MOJOK.CO – Istilah “Kuli Jawa” tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Saking akrabnya, hingga muncul kata-kata peyoratif seperti Jamet Kuproy alias “Jawa Metal Kuli Proyek” untuk menggambarkan betapa identiknya kuli dengan orang Jawa.
Anggapan bahwa kuli Jawa lebih andal daripada kuli-kuli lain tampaknya tak hanya terjadi sekarang. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, mereka telah menjadi andalan para juragan perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Timur.
Terutama sekali, populasi buruh ini mulai meningkat sejak penghapusan tanam paksa pada 1870. Sayangnya, eksistensi nama kuli Jawa berbanding lurus dengan penderitaan yang mereka terima. Seperti upah yang tak layak, tidak dimanusiakan, dan mendapat banyak diskriminasi.
Awal mula eksisnya kuli Jawa
Setelah pemerintah Hindia Belanda resmi menghapus sistem tanam paksa pada 1870, mereka bermunculan perusahaan penanaman modal swasta dari Eropa. Perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur lantas mendatangkan kuli dari daratan Cina. Namun, karena jumlahnya tidak mencukupi permintaan, mereka kemudian mendatangkan pekerja dari wilayah Jawa dengan jumlah yang besar.
Masuknya orang-orang Jawa ke Sumatra Timur, kala itu salah satu sebabnya karena adanya Politik Etis oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Salah satu program Politik Etis adalah migrasi. Akhirnya, orang-orang Jawa menjadi pekerja di perkebunan Sumatra Timur sebagai kedok dari Politik Etis tersebut.
Jumlahnya sendiri tak main-main. Menurut Jan Breman dalam bukunya, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke-20 (1997), gelombang awal kedatangan kuli-kuli Jawa ke Sumatra Timur mulai pada tahun 1884. Pada periode ini, sudah ada 1.771 buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur.
Jumlah tersebut adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan etnis-etnis lain, seperti Cina, India, bahkan Batak dan Sunda.
Kuli Jawa lebih murah dari kuli Cina
Breman menambahkan, ada satu alasan khusus mengapa pengusaha mendatangkan terus kuli Jawa. Kata dia, orang-orang Jawa ini gajinya lebih rendah daripada pekerja lainnya dengan porsi pekerjaan yang sama.
Saat itu, kuli Jawa mendapat upah rata 0,29 hingga 0,46 gulden sehari. Sementara kuli Cina mendapatkan 1,84 gulden untuk waktu kerja yang sama.
Alhasil, pemilik perkebunan makin “ketagihan” mendatangkan pekerja dari Jawa. Hingga 1905 saja, atau dua dekade sejak kuli Jawa pertama mereka datangkan, sudah ada 33.961 orang yang bekerja di perkebunan Sumatra Timur. Artinya, jumlah ini terus meningkat secara signifikan tiap tahunnya.
Selain itu, yang perlu kita ketahui, buruh yang datang dari Jawa tidak hanya pekerja laki-laki saja, tapi juga pekerja perempuan. Dari total 33 ribu kuli Jawa pada 1905, 6 ribu di antaranya adalah perempuan. Kebanyakan buruh perempuan ini bekerja menyortir daun tembakau yang telah dipanen sebelumnya.
Sayangnya, kehidupan kuli Jawa ini begitu miris. Upah yang tak seberapa, membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, mereka kerap mengalami eksploitasi seksual.
Alami penderitaan hingga jadi “punya nama”
Penderitaan yang kuli-kuli Jawa alami di Sumatra Timur bukanlah kisah baru. Seperti Jan Breman paparkan, kala itu kuli Jawa identik dengan “pekerjaan kasar”. Panggilan “kuli” pun untuk merendahkan derajat mereka.
Bahkan, selama pelayaran menuju Sumatra Timur, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Mereka masuk dalam gerbong tertutup yang ruangannya penuh sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, hingga muntahan mabuk laut.
Saat mulai bekerja, para kuli Jawa ini kerap kena tipu tuannya terkait upah. Misalnya, seperti Breman ungkap, upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Selain itu mereka juga tidak mendapat kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu.
Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkan pada buruh.
Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan. Lebih-lebih, upah ini kebanyakan hanya mereka putarkan buat berjudi.
Pamor kuli Jawa kini hingga mancanegara
Memasuki 1930-an, banyak perkebunan alami pailit karena krisis ekonomi global atau malaise. Dalam tulisan John Ingleson, “Fear of the kampung, fear of unrest: urban unemployment and colonial policy in 1930s Java”, ia menyebutkan bahwa banyak kuli segera pulang ke kampung masing-masing; pengangguran pun terjadi di mana-mana.
Namun, segera setelah perekonomian mulai pulih, “pamor” kuli yang terkenal ulet dan bisa dibayar murah bikin mereka dicari-cari. Mereka kemudian banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan. Bahkan usai era kemerdekaan, kuli Jawa seolah jadi jaminan mutu dari pekerjaan yang mereka garap.
Eksistensi mereka bahkan hingga mancanegara. Ketika Malaysia dan Singapura besar-besaran membangun infrastrukturnya, itu tak lepas dari campur tangan keahlian kuli Jawa. Dari pekerja-pekerja seperti merekalah Indonesia dapat devisa yang digunakan untuk membangun negara.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Kuli Perempuan Paruh Baya: Pokoke Kudu Kuat!
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News