MOJOK.CO – Wacana menjadikan wilayah Solo sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) menguat akhir-akhir ini. Isu tersebut seturut dengan rencana pemekaran wilayah di Jawa Tengah dengan pembentukan daerah otonomi baru alias DOB.
Wilayah-wilayah di Solo Raya seperti Kota Solo, Klaten, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri direncanakan akan masuk wilayah DOB bernama DIS tadi. Konsepnya kurang lebih mirip dengan DIY.
Pada 2020 lalu, isu ini sebenarnya juga sempat mencuat setelah pemerhati budaya Solo BRM Kusumo Putro mengusulkan kotanya menjadi DIS atas pertimbangan historis.
Seperti yang kita tahu, sebelum menjadi Solo yang kita kenal sekarang, wilayah ini dulunya adalah DIS, bagian “swapraja” atau daerah vorstenlanden Hindia Belanda. Namun, sejak kemerdekaan Indonesia, DIS runtuh. Barisan Banteng, jadi salah satu kelompok yang andil dalam revolusi ini.
Daerah Istimewa Surakarta di masa lalu
Sejak penandatanganan Perjanjian Giyanti (1755) yang membelah Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, wilayah yang yang disebutkan kedua ini bertransformasi menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Wilayah Surakarta, kala itu, cara memimpinnya menggunakan sistem birokrasi tradisional dengan seorang raja sebagai penguasa.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Daerah Istimewa Surakarta menjadi wilayah yang “diistimewakan”—sama seperti Yogyakarta. Ia menjadi wilayah vorstenlanden dengan mempertahankan kekuasaan raja.
Namun, hal tersebut sebenarnya cuma akal-akalan Belanda agar mereka mudah menjinakan masyarakat karena mereka patuh pada raja.
Kala itu, Daerah Istimewa Surakarta terbagi atas dua kekuasaan, yakni Kasunanan dan Mangkunegaran. Keraton Kasunanan berkuasa atas 4/5 wilayah DIS, antara lain Kota Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, dan Sragen. Sementara Mangukunegaran dapat jatah wilayah swapraja lebih kecil, yakni hanya mencakup Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno.
Gerakan anti-swapraja yang ingin pemerintahan monarki dihapuskan
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, iklim politik di Surakarta memanas. Kalau kata George D. Larson dalam bukunya, Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta (1990), salah satu penyebabnya karena masyarakat ingin pemerintahan monarki kerajaan dihapuskan.
Menurut mereka, monarki yang bercorak feodalistis hanya merupakan kepanjangan tangan dari kolonialisme itu sendiri. Dengan demikian, percuma merdeka kalau pemerintahannya masih feodal.
Sayangnya, pimpinan Kasunanan Surakarta tidak mendengarkan keinginan masyarakat. Ia kekeuh mempertahankan kedudukannya sebagai raja.
Akhirnya, Surakarta pun memanas; revolusi sosial yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin pun terjadi. Dalam buku-buku sejarah, orang kemudian mengenal revolusi sosial di Surakarta ini dengan sebutan gerakan anti-swapraja.
Barisan Banteng culik orang penting di Kasunan Surakarta
Salah satu kelompok revolusioner yang andil dalam menggulingkan DIS adalah Barisan Banteng pimpinan dr. Moewardi. Kelompok ini merupakan laskar perjuangan yang sudah terbentuk sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada Januari 1946, Barisan Banteng menculik orang-orang penting di Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono XII, Kanjeng Ratu, dan Soerjohamidjojo. Penculikan ini bermaksud untuk melemahkan posisi keraton.
Benar saja, usaha ini bikin dukungan kepada keraton kian berkurang. Paku Buwono XII pun akhirnya menyerah dan secara sukarela mengumumkan bahwa ia telah kehilangan otonomi Surakarta pada 30 April 1946
Meskipun demikian, Raja Mangkunegaran, Mangkunegara VIII, tetap ngotot mempertahankan kedudukannya. Namun, atas pertimbangan untuk menghindari pemberontakan ke lingkungan keraton, ia juga ikut menyerah.
Alhasil, berdasarkan Peraturan Presiden No. 16/SD/1946 tanggal 15 Juli 1946, pemerintah pusat menghapus status swapraja keraton dan mengintegrasikan Surakarta ke Provinsi Jawa Tengah. Begitulah kira-kira sejarah singkatnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jogja Gila Kambing: Jejak Rasa Ribuan Ton Daging yang Tak Kalah dengan Surakarta
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News