MOJOK.CO – Universitas Gadjah Mada (UGM) dikabarkan bakal segera menarik uang pangkal kepada mahasiswa barunya. Kebijakan ini pun ramai ditolak karena selain dinilai menyusahkan mahasiswa, juga dianggap tidak relevan untuk diterapkan.
Baru-baru ini, tagar #UniversitasGagalMerakyat dan #NyatakanTandaBahaya trending di Twitter. Muaranya adalah Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), yang membuat gerakan menuntut transparansi penggunaan uang Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI). Mereka, diketahui juga menolak wacana penarikan uang pangkal.
Gerakan ini menyatakan, bahwa aksi di Twitter tersebut merupakan bagian dari kekecewaan mereka terhadap tuntutan pencabutan kebijakan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi 2022/2023 yang diteken Rektor UGM Ova Emilia pada 8 Juli 2022 lalu.
Melansir Tempo, protes mahasiswa terhadap penerapan uang sumbangan sendiri sebenarnya telah berlangsung pada 13 Desember 2022. Kala itu, Rektor UGM tidak hadir saat mahasiswa menemui Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni, Arie Sujito di Kantor Pusat UGM.
“Rektorat menolak tuntutan pencabutan kebijakan itu,” kata anggota Aliansi Mahasiswa UGM, Anju Gerald, dikutip Jumat (3/2/2023).
Buntut dari diabaikannya aspirasi itu adalah penolakan wacana penarikan uang pangkal yang muncul dari audiensi pada 17 Januari 2023. Pada pertemuan kedua ini, rektor UGM datang dan menyatakan akan memberlakukan penarikan uang pangkal, seperti yang diterapkan sejumlah kampus lainnya.
Aliansi kecewa, mengingat sejak awal pejabat rektorat tidak transparan ihwal penggunaan duit sumbangan dari mahasiswa melalui jalur mandiri. Mereka mempertanyakan aliran dana hasil sumbangan lewat jalur mandiri tersebut.
“Sistem pelaporan keuangan terpusat. Duitnya mengalir ke mana? Enggak ada datanya,” pungkasnya.
Bukan lagi kampus kerakyatan
Sementara itu, Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor, juga menyatakan penolakannya atas wacana tersebut. Bahkan, kata Gielbran, penolakan ini sudah dimulai sejak diterapkannya SSPI.
Menurutnya, meski sumbangan bersifat tidak wajib, mahasiswa khawatir SSPI ini akan berubah menjadi Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA), atau uang pangkal yang sifatnya wajib.
Lebih lanjut, UGM pun sebenarnya juga tak memiliki alasan yang mendesak dalam menerapkan uang pangkal ini. Kata Gielbran, berdasarkan data Direktorat Keuangan UGM yang mereka himpun, kondisi keuangan kampus mereka sejak 2017 hingga 2021 surplus.
“Sehingga faktor keuangan tidak dapat menjadi alasan bagi UGM,” jelasnya kepada Harian Jogja, dikutip Jumat (3/2/2023).
Ia pun menyebut, penerapan uang pangkal menjadi pertanda UGM tidak lagi menjadi kampus kerakyatan. Kampus kerakyatan, menurut dia, idealnya hadir dengan semangat mencerdaskan generasi bangsa tanpa membebankan ekonomi mahasiswa.
“Namun, UGM justru lebih memilih berencana menerapkan uang pangkal dan melepas jati dirinya sebagai kampus kerakyatan,” tegasnya.
Kebijakan yang tidak relevan
Wacana penerapan uang pangkal juga dikritik sejumlah pakar. Peneliti Pusat Studi Pendidikan Tinggi Panji Mulkillah Ahmad, misalnya, yang menilai kebijakan itu sebenarnya tidak relevan untuk diterapkan.
Penulis buku Kuliah Kok Mahal? (2018) ini menjelaskan, kebijakan terkait uang pangkal telah diatur dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, bernama “Iuran Pengembangan Institusi”. Dalam aturan ini, mahasiswa kurang mampu tidak boleh dipungut uang pangkal.
“Tapi siapa yang menetapkan mahasiswa mana yang tidak mampu? Kampus. Dan indikatornya belum tentu tepat, sehingga bisa berpotensi salah sasaran,” kata Panji, diikutip dari IDN Times, Jumat (3/2/2023)
Panji juga menilai, uang pangkal seharusnya tidak diberlakukan saat berlaku sistem uang kuliah tunggal (UKT). Jika uang pangkal muncul lagi, menurutnya, sama saja mahasiswa bayar uang pangkal dua kali, karena di dalam UKT itu sesungguhnya secara historis sudah ada uang pangkal.
“Huruf ‘T’ pada UKT adalah ‘Tunggal’, maka seharusnya tidak ada pungutan lagi di luar UKT. Menurut sejarahnya sendiri, UKT itu menyatukan uang pangkal, SPP, dan lain-lain,” ungkapnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi