siber menyerang media massa digital bukan hal baru. Pada dini hari 21 Agustus 2020, Tempo.co diretas dalam bentuk deface tampilan website, diduga karena liputan mereka tentang peran influencer mengampanyekan omnibus law RUU Cipta Kerja. Ini adalah kali keempat Tempo diserang peretas.
Di hari yang sama, media Tirto.id juga mengalami peretasan dalam bentuk lain. Sebanyak 7 artikel berita tentang Partai Demokrat, omnibus law, kejanggalan obat corona, polisi pejabat, hingga drama Korea dihapus oleh peretas.
“Sepertinya peretas ingin menghilangkan jejak sehingga artikel lain tentang drama Korea dan beberapa artikel lain turut dihapus,” ujar Pemimpin Redaksi Tirto Sapto Anggoro saat itu, dilansir Tirto.
Dua peretasan itu telah dilaporkan Tempo dan Tirto ke Polda Metro Jaya. Awal Oktober lalu, polisi mengumumkan kasus ini telah masuk tahap penyidikan, namun belum ada tersangka yang ditetapkan.
Selain serangan siber, liputan pemerkosaan Project Multatuli juga “diserang” dengan cara dicap sebagai hoaks oleh Polres Luwu Timur. Modus serupa pernah terjadi pada liputan Kompas tentang krisis oksigen di RS Sardjito Yogyakarta yang menyebabkan 63 pasien meninggal dunia, Juli 2021. Liputan ini sempat diumumkan sebagai hoaks oleh Polri, namun kemudian terbukti cap tersebut salah.
Menurut Aliansi Jurnalis Indonesia, cap hoaks oleh institusi negara kepada produk jurnalistik adalah perbuatan membungkam pers.
Dicap hoaks oleh yg punya kuasa sdh jadi risiko wartawan masa kini. Isi “klarifikasi” pun tak ada yang baru, semua sdh ada ditulis di artikel yg ditulis Eko Rusdianto. Yang bikin @projectm_org nyesek tuh kok ya seenaknya polisi sebar2 nama ibu korban? Etikamu di mana? pic.twitter.com/oAzUrQCHsX
— Evi Mariani (@evimsofian) October 6, 2021
Melawan “pembungkaman siber” lewat republikasi
Serangan ke situs web membuat redaksi Project Multatuli menawari media lain untuk menayangkan ulang liputan tersebut secara gratis, sebagai bentuk solidaritas.
Fahri mengatakan, republikasi dipraktikkan untuk semua liputan Project Multatuli, namun biasanya dilakukan secara pasif. Serangan siber membuat mereka mengumumkan tawaran republikasi tersebut di media sosial dan lewat kontak sesama media.
Sementara kami bekerja melakukan perbaikan, kami menawarkan kepada media, jurnalis, dan siapa pun yang ingin republikasi artikel ini silakan berkontak lewat surel [email protected].
Anda juga masih bisa lihat arsip laman kami di sini https://t.co/cRy9Mk2u15
— Project Multatuli (@projectm_org) October 7, 2021
“Prinsipnya sih, berita harus dibaca sebanyak-banyaknya pembaca,” kata Fahri. “Memang sejak awal (Project Multatuli menyediakan opsi) republikasi. Sebelum ada artikel ini pun begitu. Karena beritanya (pemerkosaan di Luwu Timur) viral, jadi kayak kelihatannya sekarang.”
“(Serangan siber membuat) mitigasi republikasi akhirnya dipikirkan. Kalau sebelumnya kan kita nunggu kayak monggo kalau ada yang republish. Kalau kasus ini, demi banyak yang baca, kami japri kenalan agar republish. Salah satu yang pertama Suara,” tutur Fahri.
Begitu tawaran itu diluncurkan, sejumlah media bersolidaritas menayangkan ulang liputan “Tiga Anak Saya Diperkosa…”. Beberapa di antaranya adalah Suara, VICE Indonesia, IndoPROGRESS, Tirto, Hakasasi.id, dan Tempo.
Sifat tragis liputan tersebut, ditambah serangan siber dan solidaritas antarmedia, membuat tagar #PercumaLaporPolisi masuk trending topic Twitter Indonesia kemarin (7/10). Tagar ini diambil dari nama serial liputan Project Multatuli yang di dalamnya termasuk liputan “Tiga Anak Saya Diperkosa…”.
Kepada wartawan, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono membenarkan penyelidikan kasus pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandung di Luwu Timur sudah dihentikan. Ia mengatakan, kasus itu bisa dibuka kembali jika ada bukti baru.
“Tapi (SP-3 kasus) itu tidak final, apabila memang ditemukan bukti-bukti baru maka penyidikan bisa dilakukan kembali,” ujar Rusdi, dikutip Republika.
Fahri mengatakan, mereka berharap serial #PercumaLaporPolisi bisa membuka mata polisi agar serius menangani laporan dan pengadian masyarakat.
Sungguh harapan yang mulia, mengingat masyarakat Indonesia teramat akrab dengan yang namanya lapor polisi tapi nggak ada hasil.
Saking latennya “kearifan lokal” ini, kampanye Humas Polri di Twitter tahun lalu agar masyarakat tidak ragu melaporkan tindak kejahatan ke polisi justru diserbu cerita pengalaman buruk berurusan dengan penegak hukum. Hahaha.
Kini, sembari menunggu respons nyata kepolisian, Fahri mengaku Project Multatuli masih sibuk memantau serangan siber dalam bentuk lain. Selain DDoS, rupanya juga muncul beberapa akun anonim di media sosial yang mengkonfrontasi laporan mereka. Khas buzzer anonim, cara yang dipakai ngeselin banget: mengunggah laporan hasil visum ketiga bocah korban pemerkosaan di Luwu Timur tanpa menutupi nama dan alamat mereka, sehingga sudah masuk kategori doxing.
Lho lho lho, akun anonim kok bisa dapat dokumen kepolisian yang bahkan ibu korban sendiri nggak punya? Nah, polisi siber CCIC Polri, sepertinya kalian punya tugas untuk dikerjakan.
BACA JUGA Amnesti untuk Saiful, Dosen Unsyiah Korban UU ITE dan kabar terbaru lainnya di KILAS.