Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Kilas

Kuli Jawa Sudah Terkenal Sejak Masa Kolonial, Gantikan Eksistensi Pekerja Cina

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
10 Oktober 2023
A A
Kuli Jawa Sudah Terkenal Sejak Masa Kolonial, Gantikan Eksistensi Pekerja Cina MOJOK.CO

Ilustrasi Kuli Jawa Sudah Terkenal Sejak Masa Kolonial, Gantikan Eksistensi Pekerja Cina. (Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Istilah “Kuli Jawa” tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Saking akrabnya, hingga muncul kata-kata peyoratif seperti Jamet Kuproy alias “Jawa Metal Kuli Proyek” untuk menggambarkan betapa identiknya kuli dengan orang Jawa.

Anggapan bahwa kuli Jawa lebih andal daripada kuli-kuli lain tampaknya tak hanya terjadi sekarang. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, mereka telah menjadi andalan para juragan perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Timur.

Terutama sekali, populasi buruh ini mulai meningkat sejak penghapusan tanam paksa pada 1870. Sayangnya, eksistensi nama kuli Jawa berbanding lurus dengan penderitaan yang mereka terima. Seperti upah yang tak layak, tidak dimanusiakan, dan mendapat banyak diskriminasi.

Awal mula eksisnya kuli Jawa

Setelah pemerintah Hindia Belanda resmi menghapus sistem tanam paksa pada 1870, mereka bermunculan perusahaan penanaman modal swasta dari Eropa. Perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur lantas mendatangkan kuli dari daratan Cina. Namun, karena jumlahnya tidak mencukupi permintaan, mereka kemudian mendatangkan pekerja dari wilayah Jawa dengan jumlah yang besar.

Masuknya orang-orang Jawa ke Sumatra Timur, kala itu salah satu sebabnya karena adanya Politik Etis oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Salah satu program Politik Etis adalah migrasi. Akhirnya, orang-orang Jawa menjadi pekerja di perkebunan Sumatra Timur sebagai kedok dari Politik Etis tersebut.

Jumlahnya sendiri tak main-main. Menurut Jan Breman dalam bukunya, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke-20 (1997), gelombang awal kedatangan kuli-kuli Jawa ke Sumatra Timur mulai pada tahun 1884. Pada periode ini, sudah ada 1.771 buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur. 

Jumlah tersebut adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan etnis-etnis lain, seperti Cina, India, bahkan Batak dan Sunda.

Kuli Jawa lebih murah dari kuli Cina

Breman menambahkan, ada satu alasan khusus mengapa pengusaha mendatangkan terus kuli Jawa. Kata dia, orang-orang Jawa ini gajinya lebih rendah daripada pekerja lainnya dengan porsi pekerjaan yang sama. 

Saat itu, kuli Jawa mendapat upah rata 0,29 hingga 0,46 gulden sehari. Sementara kuli Cina mendapatkan 1,84 gulden untuk waktu kerja yang sama.

Alhasil, pemilik perkebunan makin “ketagihan” mendatangkan pekerja dari Jawa. Hingga 1905 saja, atau dua dekade sejak kuli Jawa pertama mereka datangkan, sudah ada 33.961 orang yang bekerja di perkebunan Sumatra Timur. Artinya, jumlah ini terus meningkat secara signifikan tiap tahunnya.  

Selain itu, yang perlu kita ketahui, buruh yang datang dari Jawa tidak hanya pekerja laki-laki saja, tapi juga pekerja perempuan. Dari total 33 ribu kuli Jawa pada 1905, 6 ribu di antaranya adalah perempuan. Kebanyakan buruh perempuan ini bekerja menyortir daun tembakau yang telah dipanen sebelumnya.

Sayangnya, kehidupan kuli Jawa ini begitu miris. Upah yang tak seberapa, membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, mereka kerap mengalami eksploitasi seksual.

Alami penderitaan hingga jadi “punya nama”

Penderitaan yang kuli-kuli Jawa alami di Sumatra Timur bukanlah kisah baru. Seperti Jan Breman paparkan, kala itu kuli Jawa identik dengan “pekerjaan kasar”. Panggilan “kuli” pun untuk merendahkan derajat mereka. 

Bahkan, selama pelayaran menuju Sumatra Timur, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Mereka masuk dalam gerbong tertutup yang ruangannya penuh sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, hingga muntahan mabuk laut.

Iklan

Saat mulai bekerja, para kuli Jawa ini kerap kena tipu tuannya terkait upah. Misalnya, seperti Breman ungkap, upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Selain itu mereka juga tidak mendapat kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu.

Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkan pada buruh.

Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan. Lebih-lebih, upah ini kebanyakan hanya mereka putarkan buat berjudi.

Pamor kuli Jawa kini hingga mancanegara

Memasuki 1930-an, banyak perkebunan alami pailit karena krisis ekonomi global atau malaise. Dalam tulisan John Ingleson, “Fear of the kampung, fear of unrest: urban unemployment and colonial policy in 1930s Java”, ia menyebutkan bahwa banyak kuli segera pulang ke kampung masing-masing; pengangguran pun terjadi di mana-mana.

Namun, segera setelah perekonomian mulai pulih, “pamor” kuli yang terkenal ulet dan bisa dibayar murah bikin mereka dicari-cari. Mereka kemudian banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan. Bahkan usai era kemerdekaan, kuli Jawa seolah jadi jaminan mutu dari pekerjaan yang mereka garap. 

Eksistensi mereka bahkan hingga mancanegara. Ketika Malaysia dan Singapura besar-besaran membangun infrastrukturnya, itu tak lepas dari campur tangan keahlian kuli Jawa. Dari pekerja-pekerja seperti merekalah Indonesia dapat devisa yang digunakan untuk membangun negara.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Kuli Perempuan Paruh Baya: Pokoke Kudu Kuat!

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 10 Oktober 2023 oleh

Tags: buruh jawakulikuli jawa
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

kos dekat ugm.MOJOK.CO
Ragam

Sepi dari Mahasiswa UGM, Kompleks Kos Dekat UGM Ini Justru Padat Dihuni Pedagang hingga Kuli Pencari Rezeki di Jogja

13 Mei 2024
Di Rembang TKI Lebih Bermartabat ketimbang Sarjana MOJOK.CO
Ragam

Bagi Orang Rembang Jadi TKI di Malaysia Lebih Terhormat ketimbang Sarjana, Gara-Gara Sarjana Banyak yang Nganggur dan Jadi Beban Orang Tua Padahal Kuliah sampai Jual Sawah

8 April 2024
kuli bangunan perempuan
Geliat Warga

Kisah Kuli Perempuan Paruh Baya: Pokoke Kudu Kuat!

16 November 2022
Kuntilanak Bersusu Besar Itu Ngambek Anaknya Dilukai Kuli, Aslinya Cakep Blasteran Sunda-Jawa MOJOK.CO
Malam Jumat

Kuntilanak Bersusu Besar Itu Ngambek Anaknya Dilukai Kuli, Aslinya Cakep Blasteran Sunda-Jawa

22 Juli 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
UGM MBG Mojok.co

Gadjah Mada Intellectual Club Kritisi Program MBG yang Menyedot Anggaran Pendidikan

28 November 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.