MOJOK.CO – Kristen Muhammadiyah alias KrisMuha muncul di daerah-daerah 3 T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal). Istilah ini merujuk pada orang-orang Kristen yang menjadi simpatisan Muhammadiyah.
Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ulhaq memperkenalkan istilah Kristen Muhammadiyah berdasar penelitian yang keduanya lakukan di daerah 3T. Daerah yang tersebut adalah Ende (Nusa tenggara Timur), Serui (Papua), dan Putussibau (Kalimantan Barat). Penelitian itu kemudian tertuang dalam buku berjudul “Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan”.
Pendorong kemunculan KrisMuha adalah interaksi yang intens antara siswa-siswa Muslim dan Kristen dalam lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Interaksi itu tidak menghilangkan identitas sebagai penganut agama Kristen yang taat.
Sejak 2009
Sebenarnya penelitian itu sudah terbit dalam bentuk buku sejak 2009. Tapi antusiasme pembaca masih tinggi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang turut tertarik dengan buku ini dan menggelar acara bedah buku. Bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, acara bedah buku terselenggara di Kantor Kemendikbud Ristek, Senin (22/05/2023)
“Inilah kontribusi Muhammadiyah dalam membangun generasi Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan terbiasa hidup bersama dalam perbedaan,” ucap Fajar dalam kesempatan tersebut, mengutip dari laman resmi Muhammadiyah.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan, buku yang sudah hadir pada 2009 itu memuat data-data yang kurang detail. Namun untuk kali ini, buku yang menggandeng Penerbit Buku Kompas (Kompas Gramedia) itu telah mengalami penyempurnaan yang komprehensif.
“Terutama pada bagian bab dua dalam buku ini tentang akar pluralisme dalam pendidikan Muhammadiyah di tingkat akar rumput,” kata Mu`ti jelas dia dalam kesempatan yang sama.
Toleransi, cita-cita pendidikan Indonesia
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim turut mengapresiasi keberadaan buku tersebut. Ia melihat buku itu sebagai bentuk keterlibatan publik dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang mencintai keberagaman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.
“Gagasan toleransi yang dihadirkan dalam buku ini sejalan dengan cita-cita kami di Kemendikbud Ristek untuk menghapus kekerasan dari dunia pendidikan Indonesia. Sejak tiga tahun lalu, kami telah menjadikan intoleransi sebagai salah satu bentuk kekerasan yang wajib dicegah dan ditangani, di samping perundungan dan kekerasan seksual,” tutur dia dalam kesempatan yang sama.
Ia menambahkan, kemerdekaan dalam belajar hanya bisa terwujud apabila sekolah dan kampus menjadi ruang aman yang mampu melindungi semua warganya, terlepas dari latar belakang identitas agama, suku, atau status sosial. Oleh karena itu, Kemendikbud Ristek terus memprioritaskan gerakan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan melalui berbagai inisiatif.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi