MOJOK.CO – Alat pendeteksi Virus Covid-19 yang dikembangkan oleh UGM, Genose C19, kini sudah tak banyak lagi digunakan. Tim inventor alat ini pun mencoba mengembangkan fungsi alat tersebut untuk mendeteksi penyakit lain.
GeNose C19 cukup banyak dikenal masyarakat saat COVID-19 masuk ke Indonesia pada periode 2020 hingga 2021 lalu. Ya, alat deteksi COVID-19 yang dikembangkan UGM ini banyak digunakan instansi, baik negeri maupun swasta.
Dengan harga yang cukup murah, GeNose C19 pada waktu itu jadi pilihan menarik untuk tes COVID-19. Jauh lebih murah dibandingkan tes swab antigen maupun PCR. Untuk satu kali tes menggunakan GeNose C19, masyarakat cukup mengeluarkan Rp20 ribu.
Namun seiring masifnya vaksinasi COVID-19 yang dilakukan pemerintah serta menurunnya kasus COVID-19, alat tersebut tak lagi banyak digunakan. Apalagi syarat perjalanan juga tak lagi menggunakan swab antigen ataupun PCR bagi pelaku perjalanan yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga atau booster.
Tak lagi digunakan untuk mendeteksi COVID-19, alat tersebut pun saat ini banyak dijual di marketplace. Reporter MOJOK.CO yang menelusuri marketplace menemukan salah satu akun menjual GeNose C19 bekas seharga Rp59 juta. Tak hanya mesin namun kantong nafas GeNose C19 pun diperjualbelikan.
Sementara UGM yang sempat menjual lebih dari 4.000 mesin GeNose C19 selama pandemi COVID-19, kini menghentikan produksi alat tersebut. Tak lagi digunakan mendeteksi COVID-19, tim inventor GeNose C19 UGM pun mencoba mengembangkan fungsi alat tersebut untuk mendeteksi penyakit lain.
“Kami mencoba memfungsialisasi fungsi genose ini untuk dijadikan alat diagnostik yang lain, daripada dijual di marketplace, tinggal update software, maka bisa digunakan untuk deteksi yang lain,” papar inventor GeNose C19, Kuwat Triyana di UGM, Senin (22/08/2022).
Pengembangan fungsi tersebut dilakukan karena mesin tersebut masih bisa digunakan. Cukup dengan pembaruan software GeNose C19 maka mesin yang sama bisa mendeteksi virus seperti kanker servis, nasofaring, tubercolosis, bakteri luka diabetes dan lain sebagainya.
Namun untuk dijadikan alat deteksi virus penyakit lain, UGM masih melakukan penelitian lebih lanjut. Saat ini UGM baru memiliki data-data diagnotis awal yang masih perlu divalidasi.
“Harapannya nanti alat-alat yang sudah tersebar di masyarakat sampai ribuan ini bisa kita tawarkan untuk donasi, diserahkan ke puskesmas atau layanan kesehatan untuk mencover ke seluruh negeri. Validasi baru kita kerjakan, kita akan mendapatkan publikasi yang terpercaya,” ungkapnya.
Kuwat mengungkapkan, wajar pembeli GeNose C19 akhirnya menjual mesin GeNose yang tidak terpakai ke marketplace. Banyak diantara mereka yang tidak mengetahui manfaat selain untuk mendeteksi COVID-19.
Karenanya Kuwat menawarkan pada masyarakat yang memiliki GeNose untuk menjual kembali ke UGM dengan separuh harga. Sebab dalam pengembangan penelitian GeNose C19 untuk mendeteksi penyakit lain, lanjut Kuwat, UGM belum akan mengembangkan mesin GeNose C19 yang baru secara massal. Namun bila kebutuhan kedepan semakin besar, maka dimungkinkan pembuatan mesin secara massal bisa dilakukan.
“Jadi tim nanti mengembangkan software-nya itu yang spesifik, itu akan membuat [genose] yang tidak berguna itu [untuk deteksi penyakit lain]. Kami memberikan gambaran kepada masyarakat luas, jangan dijual dulu, jangan-jangan harganya nanti naik sepuluh kali lipat, bisa juga lho,” paparnya.
Kuwat menambahkan, selain bisa dimanfaatkan untuk deteksi virus lain, mahasiswa di beberapa fakultas UGM juga menggunakan GeNose. Mereka memakai alat itu untuk mendeteksi penyakit pada binatang dan tanaman.
Diantaranya mahasiswa di Fakultas Pertanian yang menggunakan GeNose untuk mendeteksi kutu beras dan gandum. Alat tersebut cukup cepat dan efektif mendeteksi kutu yang ada di bahan pangan tersebut.
“Di kedokteran juga, ada mahasiswa yang menggunakan genose untuk mendeteksi infeksi pada hewan mamalia, ujicobanya untuk kucing,” jelasnya.
Sementara Rektor UGM, Ova Emilia berharap masyarakat yang memiliki GeNose untuk tak menjualnya. UGM tengah mengembangkan alat tersebut untuk lebih fungsional.
“Kan sayang [kalau dijual],” tandasnya.
Ova mencontohkan, GeNose bermanfaat untuk mendeteksi kanker serviks dengan lebih mudah daripada menggunaan sampel getah di dalam alat kelamin perempuan. Apalagi banyak perempuan yang kesulitan dan tidak nyaman untuk diperiksa dengan alat yang ada saat ini. Persoalan itu yang pada akhirnya membuat deteksi kanker serviks pada perempuan belum bisa dilakukan secara optimal.
“[Dengan genose], kita mencari cara menggunakan air seni untuk lebih mudah dan cepat dan murah[untuk deteksi kanker serviks]. Ini kita harapkan merupakan terobosan sehingga skrining kanker leher rahim itu dapat dilakukan di layanan primer, tidak perlu di pemeriksaan lebih tinggi, hanya pada kasus yang perlu rujukan, konfirmasi. Akan sangat bermanfaat,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi