MOJOK.CO – Saat berkunjung ke kawasan Kampung Ketandan, Kota Yogyakarta, kita akan menemukan bangunan bekas kediaman Kapitan Cina, yaitu Kapitan Tan Jin Sing. Bangunan ini terletak di Jalan Ketandan Lor Nomor 9, bersebelahan dengan toko-toko emas dan berlian serta berada di seberang kantor PT Asuransi Jiwa Syariah Al Amin.
Dari luar bangunan ini nampak tidak begitu luas. Namun, ketika masuk ke dalamnya, ada banyak ruangan yang bisa kita kunjungi. Nuansa dan dekorasi khas budaya Tionghoa amat kental saat menyusuri bilik demi biliknya.Â
Melansir laman resmi Dinas Kebudayaan DIY, rumah Kapitan Tan Jin Sing adalah salah satu peninggalan sejarah di Kampung Ketandan. Bangunan ini punya sentuhan arsitektur khas Tiongkok yang dipadukan dengan budaya Jawa dan Eropa.
Rumah itu punya dua bagian, yaitu rumah induk yang berada di depan bangunan inti dan rumah bagian belakang yang memanjang dari timur ke barat. Di dalamnya juga terdapat empat ruangan yang terbagi pada sisi kanan dan kiri serta dilengkapi lorong di tengahnya. Pada bagian belakangnya, ia memiliki tiga ruangan. Sementara atap rumah ini berbentuk limasan dan rumah bagian belakang berbentuk pelana.
Sebenarnya dulu rumah Tan Jin Sing sangat luas. Bangunannya terbentang dari utara Pasar Beringharjo sampai perempatan Kampung Ketandan. Namun, kini yang tersisa hanyalah bagian belakang rumah yang merupakan rumah dagangnya.
Jejak Kapitan Cina di Yogyakarta
Sejak permulaan abad ke-17, komunitas Tionghoa telah berbondong memasuki Hindia Belanda. Mayoritas dari mereka adalah para pedagang dan hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi maupun Eropa.
Melansir Thomas B Ataladjar dalam Toko Merah (2003), terjadi peristiwa kelam pada 1740. Peristiwa ini diawali dengan perlawanan orang-orang Tionghoa atas kebijakan VOC yang berlaku saat itu. Karena VOC menganggap perlawanan orang-orang Tionghoa ini sebagai pemberontakan, mereka pun akhirnya melakukan “pembersihan”.
Peristiwa tersebut dikenal sebagai Geger Pecinan dan menewaskan lebih dari 10 ribu orang Tionghoa di Surabaya, Banyumas, Pacitan, Madiun, Malang, Surakarta, hingga Yogyakarta.
Setelah peristiwa tadi, VOC makin mengawasi gerak-gerik orang-orang Tionghoa. Alhasil, pemerintah pun menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan (passenstelsel) untuk membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel).
Pendeknya, kawasan pecinan dibentuk, termasuk di Ketandan, buat “mendisiplinkan” orang-orang Tionghoa. Masing-masing kawasan pecinan punya pimpinan oleh seorang kapitan yang bertugas mengawasi sekaligus bertanggung jawab atas kawasannya.
Pada saat itu, ada beberapa nama kapitan yang terkenal. Seperti Tjong Yong Hian yang jadi Kapitan Cina di Medan, Oey Dji San di Tangerang, hingga Khouw Kim An di Batavia. Di Yogyakarta, salah satu kapitan yang terkenal adalah Tan Jin Sing. Meski punya nama Tionghoa, ia sebenarnya adalah orang Jawa dan dapat gelar kebangsawanan dari Keraton Yogyakarta.
Rekam jejak Tan Jin Sing, sang Kapiten Cina keturunan Jawa
Sejarawan Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik, menjelaskan bahwa Tan Jin Sing lahir pada 1760. Ayahnya adalah seorang Demang Desa Kalibeber, sementara ibunya yakni RA Patrawijaya merupakan keturunan ketiga Sunan Mataram, Amangkurat Agung.
Saat masih kecil, keluarganya menitipkan Tan ke keluarga Tionghoa, The Liong, karena ayahnya meninggal dan keluarganya dalam keadaan miskin. Saat istri The Liong meninggal, RA Patrawijaya memutuskan untuk kembali merawat Tan. Ia juga menikah dengan The Liong.
Semakin dewasa, Tan tumbuh menjadi lelaki yang cerdas. Ia bisa memahami beragam bahasa mulai dari Jawa, Belanda, dan Tionghoa. Ia bahkan mendapat gelar Raden Tumenggung Secodiningrat dan dilantik menjadi Bupati Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono III pada 18 September 1813.Â
Dari penahbisan tersebut, Tan mendapat tugas dari Sultan untuk mengatur dan mengawasi keuangan Keraton Jogja. Sultan mendaulatanya sebagai Kapitan Cina di Ketandan, atau dalam bahasa keraton punya sebutan “tondo”. Tugasnya yakni menarik pajak dari pengusaha Tionghoa di Ketandan dan menyalurkannya ke keraton.
Pembuka jalan ditemukannya Candi Borobudur
Menariknya lagi, Tan Jin Sing juga merupakan sosok “pembuka jalan” bagi ditemukannya Candi Borobudur. Pada 1812, saat Gubernur Jenderal Raffles mengutarakan keinginannya untuk menemukan candi-candi kuno, Tan jadi orang yang menunjukkan keberadaan Candi Borobudur.
Tan Jin Sing bercerita kepada Raffles bahwa bertahun-tahun sebelumnya, mandornya melihat candi besar di Bumisegoro, Muntilan. Raffles kemudian memintanya, membuktikan temuan tadi. Berangkatlah Tan Jin Sing bersama sang mandor dan seorang penunjuk jalan ke Bumisegoro via kereta kuda.
Sesampainya di lokasi, benar saja ada sebuah candi besar di belakang bukit yang telah tertutup semak belukar. Tan Jin Sing pun langsung kembali dan menuliskan peta lokasi secara detail. Sisanya merupakan sejarah, setelah kejadian itu Raffles menginstruksikan bawahannya untuk menggali dan melakukan penelitian terhadap Candi Borobudur.
Nama Kapitan Tan Jing Sing atau Secodiningrat, kini abadi menjadi salah satu jalan di Yogyakarta, yaitu Jalan Secodiningratan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Jejak Opium di Yogyakarta, Dulu Pusat Penjualannya Ada di Malioboro
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News