Membedakan Warmindo Asli Kuningan dengan yang Bukan

Membedakan Warmindo Asli Kuningan dengan yang Bukan MOJOK.CO

Penjual warmindo dulu identik dengan orang-orang yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

MOJOK.CO Warmindo, akronim dari warung makan Indomie sudah jadi tempat mengganjal perut andalan kalangan mahasiswa di Jogja, Solo, Semarang, dan sekitarnya. Warung ini identik dengan penjual yang berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 

Jika melihat sejarahnya, penjual warmindo kebanyakan berasal dari Tanah Sunda, tepatnya dari Kabupaten Kuningan. Sudah sejak lama, perantau dari sana mencari rezeki lewat usaha warung makan dengan beragam menu ini.

Namun, saking berkembang pesatnya, sekarang banyak juga warmindo yang pengelolanya bukan orang Kuningan. Warungnya punya corak serupa, tapi warmindo yang pengelolanya pedagang asli Kuningan dengan yang tidak, punya beberapa ciri pembeda.

Salah satu ciri yang mudah untuk menandainya adalah dari sisi penamaan warung. Warmindo asal Sunda biasanya menggunakan nama-nama dengan kata atau frasa yang lekat dengan bahasa Sunda. Namun tidak semua pengusaha warmindo asal Kuningan, melekatkan identitas kedaerahannya lewat nama.

Saat mulai berinteraksi dengan penjual, pertanda lain akan mudah dikenali. Penanda itu datang dari logat bicara penjualnya yang kental dengan aksen Sunda. Sesekali, ketika di sedang duduk di warung-warung ini, kita juga bisa mendengar para karyawan warung yang sedang bercakap dengan bahasa Bumi Pasundan ini.

Namun, pada suatu kesempatan saat berkunjung ke sebuah warmindo di Sleman, pedagang bernama Ari (25) menjelaskan bahwa ada beberapa penanda lain yang membedakan penjual asli Kuningan dengan yang tidak. Salah satunya di cita rasa masakan.

“Selain mendengar logat bicaranya yang Sunda, bisa juga lewat cita rasa masakan. Kalau orang Sunda, khususnya Kuningan, itu cita rasanya gurih asin. Beda kalau yang dikelola orang Jawa, itu lebih manis ya,” terangnya.

Namun Ari juga mengaku, bahwa banyak pedagang dari Kuningan yang kemudian menyesuaikan cita rasa masakan dengan selera pasar. Jika di Jogja, lantaran kulinernya kebanyakan manis, maka menu sayur sampai ragam oseng di warmindo kemudian menyesuaikan.

Keberadaan menu bubur kacang hijau

Selain itu, salah hal yang bisa membuat warmindo asli Kuningan dengan yang tidak adalah keberadaan menu bubur kacang hijau. Jika ditelisik sejarah lebih jauh, mulanya bubur ini jadi menu utama yang dijual perantau Kuningan.

Sejarah perantau asal Kuningan berdagang bubur kacang hijau konon sudah berawal sejak era 40-an silam. Melansir Kompas.com, salah satu pedagang pemrakarsa usaha ini bernama Rurah Salim. Pada 1943, Rurah merantau ke Jogja dan menjual burjo dengan cara dipanggul berkeliling.

Kini, tidak banyak lagi warmindo yang menjual menu bubur kacang hijau. Warung tempat Ari juga tidak lagi menghadirkan bubur ini. Namun, di antara yang sedikit itu, hampir pasti yang masih bertahan menyediakan menu ini adalah orang Kuningan.

Warmindo Kabita di Jalan Perumnas, Sleman adalah salah satu yang masih mempertahankannya. Maman Suniman, seorang pegawai di sana, menjelaskan kalau menu ini tetap dipertahankan karena alasan historis.

“Kebanyakan sekarang sudah mulai tidak jualan karena sepi peminat. Pelanggan lebih suka nasi yang mengenyangkan,” papar Maman.

“Tapi kalau yang masih mempertahankan hampir pasti orang Kuningan,” lanjutnya.

Menurut Maman, banyak di antara generasi muda penjual warmindo yang sudah tidak begitu menguasai cara pembuatan bubur kacang hijau khas Kuningan. Bubur dengan kacang hijau dan beras hitam yang lembut berbalur santan.

Sejak masih remaja, Maman telah merantau ke berbagai kota seperti Jakarta dan Lampung. Dulu, jualan utamanya juga bubur kacang hijau. Sehingga, menu ini bisa jadi salah satu penanda otentiknya warmindo asal Kuningan.

Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mengungkap Alasan Warung Burjo dan Warmindo Kuningan Tidak Jualan Bubur Kacang Hijau Lagi 

Exit mobile version