Eks Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Angkie Yudistia, membeberkan tiga ciri pemimpin inklusif yang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini. Angkie menyampaikan hal ini dalam acara Tanoto Scholars Gathering 2025 di Pangkalan Kerinci, Riau, Kamis (24/7/2025).
Sebagai penyandang disabilitas tuli, Angkie memiliki pengalaman pribadi yang kuat terkait minimnya literasi inklusivitas di masa lalu, bahkan sulitnya mendapatkan pekerjaan meski telah menempuh pendidikan tinggi.
Pengalamannya ini mendorongnya mendirikan Thisable Enterprise pada tahun 2011, sebuah perusahaan yang melatih dan menyalurkan penyandang disabilitas untuk bekerja.

Menurut Angkie, pemimpin inklusif sangat dibutuhkan saat ini karena masyarakat memerlukan sosok yang proaktif, jauh lebih empati, dan mampu memberikan dampak nyata.
“Pemimpin tidak hanya sebagai posisi atau jabatan, tapi bagaimana seorang pemimpin itu bisa berdampak kepada masyarakat,” ucap Angkie.
Tiga Ciri Pemimpin Inklusif menurut Angkie Yudistia
Angkie Yudistia menjelaskan, ciri pertama seorang pemimpin inklusif adalah memiliki kesadaran diri yang tinggi terhadap diri dan lingkungan sekitar. Menurutnya, seorang pemimpin harus peka terhadap masalah yang ada di sekelilingnya.
“Kalau kita enggak peka, kita enggak tahu apa yang terjadi di sekitar kita,” tegas Angkie.
Ciri kedua adalah memiliki empati dan mendengarkan secara aktif dari perspektif pengambil keputusan. Angkie menekankan bahwa suara masyarakat, meski kadang kecil dan sulit dimengerti, adalah tugas pemimpin untuk mencarinya. Ia mengingatkan, mendengarkan tidak hanya dengan telinga, tetapi juga dengan mata untuk memahami apa kebutuhan dan keinginan rakyat.
“Tugas pemimpin itu adalah mencari tahu dia maunya apa,” ujarnya, seraya menambahkan pentingnya untuk tidak menutup telinga atau mata terhadap masalah yang banyak terjadi di sekitar.

Terakhir, pemimpin inklusif harus berkomitmen pada kesetaraan dan pemberdayaan. Angkie mengakui bahwa diskriminasi masih terjadi, namun seorang pemimpin wajib memastikan bahwa semua rakyat setara. Ia mencontohkan, perempuan, laki-laki, semuanya setara.
“Bukan berarti kita sebagai seorang perempuan, ketika nanti kita menikah terus kita di rumah aja, enggak. Perempuan harus mandiri,” ucap ibu dua anak itu.
Tanoto Scholars Gathering 2025: Mencetak Pemimpin Berdampak
Pemaparan Angkie Yudistia ini merupakan bagian dari Tanoto Scholars Gathering (TSG) 2025. Forum tahunan ini mempertemukan para penerima Tanoto Scholars dari angkatan yang sama dari seluruh Indonesia untuk saling belajar, membangun jejaring, dan memperkuat kapasitas kepemimpinan mereka.
Sebanyak 291 Tanoto Scholars hadir dalam kegiatan yang berlangsung pada 24–26 Juli 2025 ini.
Mengusung tema “Learn & Lead: Becoming the Champion of Good” (Belajar dan Memimpin: Menjadi Teladan Kebaikan), TSG 2025 mengajak para Tanoto Scholars untuk meneladani kepemimpinan berdampak dan berbasis keberlanjutan.
Rangkaian kegiatan TSG dikemas dengan pembelajaran langsung dari praktik keberlanjutan, termasuk kunjungan industri ke unit bisnis grup RGE, serta sesi inspiratif dari berbagai pembicara ternama seperti petinggi pemerintahan, akademisi, hingga public figure.
Selain itu, para peserta juga mendapatkan experiential leadership workshop yang mengasah keterampilan kerja tim dan pemecahan masalah, bertujuan untuk membentuk mereka menjadi pemimpin yang siap memberikan dampak positif.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Masa Kuliah adalah “Golden Time” untuk Membentuk Pemimpin Berdampak, Pelajaran dari Pangkalan Kerinci Riau atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












