MOJOK.CO – Generasi muda di Wonogiri mungkin tidak banyak yang tahu jika di masa lalu, angkutan umum utama di daerah mereka adalah perahu. Kini, banyak yang mengenal Wonogiri sebagai salah satu daerah yang memiliki perusahaan bus terbanyak.
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, bisa dibilang merupakan “rumah” bagi perusahaan otobus (PO) di Indonesia. Bagaimana tidak, di kota ini puluhan PO besar lahir dan berkembang. Ada yang hingga kini masih eksis, tapi tak sedikit juga yang tinggal cerita.
Era 1980-an adalah masa di mana PO-PO ini bermunculan dan mulai mewarnai jalanan aspal Pulau Jawa. Pembangunan Waduk Gajah Mungkur (WGM) di masa Orde Baru, yang bikin mobilitas masyarakat keluar-masuk Wonogiri meningkat, kemungkinan besar menjadi penyebab mengapa bisnis PO amat laku kala itu.
Namun, sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di kota ini, ada satu pertanyaan yang sering kali muncul di kepala saya. Sebelum adanya PO-PO ini, apa moda transportasi yang menunjang mobilitas warga Wonogiri?
Belakangan, setelah membuka beberapa sumber sejarah, saya melihat bahwa perahu menjadi penyokong utama perjalanan warga Wonogiri sebelum mereka akrab dengan bus.
Memanfaatkan Bengawan Solo
Seperti yang kita tahu, topografis Kabupaten Wonogiri amat beragam. Ada perbedaan kontur antara wilayah bagian barat laut yang cenderung rendah, dengan daerah-daerah di selatan dan tenggara yang lebih banyak perbukitan kapur.
Untuk Wonogiri yang wilayahnya lebih rendah, Sungai Bengawan Solo melintasi kawasan tersebut. Total ada tujuh kecamatan di Wonogiri yang dilintasi sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Yakni Wonogiri, Nguntoronadi, Baturetno, Giriwoyo, Eromoko, Wuryantoro, dan Ngadirojo—selanjutnya menuju Jawa Timur.
Di tujuh wilayah itulah dahulu moda transportasi perahu jadi andalan. Misalnya, sebelum jaringan jalan Baturetno menuju Wonogiri meluas, masyarakat banyak yang memanfaatkan sarana angkutan perahu melewati genangan air Bengawan Solo, dari Baturetno menuju Eromoko, maupun sebaliknya. Namun, perahu-perahu hanya berfungsi saat genangan tinggi.
Sedangkan saat musim kemarau dan air menyusut, masyarakat kembali menyusuri jalan-jalan lama yang muncul kembali di sepanjang pinggiran sungai. Atau, ada juga yang memilih melintasi jalanan utama meski rutenya lebih jauh.
Pakai perahu sejak era Kerajaan Mataram kuno
Budaya memakai perahu bagi masyarakat Wonogiri nyatanya memang sudah mengakar lama. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, masyarakat Wonogiri (yang kala itu masuk wilayah kekuasaannya) juga menggunakan perahu sebagai moda transportasi.
Dahulu, ada banyak desa di pinggiran Sungai Bengawan Solo yang bahkan memiliki julukan “desa perahu”. Desa Paparahuan (kemungkian Desa Wonoboyo sekarang) salah satunya, yang pada masa pemerintahan Ratu Dyah Balitung menjadi desa perdikan alias bebas pajak.
Pada masanya, desa ini amat penting. Sebab ia menjadi tempat penyeberangan ataupun distribusi logistik dari luar maupun dalam kerajaan.
Pada masa kerajaan Majapahit, orang-orang Wonogiri masih menggunakan perahu sebagai penunjang utama transportasi mereka. Paparahuan juga masih menjadi desa yang penting.
Bahkan, penelitian arkeolog Belanda WF Sutterheim menunjukkan, hingga 1934 masyarakat Wonogiri masih memanfaatkan perahu untuk menyeberangkan ternak-ternak mereka melalui sungai Bengawan Solo. Sayangnya, kebudayaan itu mulai masyarakat tinggalkan seiring dengan jalur-jalur kereta api yang bermunculan.
Perahu Rajamala, bukti eksistensi transportasi perahu di Wonogiri
Selain itu, ada juga bukti sejarah berupa manuskrip yang ditulis Bupati Bojonegoro Raden Adipati Harya Reksa Kusuma pada 1919. Manuskrip ini menunjukkan betapa masyarakat Wonogiri amat menggantungkan hidup mereka pada perahu.
Dalam manuskrip tersebut, Harya Reksa menyebut keberadaan “Rajamala”, semacam perahu besar yang peruntukannya membawa logistik ke daerah-daerah yang dilintasi Bengawan Solo. Perahu raksasa ini memulai start dari Wonogiri dan pemberhentian terakhirnya ada di Gresik, Jawa Timur.
Jika kalian penasaran akan bentuknya, replika kapal ini ada di Museum Radya Pustaka yang berlokasi di Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Sriwedari, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Betal Lama, Desa Mati di Wonogiri yang Muncul Saat Musim Kemarau
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News