Terlahir sebagai penyandang disabilitas tuna daksa (pada kedua tangan) termasuk dalam kategori sedang, membuat ruang gerakku terbatas. Ingin berkendara sendiri? Tidak bisa. Ingin berenang, menari, atau sekadar mengikat rambut sendiri pun tak bisa.
Ingin gabung ke sirkel pertemanan? Takut nanti mereka risih dengan diri ini. Apalagi jika ada sesi foto bareng, takut jadi ngerusak foto. Soalnya mereka semua cakep-cakep. Pernah ngalamin ikut foto bareng temen-temen, malah yang ada diriku tidak di upload. Bahkan pernah di crop. Sungguh malangnya nasib ini.
Ingin kerja? Kebayakan loker syaratnya yang berpenampilan menarik dan sehat jasmani rohalus, eh! rohani maksudnya. Apalah dayaku punya fisik seperti file rusak ketika sedang di-download ketika sudah sembilan puluh persen, eh tiba-tiba signal hilang. Mungkin aku juga seperti itu, sewaktu di-download ke dunia ini signal tiba-tiba hilang.
Ucapan guru yang keterlaluan untuk disabilitas
Sedikit cerita dulu waktu SMP pernah ngalamin dapat omongan pedas yang nyelekit dari guru matematika. Jadi ceritanya gini, sebelummya aku kasih info bahwa aku masih bisa mengikuti sekolah formal dari TK sampai SMA.
Lanjut cerita, Nah waktu itu aku dapet nilai ulangan matematika nol. Itu nilai terburuk yang pernah aku dapatkan. Jujur aku memang lemah dipelajaran hitung menghitung.
Namun, waktu itu bukan hanya aku saja yang mendapatkan nilai nol besar itu melainkan ada beberapa teman-temanku juga yang mendapatkan nilai nol. Bahkan peraih juara kelas 1 sampai 3 dapet nilai tiga, empat, dan enam paling tinggi.
Semua yang nilainya nol itu dipanggil maju kedepan. Apesnya, guru itu hanya mengintimidasi dan memarahi aku saja. Beliau berkata, “Kenapa kamu bisa dapat nilai nol? Bukannya anak cacat seperti kamu biasanya pintar pintar?”
Nyes. Ucapannya sangat menusuk hati. Aku dipermalukan di depan semua teman kelasku. Memangnya standar orang cacat itu sama? Pintar akademis dan pintar ngelukis? Tidak sama sekali.
Huh! Memang susah jadi manusia langka seperti aku ini. Belum lagi berada ditempat keramaian, sudah pasti diri ini menjadi pusat perhatian. Orang-orang pada menatap manusia aneh ini yang menurutnya unik dan beda dari manusia pada umumnya. Sampai ada yang terang-terangan menatapku hingga membuat risih.
Yuk, bisa yuk, jika kalian melihat penyadang disabilitas cobalah jangan menatapnya terang-terangan, apalagi matanya sampai melotot ingin keluar. Risih tahu.
Diah Budiari Br. Telabah, Sukawati, Gianyar, Bali diahbudiari@gmail.com
BACA JUGA Menikah dan Punya Anak Sudah Ada yang Ngatur, Nggak Perlu Ditanya-tanya dan keluh kesah lagi dari pembaca Mojok di Uneg-uneg.