Pameran PAYAU Iwan Yusuf di EDSU Jogja: Sebuah Ambang yang Menantang Persepsi

Pameran PAYAU Iwan Yusuf. (Edsu House Jogja)

EDSU house mempersembahkan PAYAU, pameran tunggal terbaru dari perupa Iwan Yusuf. Pameran ini berlangsung pada 21 November 2025 hingga 1 Februari 2026 di ruang galeri EDSU house, Jl. Kaliurang, Sleman.

Pameran ini menandai fase baru dalam dua dekade perjalanan artistik Iwan, menghadirkan eksplorasi terkininya dengan medium jaring pukat harimau bekas yang ia olah menjadi instalasi site-specific di dalam ruang galeri.

PAYAU menjadi titik kulminasi dari dua puluh tahun eksplorasi Iwan, dari lukisan hiper-realis, patung, hingga land art, yang akhirnya bermuara pada bahasa visual berbasis jaring yang ia kembangkan hari ini.

Pameran PAYAU Iwan Yusuf MOJOK.CO
Pameran PAYAU Iwan Yusuf.

Pemeran PAYAU: karya-karya dalam posisi serba-atau

Pameran ini tidak hanya mengangkat jaring sebagai objek instalasi tetapi sebagai titik peralihan dan medan tarik-menarik antara laut dan darat, antara fungsi asalnya di dunia nelayan dan posisinya yang baru di dalam ruang galeri.

Judul PAYAU merujuk pada wilayah percampuran, tempat di mana air tawar dan air asin
saling bersinggungan. Metafora ini diterjemahkan ke dalam cara Iwan memindahkan jaring dari lingkungan asalnya ke dalam ruang kubus putih milik EDSU.

Di ruang galeri, medium tersebut mengalami pergeseran makna. Jaring pukat harimau bukan lagi material fungsional, melainkan struktur visual yang menggantung antara dua dimensi dan tiga dimensi.

Pameran PAYAU Iwan Yusuf. (Edsu House Jogja)

Melalui proses yang dimulai dari gambar arang di atas kertas, lalu dirakit ulang ke dalam skala besar, Iwan mengejar ketegangan antara bidang datar dan ruang. Hasilnya adalah karya-karya yang memunculkan ilusi visual.

Dari kejauhan karyanya tampak datar dan menempel pada dinding, tetapi ketika didekati, bentuknya terasa meruang dan bergerak, menciptakan kesan ambigu antara gambar dan instalasi. Seperti rasa payau itu sendiri, karya-karya ini berada dalam posisi serba-atau, tidak sepenuhnya lukisan, tapi juga tidak sepenuhnya objek.

Pameran PAYAU: Respons situasi seni kontemporer

PAYAU juga merespons situasi seni kontemporer yang kerap bergerak di dua kutub ekstrem. Seni lukis yang “tawar”, terlalu rapi, estetis, dan aman, dan instalasi yang “asin”, yaitu cenderung teatrikal dan mendominasi ruang.

Dalam pameran ini, Iwan justru memilih wilayah percampuran di antara keduanya. Sebuah ambang yang menantang persepsi, mengundang penonton untuk mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang mereka lihat.

Pameran PAYAU Iwan Yusuf. (Edsu House Jogja)

Dalam PAYAU, pengalaman penonton menjadi pusat. Karya-karya Iwan tidak hanya dilihat, tetapi dihadapi, seolah bergerak, menekuk, mendekat, atau menjauh. PAYAU menghadirkan ruang pengamatan baru yang membuat jaring-jaring Iwan terlihat hampir seperti objek fisik, menawarkan pengalaman visual yang berdiri di antara gambar dan instalasi.

Iwan Yusuf-EDSU: Pesisir-pengaburan batas

Iwan Yusuf (seniman kelahiran 1982, Gorontalo) dikenal lewat karya-karyanya yang menelusuri laut. Bukan sekadar lanskap, tetapi ruang batin, tempat kenangan, mitos, dan ekologi saling berkelindan.

Berawal dari praktik lukisan hiper-realis, Iwan kini bergerak lebih jauh. Bereksperimen dengan jaring ikan, kayu, dan instalasi site-specific untuk membangun percakapan baru antara manusia dan laut.

Melalui karya seperti “Laut Halaman Rumah” di Museum Bahari dan pameran tunggal ”Tujuh Layar Menyisir Langit” di Selasar Sunaryo, Iwan menggambarkan hubungan manusia dengan laut sebagai ruang kenangan, mitos, dan refleksi ekologis.

Karyanya mengajak penonton merenungkan kesadaran akan laut sebagai bagian penting dari identitas dan kehidupan masyarakat pesisir.

Sementara EDSU House, berbasis di kawasan utara Jogja, tempat ini mengaburkan batas antara galeri dan ruang pertemuan gagasan. Nama EDSU berasal dari semangat Eat Dat Shit Up: dorongan untuk menelan, mencerna, dan mengolah berbagai kemungkinan dalam seni kontemporer.

EDSU menghadirkan program yang berfokus pada eksplorasi artistik, kolaborasi lintas disiplin, dan keterhubungan dengan publik seni yang lebih luas.***(Adv)

BACA JUGA: Merancang Pameran Seni Rupa agar Dinikmati Tunanetra, Mereka Memang Tak Melihat tapi Bisa Mendengar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version