MOJOK.CO – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja baru saja ditandangani Presiden Jokowi. Namun, ia justru menjadi polemik dan mendapat banyak kritik.
Sejumlah pakar hukum dan aktivis masyarakat sipil menganggap aturan tersebut inkonstitusional. Di samping prosedurnya yang menyalahi aturan, substansi dari aturan tersebut juga dianggap lebih merugikan warga negara, utamanya pekerja.
Namun, sebenarnya apa itu Perppu dan apa bedanya dengan UU biasa?
Secara definitif, Perppu dijelaskan sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden karena ada kegentingan yang memaksa. Aturan ini memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang dan dikeluarkan presiden dalam situasi darurat.
Materi muatannya pun sama dengan yang ada pada undang-undang, sehingga memiliki norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang.
Dasar hukum pembentukannya adalah Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945. Dalam Pasal 22 Ayat 2 dan 3, disebutkan bahwa Perppu yang dikeluarkan presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan tersebut harus dicabut.
Syarat ditetapkannya Perppu
Melansir laman Hukumonline, frasa “kegentingan” menjadi alasan mengapa sebuah Perppu diterbitkan. Namun, harus digarisbawahi bahwa “kegentingan yang memaksa” tidak bisa dimaknai sama dengan “keadaan bahaya”.
Menurut Pasal 12 UUD 1945, keadaan bahaya memang menjadi salah satu penyebab proses pembentukan undang-undang secara normal tidak bisa dilakukan. Akan tetapi, kegentingan yang memaksa presiden untuk menetapkan aturan pengganti undang-undang ini adalah persoalan lain.
Sebagaimana dijelaskan pakar hukum Jimly Asshiddiqie, kegentingan adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari penilaian presiden atau pemerintah. Meski demikian, penilaian subjektif presiden atau pemerintah harus didasarkan pada keadaan yang objektif.
Standar objektif penerbitan Perppu dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan putusan MK tersebut, ada tiga syarat yang menjadi parameter dalam menetapkan suatu keadaan yang genting, yakni:
- Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sebagai informasi, dalam kaitannya dengan Perppu Cipta Kerja, Jimly Asshidiqie menyebut bahwa peraturan tersebut melanggar prinsip negara hukum. Ia menilai, argumen “kegentingan” yang dibangun pemerintah hanyalah penggiringan opini serta tidak sesuai aturan dan konteks yang ada.
“Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Perbaikan UU [putusan mutlak dan final]. Bukan dengan Perppu, tapi dengan UU dan dengan proses pembentukan yang diperbaiki sesuai putusan MK,” ujar mantan ketua MK ini.
Tahapan pembentukan Perppu
Secara umum, materi muatan aturan ini sama dengan yang ada pada undang-undang. Artinya, antara UU Cipta Kerja yang ditolak MK dan Perppu Cipta Kerja yang baru saja disahkan, punya isi yang sama pula.
Menurut Sihombing dan Irwansyah dalam Hukum Tata Negara (2019), pembahasan Rancangan Perppu juga sama dengan Rancangan Undang-Undang. Tata cara ini sudah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014.
Adapun tahapan-tahapan pembentukan antara lain sebagai berikut:
#1 Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut sebagai Pemrakarsa;
#2 Dalam penyusunan rancangannya, menteri yang ditugaskan presiden berkoordinasi dengan menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait;
#3 Rancangan Perppu yang telah selesai disusun oleh menteri disampaikan kepada presiden untuk ditetapkan;
#4 Pemrakarsa menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Menjadi Undang-Undang setelah Perppu ditetapkan oleh presiden;
#5 Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tersebut, Pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian atau antarnonkementerian;
#6 Hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dari Rancangan Undang-Undang yang disusun panitia tersebut diserahkan menteri Pemrakarsa kepada presiden;
#7 Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang kepada DPR;
#8 Jika Rancangan Undang-Undang tersebut mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, maka akan ditetapkan menjadi Undang-Undang;
#9 Jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Rancangan Undang-Undang tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya, DPR atau presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi