MOJOK.CO – Indonesia merupakan pusat ibukota dari Atlantis, peradaban maju zaman kuno yang telah lama menghilang. Bahkan, ada banyak penelitian ilmiah sudah membuktikan klaim tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Dosen UIN Sunan Kalijaga Mokhamad Mahfud, yang mendapuk dirinya sebagai aktivis lintas peradaban sekaligus peneliti Atlantis. Menurut Mahfud, klaim Indonesia sebagai pusat Atlantis bukanlah isapan jempol. Banyak riset telah membuktikannya.
Ia menyontohkan, sejak tahun 1990-an saja, sudah ada banyak ‘buku babon’ yang telah mengulas soal Atlantis. Antara lain buku Geolog Brasil Arysio Santos berjudul Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2005), Eden in the East (1998) karangan Stephen Oppenheimer, hingga Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi (2013) karya Ali Akbar dan kawan-kawan.
Bahkan, pada tahun 2010 Mahfud bersama akademisi lintas disiplin ilmu juga telah melakukan penelitian. Hasil penelitian itu mereka bukukan dalam NAGA-RA: Atlantis Purba (2011), yang mereka tulis dengan pendekatan multiparadigma.
“Ada banyak penulis lintas keilmuan dalam buku ini. Mengingat untuk mencari Atlantis dan Lemurian Mojopait, kita harus mengkajinya secara sistematis dengan paradigma integrasi interkoneksi keilmuan, yakni religion (agama), science (sains), dan philosophy (filsafat),” ujar calon doktor bidang Ilmu Komunikasi itu dalam acara Kalcersok yang tayang di kanal Youtube Mojokdotco, dikutip Kamis (26/1/2023).
Atlantis terbukti secara Ilmiah?
Menurut Mahfud, Ilmu Pengetahuan dibangun atas tiga hal: mitos, bukti empiris, dan ideologi. Mitos, kata dia, pada awalnya memang sekadar cerita rekaan yang dituturkan dalam tradisi lisan. Namun, seiring dengan berkembangnya mitos, seseorang akan mulai mencari bukti-bukti ilmiah yang membangun dan menguatkan mitos tersebut, melalui Bukti Empiris. Saat sebuah bukti empiris berhasil menguatkan mitos, maka ia akan merajut mitos tersebut menjadi sebuah Ideologi.
“Pada gilirannya nanti, ideologi akan menjadi Ilmu Pengetahuan, yang bisa diterima secara akademik,” paparnya.
Kaitannya dengan Atlantis, Mahfud menyebut bahwa hal tersebut ia pakai sebagai pijakan berpikir dalam menulis bukunya. Atlantis, awalnya memang dipandang sebagai sebagai mitos, atau sekadar dibangun atas asumsi spiritual. Akan tetapi, ketika ia dan timnya mulai menemukan bukti-bukti ilmiah atas eksistensinya, Atlantis sudah menjadi ideologi.
“Maka, Atlantis pun sah menjadi Ilmu Pengetahuan yang bisa diterima secara akademis—walaupun memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerimanya,” jelas Mahfud.
Bukti-bukti ilmiah, sebagaimana dijelaskan Mahfud, bahkan pernah dipamerkan. Ia berkisah, bukti-bukti ini pernah dipamerkan dalam dua event berbeda pertengahan tahun 2020 lalu di acara International Artefact Exhibition Webinar: The Lost and Science Civilization dan Jember Fashion Carnival (JFC).
“Dipamerkan temuan teknologi masa lalu berupa pusaka-pusaka berbahan materil. Kalian bisa melihatnya [saat ini] di Museum Artefak di Jember, Wonogiri, dan Jakarta,” ujar dia.
Bahkan, untuk buku yang ia tulis, NAGA-RA: Atlantis Purba, selain ditulis oleh ilmuwan lintas keilmuan, timnya juga menggunakan teknologi terbaru dalam melakukan riset.
Buku itu ditulis dengan mencari bukti-bukti fisik dan mengkomparasi aneka mitologi yang membangun kisah Atlantis. Para peneliti pun, juga berasal dari lintas keilmuan yang beragam: geologi, arkeologi, mitologi—dan menggunakan teknologi satelit bikinan badan laboratorium Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) dan Badan Antariksa AS (NASA) untuk meneliti.
“Ini semua temuan ilmiah, hasil riset. Ini semua sudah menjadi ilmu pengetahuan, tinggal bagaimana kita legowo menerimanya,” ujarnya.
Butuh ‘kelegowoan’ para akademisi
Mahfud mengakui, bahwa hari ini masih banyak orang menganggap temuannya ini sekadar bualan. Bahkan tak jarang juga pihaknya dianggap “aneh”. Padahal, jika berbicara komunitas pegiat Atlantis, di dunia maupun Indonesia jumlahnya ada ratusan yang memaparkan bukti-bukti eksistensi Atlantis secara ilmiah.
Ia pun berharap masyarakat Indonesia, khususnya para akademisi, mau dengan “legowo” menerima bahwa temuannya tersebut merupakan produk ilmiah.
“Kuncinya, jika akademisi mau legowo, menerima temuan kita, yang sudah disertai banyak bukti ini, dengan orientasi membangun pariwisata akan membuat negara kita besar dan devisa yang masuk juga tinggi karena isu Atlantis,” paparnya.
Ia mencontohkan, ketika Spanyol mengklaim telah “menemukan” Atlantis di sepanjang wilayah garis pantai mereka, isu itu jadi booming. Wisatawan pun banyak yang berkunjung kesana dan pariwisata menjadi berkembang pesat.
Indonesia, kata Mahfud, harusnya juga bisa melakukannya. Apalagi, semua ini dilandasi sebuah riset ilmiah. Maka, ia pun berharap masyarakat dan dunia akademis mau menerima pemikirannya tersebut demi melekatkan branding pariwisata Atlantis di Indonesia.
“Bayangkan ketika mendengar Atlantis Nusantara, dalam kepala dan bawah sadar kita langsung menyebut ‘Indonesia’,” Mahfud menegaskan.
“Insya Allah, ini akan memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi