Berusia Lebih dari Seabad, PT Kanisius Jogja Pernah Mencetak Uang Pertama di Indonesia

Berusia Lebih dari Seabad, PT Kanisius Jogja Pernah Mencetak Uang Pertama di Indonesia MOJOK.CO

Suasana di Percetakan Kanisius saat masih di Jalan P Senopati, Yogyakarta. (Arsip PT Kanisius/Kompas.id)

MOJOK.COKanisius, penerbit dan percetakan di Yogyakarta ini punya kisah panjang di usianya yang sudah lebih dari 100 tahun. Pernah jadi tempat untuk mencetak uang pertama di Indonesia.

saat ini PT Kanisius, yang berlokasi di Jalan Cempaka Nomor 9, Deresan, Yogyakarta, punya daya tariknya tersendiri.  Selain ada percetakan dan toko buku, unit usaha ini juga membuka kafe yang cukup digemari mahasiswa dan muda-mudi untuk nongkrong.

Namun, ternyata tempat yang pernah menjadi lokasi pelaksanaan Festival Mojok 2023 ini punya sejarah yang unik. Pada masa kolonial, ia jadi tempat mencetak buku-buku misi dan doa. Sementara setelah masa kemerdekaan Indonesia, PT Kanisius mendapat amanah untuk mencetak uang pertama di Indonesia.

Awal pendirian PT Kanisius

Penyebaran agama Katolik di Yogyakarta memang makin masif pada awal abad ke-20. Guna menunjang misi tersebut, terbetiklah ide dari Pastor J. Hoeberechts untuk bikin semacam percetakan guna mencetak buku-buku maupun modul dakwah.

Maka, segeralah ia melayangkan surat pada pimpinan Bruder FIC agar membantu misi pelayanan buku dan pewartaan gereja di Jawa.

Usul itu diterima, dan pada Agustus 1921 Bruder Bellinus dikirim ke Yogyakarta untuk mem-follow up ide tadi. Di kemudian hari, Bruder Bellinus adalah perintis Percetakan Kanisius di Yogyakarta.

Akhirnya, berdirilah sebuah percetakan pada 26 Januari 1922. Saat awal berdiri, ia punya nama Canisius Drukkerij. Lokasinya kala itu berada di Jalan Panembahan Senopati, tak jauh dari titik nol kilometer, atau kini tepat di samping Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius, Kidul Loji. Dahulu, ia menempati sebuah gudang bekas pabrik besi.

Melansir laporan Kompas edisi “50 Tahun PT Kanisius” (1972), saat pertama dirintis, percetakan ini dibuat dengan “serba ketjil2an”. Bagaimana tidak, saat pertama beroperasi, Canisius Drukkerij hanya berisi tiga pegawai dengan dua mesin penunjang saja.

Barulah setahun kemudian bangunan diperluas menjadi 200 meter persegi. Jumlah karyawan bertambah jadi 20 orang. Bruder Bellinus juga mendatangkan mesin-mesin baru dari Eropa.

Jadi pencetak buku-buku misi

Akhirnya pada 1926, Canisius Drukkerij tumbuh menjadi embrio penerbit untuk memenuhi kebutuhan buku-buku misi, pelajaran agama Katolik, dan buku-buku doa. 

Pada saat itu, salah satu buku doa yang paling fenomenal adalah Padoepan Kentjana. Buku ini pertama kali terbit pada 1926, tapi masih terus cetak ulang sampai sekarang.

Percetakan ini mendukung geliat pendidikan yang berada di bawah Yayasan Kanisius, yaitu sebagai Percetakan dan Penerbitan buku pelajaran sekolah, buku-buku tulis, buku-buku administrasi untuk keperluan Misi, buku doa/sembahyang, buku nyanyian, surat kabar, bahkan majalah.

Pada 1934, saat kepemimpinan Percetakan Kanisius dipegang Bruder Baldewinus, mereka mulai menerima order dari masyarakat umum, perusahaan, hingga instansi pemerintahan. 

Bahkan kantor Kepatihan Yogyakarta yang sudah mempunyai percetakan sendiri pun terkadang mencetakkan kebutuhan administrasinya di Kanisius.

Setelah nasibnya sempat tak menentu saat masa pendudukan Jepang (1942-1945), Percetakan Kanisius kembali menemukan arah setelah kemerdekaan Indonesia.

Bahkan, pada 4 Januari 1946, saat Ibukota RI pindah ke Yogyakarta, Kanisius mendapat kepercayaan untuk mencetak mata uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Ini merupakan uang resmi pertama Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaannya.

Kisah-kisah unik saat mencetak uang Indonesia pertama

Ada banyak kisah menarik ketika PT Kanisius mulai mencetak uang pertama republik. Marshana Windhu dalam buku Bersiaplah Sewaktu-waktu Dibutuhkan: Perjalanan Karya Penerbit dan Percetakan Kanisius (1922-2002) (2003) menulis, salah satunya adalah pengawasan ketat dari pemerintah dan militer terhadap kerja-kerja karyawan penerbit.

Saat itu, militer akan memeriksa setiap karyawan yang akan masuk dan pulang kerja. Mereka harus melepas seluruh baju dan menggantinya dengan pakaian putih. Hal ini, agar para karyawan nggak ada yang “ngutil” uang kali, ya.

Selain itu, eror juga sering terjadi. Banyak uang yang salah cetak. Kesalahan cetak ini bukan terletak pada desain, melainkan lebih kepada ukuran, ketebalan, dan warna. Maklum saja, pencetakan waktu itu hanya pakai klise. Setelah pekerjaan pencetakan uang di Kanisius selesai, pemerintah mengambil alih kembali pencetakan uang.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Takom Kanisius, Tempat Nongkrong Asri di Jogja yang Padat

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version